Masyarakat adat merupakan
kelompok sosial yang secara turun-temurun mendiami wilayah tertentu berdasarkan
garis keturunan leluhur.[1] Mereka memiliki hak kedaulatan atas tanah dan
sumber daya alam di sekitarnya, serta menjalankan kehidupan sosial dan budaya
yang diatur oleh hukum adat.[1] Keberlangsungan komunitas ini dikelola melalui
lembaga adat yang berperan dalam menjaga tradisi dan tata kelola kehidupan
bersama.[1]
Istilah ini memiliki kesamaan
dengan konsep indigenous populations yang dipopulerkan Jose R. Martinez Cobo
dalam studinya tentang diskriminasi dan perlindungan minoritas untuk PBB.[1]
Konsep tersebut mendefinisikan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
kesinambungan historis dengan komunitas pra-invasi dan prakolonial di wilayah
tempat mereka tinggal. Kelompok ini memiliki karakteristik budaya, sosial, dan
politik yang berbeda dari masyarakat dominan di negara mereka, serta berupaya
untuk mempertahankan identitas mereka yang unik meskipun menghadapi tekanan
dari proses kolonisasi dan modernisasi.[1][2]
Definisi masyarakat adat juga
dipengaruhi oleh berbagai instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi PBBtentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang diadopsi pada tahun 2007 dan
Konvensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) (ILO) No. 169 tahun
1989. Kedua dokumen ini menegaskan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
adat, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan praktik budaya mereka.[2]
Dalam berbagai literatur, istilah
"masyarakat adat" sering digunakan secara bergantian dengan istilah
seperti penduduk asli[3], pribumi[4], suku bangsa, atau kaum minoritas yang
mengalami marginalisasi akibat perbedaan identitas dari kelompok dominan di
suatu negara atau wilayah.
Negeri Ullath, kecamatan Saparua
di kabupaten Maluku Tengah adalah salah satu negeri dengan tatanan masyarakat
adat yang masih kental di Maluku
Identifikasi dan Pengakuan
Dalam sistem hukum internasional
dan nasional, identifikasi masyarakat adat umumnya mengacu pada beberapa
kriteria utama, yaitu:
Keterkaitan historis dengan
wilayah tertentu sebelum masa kolonisasi atau invasi.
Keberlanjutan tradisi budaya,
bahasa, dan sistem sosial yang berbeda dari kelompok mayoritas.
Pengakuan diri sebagai masyarakat
adat, sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO No. 169, yang menyatakan bahwa
identifikasi diri merupakan hak dasar bagi masyarakat adat dalam menentukan
status mereka.
Menurut PBB, banyak kelompok yang
mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat untuk mendapatkan perlindungan di
bawah berbagai mekanisme hak asasi manusia internasional. Meski terdapat
perdebatan semantik, normatif, dan politik mengenai istilah "masyarakat
adat" dan "penduduk pribumi," secara praktis kedua istilah
tersebut sering digunakan secara sinonim dalam berbagai dokumen hukum dan
pernyataan internasional.[5]
Konvensi ILO No. 169 tahun 1989
mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok yang memiliki hubungan sejarah
dengan komunitas pra-penjajahan, mengembangkan kebudayaan mereka secara
mandiri, serta mempertahankan identitas etnik dan wilayah leluhur mereka
sebagai bagian dari sistem sosial dan hukum yang diwariskan secara
turun-temurun.[2][4]
Leuit (lumbung padi tradisional
Sunda) di desa Sirnarasa, Cikakak, Sukabumi
Pengakuan Hukum dan Hak Masyarakat Adat di Indonesia
Dasar Konstitusional
Pengakuan terhadap masyarakat
adat dalam sistem hukum Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945.[1] Amandemen kedua UUD 1945 mengakomodasi eksistensi masyarakat
adat melalui Pasal 18B ayat (2), yang menyatakan bahwa:
"Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Ketentuan ini diperkuat dalam
Pasal 28I ayat (3) yang menegaskan bahwa:
"Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban."
Dua pasal ini menjadi landasan
utama bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai regulasi turunan di
tingkat nasional dan daerah.[1]
Regulasi sektoral
tentang hak masyarakat adat
Pengakuan dan perlindungan hak
masyarakat adat juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral,[1] di
antaranya:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan
Meski berbagai regulasi telah
memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat, implementasinya sering kali
menghadapi kendala, terutama terkait mekanisme legalisasi masyarakat adat dan
pengakuan hak atas tanah serta sumber daya alam mereka.[1] Secara sosial,
praktik hidup masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada pola kehidupan
tradisional acap kali menjadi dasar eksklusi masyarakat sekitar yang telah
mengadopsi laku hidup modern.[1]
Perbedaan Masyarakat Adat dan Masyarakat Hukum Adat
Dalam sistem hukum Indonesia,
istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat sering digunakan secara
bergantian, tetapi memiliki perbedaan konseptual dan implikasi hukum.
Implikasi hukum dan administratif
Perbedaan utama antara kedua
konsep ini berkaitan dengan legalitas dan pengakuan administratif. Masyarakat
hukum adat memiliki kedudukan yang lebih jelas dalam sistem hukum karena harus
melalui verifikasi dan pengesahan oleh pemerintah, biasanya melalui peraturan
daerah. Proses ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951).[6] Hal ini berbeda dengan
masyarakat adat yang lebih luas cakupannya dan tidak selalu terikat dengan
sistem hukum formal.
Dalam praktiknya, banyak
komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat masih menghadapi
tantangan dalam memperoleh status masyarakat hukum adat, terutama dalam pembuktian
eksistensi hukum adat mereka yang masih berlaku serta pengakuan hak atas tanah
dan sumber daya alam yang mereka kelola.[7]
Persebaran dan
tantangan masyarakat adat di Indonesia
Berdasarkan data dari AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat sekitar 2.449 komunitas masyarakat
adat di Indonesia, dengan perkiraan populasi antara 40 hingga 70 juta jiwa.[8]
Keberagaman masyarakat adat mencerminkan kekayaan budaya dan sosial Indonesia,
tetapi juga menghadirkan berbagai tantangan. Beberapa di antaranya mencakup
risiko kepunahan bahasa daerah, pergeseran dan hilangnya hukum adat, perubahan
identitas budaya, serta berkurangnya peran lembaga adat dalam kehidupan sosial
dan politik. Selain itu, akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka kerap
menjadi isu yang kompleks dalam konteks hukum dan kebijakan.[8]
Upaya untuk memperkuat
perlindungan hukum terhadap masyarakat adat telah dilakukan melalui Rancangan
Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), yang pertama kali diusulkan ke
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2010. RUU ini masuk dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2014 dan telah beberapa kali diajukan
kembali dalam daftar prioritas legislasi nasional.[8]
Kerentanan Sosial dan
Kesehatan
Anak-anak dari Masyarakat Adat
Yuendumu, Aborigin, Australia bermain di kubangan, tahun 2018
Masyarakat adat di seluruh dunia
sering menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber pangan yang cukup dan
bergizi.[1] Banyak dari mereka yang bergantung pada sistem pangan tradisional,
tetapi perubahan iklim, deforestasi, dan perampasan tanah menyebabkan
berkurangnya sumber daya alam yang menopang kehidupan mereka.[1] Selain itu,
ketergantungan pada sistem pertanian industri monokultur yang tidak
berkelanjutan telah mengurangi keanekaragaman hayati pangan mereka,
mempersempit pilihan makanan sehat yang tersedia.[1][9]
Berdasarkan data International
Fund for Agricultural Development (IFAD), masyarakat adat yang hanya mencakup
sekitar 5% dari populasi global justru mewakili sekitar 15% dari total penduduk
miskin di dunia.[1] Di Kanada, laporan pemerintah menunjukkan bahwa 24% rumah
tangga masyarakat adat MΓ©tis dan Inuit mengalami penurunan ketersediaan serta
kualitas pangan, sementara 33% di antaranya menghadapi kerawanan pangan.[1]
Kondisi serupa juga dialami masyarakat Aborigin di Australia, yang menurut Biro
Statistik Australia, mencakup sekitar 3% dari populasi negara tersebut dan
mengalami tingkat gizi buruk yang tinggi akibat keterbatasan akses pangan.[1]
Lihat pula
Politik adat
Sistem hukum Indonesia
REFERENSI
- ^ ab c d e f g h i j k l m n o p Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024814809.
- ^ ab c Montero, V.M (2021). "Indigenous Peoples: Conflict, Peace, and Resolution". Peace, Justice and Strong Institutions. Encyclopedia of the UN Sustainable Development Goals. Springer, Cham. doi:10.1007/978-3-319-95960-3_14. ISBN 978-3-319-95960-3.
- ^ Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008). "Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring". Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-29. line feed character di
|authors=
pada posisi 13 (bantuan) Definisi pribumi adalah pri·bu·mi n penghuni asli; yg berasal dr tempat yg bersangkutan; mem·pri·bu·mi·kan v menjadikan milik pribumi - ^ ab KONVENSI ILO No. 169 Tahun 1989 MENGENAI MASYARAKAT HUKUM ADAT (PDF). Jenewa: LO Publications. 2003. ISBN 978-92-2-820333-2.
- ^ Karoba, Sem (2004). Papua menggugat. WatchPAPUA. ISBN 978-979-3627-15-1.
- ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat" (PDF). 2014. Diakses tanggal 8 Februari 2025.
- ^ Sitoningrum, Niken; Hariandja, Richaldo; Suprayitno, Teguh (7 Januari 2025). "Sulitnya Masyarakat Adat Dapatkan Pengakuan dan Perlindungan". Mongabay. Diakses tanggal 8 Februari 2025.
- ^ ab c "Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat demi Menjamin Hak-Hak Masyarakat Adat". LK2 FHUI. 2023.
- ^ FAO and Alliance of Bioversity International and CIAT (2021). Indigenous Peoples’ food systems: Insights on sustainability and resilience from the front line of climate change (PDF). Rome. doi:10.4060/cb5131en. ISBN 978-92-5-134561-0.
0 comment:
Posting Komentar