TUGU NOSARARA NOSABATUTU

Berlibur Bersama Ibunya Anak-anak

BERSAMA CUCU

Bersama Cucu, Alzaidan Syahid ... berlibur.

BERSAMA IBU DAN ANAK

Berlibur bersama Anak dan Ibunya Anak-anak.

BERDUA

Entah Apa Yang Direnungkan Waktu itu ...

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

IBU, ANAK dan KEMENAKAN

Fitri dan Mamanya, bersama Azizah .

BERSAMA CUCU, ANAK dan KEMENAKAN

Alzaidan Syahid bersama Fitri dan Azizah.

IBU dan ANAK serta KEMENAKAN

Fitri Fajarwati dan Mamanya bersama Azizah.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

Tampilkan postingan dengan label Dokumen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dokumen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Juni 2025

Majelis Adat Kerajaan Nusantara, Lahir Agustus 2019, Anggotanya 57 Raja/Sultan

 

Clickinfo.co.id, JAKARTA - Bertepatan dengan momen sarat nuansa merah putih, Peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Tahun 2023, yang jatuh pada Kamis (17/8/2023) lalu.

Di Jakarta, pengurus Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN), organisasi perkumpulan raja/sultan dari Kerajaan Nusantara yang bersifat independen dan kekeluargaan, menaja konsolidasi terbatas membahas isu aktual terkait perkembangan organisasi.

Dalam sejarahnya, MAKN didirikan oleh 36 Deklarator Kerajaan pada Agustus 2019, dicetuskan pada pertemuan di Puri Agung Denpasar Bali, pun telah didaftarkan dan disahkan melalui Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor AHU-00002.AH.02.03.Tahun 2019.

 

Empat tahun sudah usianya.

 

MAKN didirikan bertujuan untuk menjaga, melestarikan, mengembangkan, melindungi adat istiadat, tradisi, seni, budaya warisan para leluhur Kerajaan. Serta, membangun kerja sama antara Kerajaan-Kerajaan Nusantara, dengan pemerintah pusat-daerah, lembaga swasta, dan BUMN.

Kepengurusan MAKN terdiri dari lima unsur: Dewan Kerajaan selaku pemegang kekuasaan tertinggi, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) selaku fasilitator dibantu Dewan Pakar dan Anggota, serta Badan Advokasi Konsultasi Hukum (BAKUM) MAKN untuk memfasilitasi bantuan hukum untuk keluarga besar.

 

Lambang Penuh Makna

Seperti tampak dalam foto, per lambang, lambang MAKN memiliki filosofi kendaraan untuk menjunjung tinggi adat kerajaan dalam kebersamaan dan kesetaraan Nusantara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Makna khusus ketujuh unsur di dalamnya, masing-masing, yakni Bintang Segi Lima menandakan seluruh kerajaan di Nusantara senantiasa ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sayap Burung Garuda, bermakna kendaraan untuk menjelajahi, menggiatkan silaturahmi dan menyatukan Nusantara, dan dikendarai utusan Dewata membawa kedamaian dan kebijaksanaan menguatkan adat dan Kerajaan Nusantara, dengan membawa payung penanda mengayomi seluruh alam semesta.

"Mahkota Nusantara, bermakna pemimpin atau Raja/Sultan," makna lambang ke-3.

 

Berikut, Gong di dalamnya terdapat lukisan kepulauan Nusantara Indonesia bermakna simbol adat istiadat dari tradisi budaya leluhur. Padi dan Kapas, kemakmuran dan keseimbangan cukup sandang papan.

Lalu, Keris Nusantara melambangkan ikrar persatuan yang terikat dalam kesetaraan dan kebersamaan 8 kawasan Nusantara.

Dan, Pita bertuliskan Majelis Adat Kerajaan Nusantara bermakna pesan kedudukan setara dalam kebersamaan, bermusyawarah mufakat, bergotong-royong melestarikan dan mengembangkan adat Kerajaan Nusantara.

Untuk bisa masuk dalam keanggotaan, tak bisa sembarang main comot. Para Kerajaan wajib memenuhi persyaratan spesifik untuk disahkan jadi Anggota MAKN.

Untuk Dewan Kerajaan, minimal miliki lima syarat.

Pertama, Raja/Sultan yang bertahta sudah ditabalkan/dinobatkan oleh Lembaga Adat Kerajaan/Kesultanan yang sah secara adat, diketahui masyarakat adatnya.

Kedua, masih memiliki Istana/Keraton yang mempunyai nilai kesejarahan turun temurun.

Ketiga, memiliki silsilah turun-temurun jelas dan valid sebagai Raja/Sultan.

Keempat, mempunyai Lambang, Bendera, Pusaka, dan Cagar Budaya serta situs sejarahnya.

Kelima, memiliki Masyarakat Adat Kerajaan.

Sedang untuk dapat menjadi Anggota MAKN, harus memiliki minimal dua syarat. Yakni, memiliki silsilah turun-temurun yang disahkan oleh Kerajaan/Kesultanan asalnya, kemudian memiliki rekomendasi kekerabatan yang sah dari Kerajaan/Kesultanan-nya.

Proses agar bisa sandang status Anggota MAKN, Calon Anggota ajukan permohonan dilengkapi dokumen persyaratan, pengurus MAKN memverifikasi dokumen dan kunjung lapang ke Kerajaan/Kesultanan pemohon.

Lalu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Ketua Harian DPP MAKN memberikan rekomendasi ke Dewan Kerajaan Deklarator. Setelah itu, Dewan Kerajaan Deklarator lah, pemutus permohonan itu diterima atau ditolak. Lalu, Pengurus menginformasikan keputusan Dewan Kerajaan Deklarator ke Pemohon.

Terdapat tiga nama inti saat ini yang acap terpublikasi ulah jalankan tugas organisasi. Yakni Ketua Dewan Kerajaan MAKN, Paduka Yang Mulia (PYM) Raja Denpasar IX, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, S.H.

Lalu, duet Ketua Harian DPP MAKN, Yang Mulia (YM) Dr. KPH Edy S. Wirabhumi, S.H., M.M, suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Dr. Koes Moertiyah Wandansari Paku Buwono, M.Pd. (Gusti Moeng) dari Keraton Surakarta. Dan Sekjen DPP MAKN, YM Dra. Hj. Raden Ayu Yani Wage Sulistyowati S Kuswodidjoyo karib Bunda Yani, dari Kesultanan Sumenep.

Ketiganya, menahkodai kepemimpinan harian MAKN dengan total pengurus saat ini yang berjumlah sebanyak 41 orang.

 

Dewan Kerajaan MAKN

Dari total 57 Dewan Kerajaan MAKN, berikut 53 di antaranya. Data empat warga barunya urung didapat. Data ini adalah bauran data 36 Deklarator Kerajaan (kodifikasi Deklarator DK spasi sekian), dan lainnya (DK spasi sekian).

Kesatu, Puri Agung Denpasar Bali. Sebutan lainnya Puri Agung Satria, peninggalan raja-raja Bali khususnya Bali selatan, dirian Raja Denpasar ke-1 Kyai Agung Made Ngurah atau I Gusti Ngurah Made Pemecutan tahun 1788 seusai pemindahan pusat pemerintahan Kerajaan Badung dari Puri Jambe Ksatria, pernah lama diduduki oleh Belanda usai menang Perang Puputan Badung tahun 1906.

Puri Agung Denpasar Bali dibawah pimpinan Raja Denpasar IX, PYM Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, S.H., Deklarator DK 01.

Kedua, Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak Kepaksian Pernong Lampung. Berdiri abad ke-13, terdiri dari empat kepaksian bercorak Islam: Buay Belunguh, Buay Bejalan Diway, Paksian Nyerupa Buay Nyerupa Sukau, dan Kepaksian Pernong.

Wilayah kekuasaannya berada di kanan perbatasan Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, diapit pegunungan Bukit Barisan, dan tiga gunung: Gunung Pesagi, Gunung Tanggamus, dan Gunung Seminung.

Gedung Dalom, istana pusat pemerintahan tradisional keratonnya ada di barat Jl Lintas Barat Sumatera (Jalinbar), Pekon (Desa) Balak, Kecamatan Batu Brak, Kabupaten Lampung Barat.

Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak Kepaksian Pernong Lampung kini dipimpin PYM Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan XXIII Saibatin Puniakan Dalom Beliau (SPDB) Brigjen Polisi Purn Drs. Pangeran Edward Syah Pernong, S.H., M.H, Deklarator DK 02.

Ketiga, Keraton Sumedang Larang. Nama mula Kerajaan Tembong Agung, didirikan sebagai Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 721 Masehi oleh raja pertama Prabu Tajimalela alias Batara Tungtang Buana, yang tak lain merupakan pewaris tahta Tembong Agung dirian ayahnya, Prabu Guru Aji Putih.

Baru berdaulat abad ke-16, kini bangunan keratonnya ada di Jl Prabu Geusan Ulun Nomor 40 Sumedang sisi Gedung Negara, kantor Pemkab Sumedang Jawa Barat. Kini, Keraton Sumedang Larang dipimpin PYM R. Lukman Soemadisoeria, Deklarator DK 03.

Keempat, Puro Pakualaman Yogyakarta pimpinan Paju Alam X, PYM Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya, Deklarator DK 04.

Unik, area kekuasaannya dulu meliputi yang kini masuk wilayah Kabupaten Kulonprogo sedangkan istana Kadipaten Paku Alaman dirian Sri Paku Alam I di Jl Masjid Nomor 46, Gunungketur, Pakualaman, Yogya.

Kelima, Kesultanan Sumenep pimpinan PYM RP. Muchtar Atmokusumo, M.AK, Deklarator DK 05. Bangunan keratonnya baik sebagai kediaman resmi adipati/raja berkuasa dan pusat pemerintahan, yang masih tersisa utuh kini yakni yang dibangun Gusti Raden Ayu (GRAy) Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya, yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro), di antara para bangunan lainnya, tepatnya di Jl dr. Soetomo, Kota Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur.

Tahu muasal kata Sumenep? Konon Sumenep yang sebelumnya dikenal sebagai Madura Wetan alias Madura Timur, menurut ahli bahasa diduga berasal dari gabungan kata Bahasa Kawi "Sungeneb" dari kata sung berarti relung, lembah, cekungan dan eneb berarti bekas endapan yang tenang.

Keraton bernama lain Karaton Pajagalan yang lebih dikenal Karaton Sumenep ini, dibangun tahun 1781 di atas tanah pribadi Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI oleh arsitek keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa tahun 1740 Masehi di Semarang, Lauw Piango.

Jika ingin melihat pintu tersenyum, sekalian melihat pertunjukan Tari Gambuh dan Tari Moang Sangkal serta kostum khas penutup kepala pria Odeng Rek-kerek ciptaan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (bermakna patriotik: 'rek-kerek' berarti anak anjing (patek) dalam bahasa Madura, yang dimaksudkan tak lain untuk merendahkan martabat Pemerintah Kolonial Belanda kala itu), yuk ke Sumenep.

Ada Labhang Mesem, satu gerbang menuju kompleks Karaton di timur Gedhong Negeri. Labhang Mesem, berarti pintu tersenyum.

Keenam, Kerajaan Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pimpinan PYM Leopold Nicholas Nisnoni, B.BA., Deklarator DK 06.

Dari reportase Timex Kupang, jejaring media Fajar.co.id edisi 23 Januari 2022, diketahui bahwa sejarah mencatat setidaknya 28 raja pernah memimpin, berkuasa pada eranya di Kota Kupang. Tak dinyana, pernah ada raja perempuan juga.

Dimulai, sejak kehadiran orang Helong dari Pulau Serang hingga berdiam jadi penduduk pemula di kampung yang dinamai Bunibaun (kini sekitar Kelurahan LLBK dan Kaisalun, sekitar Kelurahan Fatufeto dan Nunhila). Markas Yonif 743 TNI-AD kini, atau Benteng di Fatufeto jadi sonaf pertama Lahi (raja) Lai Bissi. Lalu ekspansi ke beberapa tempat di Kupang termasuk Pulau Semau.

 

Salmun Bissilisin, salah satu keturunan Raja Kupang mencatatkan literatur nama raja-raja yang pernah memerintah di Kupang, kota berjuluk Kota Kasih ini.

Perinci, dimulai dari Raja Koen Lai Bissi (Koen, sebutan untuk saudara laki-laki tertua) yang memerintah tahun 1678-1698.

Kedua hingga ke-28: Manas Bissi I, Susang Bissi, Bisi Bisi, Manas Bissi II, Poto Bissi (raja perempuan), Karel Buni (menikah dengan saudara perempuan Poto Bissi), Manas Bissi III (saudara dari Poto Bissi), Tepa Bissi, Lasi Tepa (1760-1770), Manas Tepa (1770-1785), Manas Klomang (1785-1790), Kolan Tepa (1790-1795), dan Neon Manas (1795-1801).

Lalu, Bani Neon (Hila Neon) kurun 1801-1815, Manas Bissi IV (1815-1826), Tepa Manas (1826-1846), Susang Manas (1846-1854), Lasi Lasi (1854-1858), Manas Daen (1858-1872), Manas Klomang (1872-1881), Leo Manas (1882-1885), Daen Manas (1885-1908), Susang Palo (1908-1911), Manas Susang (1911-1917), Daud Hanok Tanof (1918), Nicholas Isu Nisnoni (1918-1945), dan Alfonsus Nisnoni (1945-1955).

Seorang guru, Blasius Mengkaka, dalam kolomnya di Kompasiana edisi 27 April 2016, menuliskan insight berbeda sekitar sejarah penaklukan Majapahit atas Timor.

Salah satu kenyataan yang patut diakui tulis dia, yakni bahwa nama Kerajaan Majapahit tidak disinggung dalam tuturan lisan para makoan Timor, khususnya para Makoan Belu Selatan dalam tuturan adat kisah asal-usul kerajaan Timor.

Dengan tiadanya tuturan lisan menyebut Majapahit pun Sriwijaya itu, menimbulkan beberapa tafsiran. Tafsiran paling pertama: penaklukan Majapahit atas Timor mula-mula ya di Kupang. Diyakini wilayah Belu kala itu masih cukup terisolir sehingga armada pimpinan Mahapatih Gajah Mada tidak sempat sampai ke situ. Kupang saat itu sudah merupakan salah satu dari empat kerajaan besar di daratan Timor. Banyak peneliti, meyakini kebesaran Kupang masa lalu, ini.

Per literatur, antropolog/penulis asal Belanda, J. Francis dalam bukunya Timor in 1831 mewarta, sebelum Eropa hadir khususnya Belanda, Kupang kerajaan besar di Timor.

Popularitas Kupang saat itu lebih menonjol bahkan melebihi para kerajaan kecil antara lain Amabi, Amanatun, Amanuban, Amarasi, Ambenu, Amfuang, Fialaran, Funai, Mobara, Nenometan, Pitaip, Sobai Kecil, Sonbait, Tabenu, Takaib, dan Wewiku-Wehali.

Warta Francis, masa Majapahit, Kupang sudah merupakan kerajaan besar yang berkuasa secara nyata. Klaim Francis sejalan dengan sumber Empu Prapanca dalam Kitab Negarakertagama (1365) yang menyebut Pupuh XIV dan Pupuh XV bahwa daerah-daerah di Timur yang dikuasai Majapahit, salah satunya Timor.

 

Klaim Prapanca ini tak pernah didukung sumber/tradisi lisan makoan Timor yang menyatakan Timor dikuasai oleh Majapahit.

"Bisa saja Timor yang Negarakertagama maksudkan adalah Kupang. Mengingat saat itu letak Kupang lebih menonjol, dan mudah didarati oleh armada Majapahit tinimbang wilayah lain di pedalaman Timor."

Diyakini, mula penaklukan Timor sendiri berawal dari penaklukan atas Kerajaan Kupang abad 12. Hal terjadi melalui dugaan terkuat, nama Timor berasal dari kata nama Gunung Timauw, 11 mil timur laut Kupang.

Selain itu, ditemukan nama Timor sendiri berasal dari kata Bahasa Melayu 'Timur', dari pedagang Melayu dalam perdagangan antarpulau. Meneliti jejak nama asal Timor banyak yang ragukan hubungan dengan kerajaan Wewiku-Wehali. Salah satu istana Kerajaan Kupang rupanya terletak di sekitar benteng Concordia pada 14 Juni 1613.

Dalam benteng inilah, pertama kali budaya literer dikembangkan dengan baik melalui penataan administrasi kolonial, aktivitas sekolah dan ibadah gereja penghuni dan warga sekitar. I Ketut Ardhana (2005) dalam bukunya Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial 1915-1950 menulis, Pulau Timor era lampau dibagi empat bagian, yakni Kupang, Luka (Likusaen) yang menguasai semua wilayah Timor-Timur, Wewiku-Wehali yang menguasai wilayah Beluneser, dan Sonbay yang menguasai wilayah Atoni minus Kupang.

Empat ini, Kupang termasyhur. Kebesarannya disebut-sebut hampir melampaui tiga lainnya.

Nah, bahwa Timor yang dimaksud ekspedisi Majapahit saat itu: Kupang, yang meletak di area pantai dengan aktivitas pemerintahan yang mencolok, "masih bisa dibenarkan. Penaklukan Kupang oleh Majapahit dianggap penaklukan Timor," tulis sang guru.

Para penakluk, belakangan kecele. Tahunya pas kolonialis Eropa masuk dan bercokol. Pun saat diketahui sekian lama kemudian, bahwa hasil bumi cendana dibawa keluar lewat pintu-pintu pelabuhan Atapupu, Wini, dan Kupang. Satu bukti, Kupang magnitudo-nya besar.

Ketujuh, Kesultanan Gunung Tabur Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, pimpinan PYM Sultan Adji Bachrul Hadie, S.H., M.BA., Deklarator DK 07.

Kedelapan, Kerajaan Gowa (sebagian ada menyebutnya Kerajaan Makassar), wilayah inti di Kabupaten Gowa dan Takalar, serta Kota Makassar Sulawesi Selatan, pimpinan Raja Gowa XXXVIII PYM Andi Kemala Idjo Karaeng Lembang Rarang, Deklarator DK 08.

Kesembilan, Kesultanan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara pimpinan PYM Achmadsyah, Deklarator DK 09. 

Ke-10, Kesultanan Deli, Sumatera Utara, pimpinan PYM Tuanku Mahmud Aria Lamanjiji Perkasa Alam Shah, Deklarator DK 10.

Ke-11, Kerajaan Jambu Lipo, kini Kecamatan Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, pimpinan PYM Tuanku Raja Godang Firman Bagindo Tan Ameh, Deklarator DK 11.

Ke-12, Kerajaan Purba Simalungun Sumatera Utara pimpinan Raja Simalungun XV PYM Tuan Aminsyah Purba Pakpak, Deklarator DK 12.

Ke-13, Kesultanan Pelalawan, Riau pimpinan YM Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen, Deklarator DK 13.

Ke-14, Kesultanan Dompu, Nusa Tenggara Barat pimpinan Alm PYM H. Kaharul Zaman, S.H., M.H, diwariskan kepada Putra Raja Dompu, YM Diwantara Aruzziqi Pratama, S.IP., Deklarator DK 14.

Ke-15, Kesultanan Inderapura, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, pimpinan Sultan Indera Rahimsyah Daulat Sultan Muhammad Syah Youdhi Prayogo, S.E., M.E.I, DK 15.

Ke-16, Puro Mangkunegaran Jawa Tengah, pimpinan PYM KGPA A Mangkunegaran IX, DK 16.

Ke-17, Kesultanan Surakarta Hadiningrat Solo Jawa Tengah pimpinan PYM Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII, DK 17.

Ke-18, Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, yakni kumpulan kerabat Keraton Surakarta yang terdiri dari adik dan anak keturunan raja, diketuai oleh adik PB XIII Hangabehi, yakni YM GRA Dr. Koes Moertiyah (GKR Wandansari) yang juga Sekjen Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN), Deklarator DK 18.

Penyelia, FKIKN juga merupakan perkumpulan raja/sultan/pelingsir adat sejenis paguyuban tanpa struktur pengurusan, dikoordinir Sekjen kedudukan di Keraton Surakarta. Anggotanya keraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat setotal 47 lembaga tapi dengan kelengkapan minimal lima hal: situs bangunan, masyarakat adat, struktur otoritas pengelola, upacara adat, dan pusat/wilayah adat.

Ke-19, Kesultanan Ngayogjakarta, pimpinan PYM Sri Sultan Hamengku Buwono (SSHB) X, DK 19.

Ke-20, Keraton Kanoman Cirebon Jawa Barat pimpinan Sultan Anom XII PYM Pangeran Raja Muhammad Emirudin, Deklarator DK 20.

Ke-21, Keraton Kaprabonan Cirebon dirian Pangeran Raja Adipati Kapronan 1682, kini Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat pimpinan Raja Kaprabon, PYM Dr. Ir. Pangeran Hempi, M.P, Deklarator DK 21.

Ke-22, Kesultanan Banten Panembahan Surosowan (literatur Babad Banten: Keraton Surosowan dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin 1552-1570 dan dinamai Surasowan/Surosowan, nama pemberian Sultan Hasanuddin atas petunjuk ayahnya, Sunan Gunung Jati), kini pimpinan Almafakhir PYM H. Tubagus A Abbas Wasee, S.H., Deklarator DK 22.

Ke-23, Kesultanan Bulungan Kalimantan Utara, pimpinan Datu Abdul Hamid PYM Pemangku Sultan, Deklarator DK 23.

Ke-24, Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura pimpinan Sultan Kartanegara Ing Martadipura, PYM Drs. H. Muhammad Arifin, M.Si., DK 24.

Ke-25, Kesultanan Sambaliung Kalimantan Timur pimpinan Raja Muda Perkasa, PYM Datu Amir Bin Sultan Muhammad Aminudin, Deklarator DK 25.

Ke-26, Kesultanan Kutawaringin Kalimantan Tengah pimpinan PYM Ratu Alidin Sukma Alamsyah, Deklarator DK 26.

Ke-27, Kerajaan Matan Tanjungpura, Kalimantan Barat, pimpinan PYM Gusti Kamboja, DK 27.

Ke-28, Kerajaan Leinitu Maluku pimpinan PYM Decky Tanasale, Deklarator DK 28.

Ke-29, Kerajaan Sekar Fak-Fak Papua Barat pimpinan PYM Arief Rumagesan, DK 29.

Ke-30, Keraton Kacirebonan Jawa Barat pimpinan Sultan Kacirebonan IX PYM Pangeran Raja Abdul Gani Natadiningrat Dekarangga, Deklarator DK 30.

Ke-31, Kesultanan Aceh Darussalam pimpinan PYM Tuanku Raja Nasruan Adi, DK 31.

Ke-32, Kerajaan Sanggau Kalimantan Barat, pimpinan PYM Drs. GPYM Gusti Arman, M.Si, DK 32. Ke-33, Kerajaan Simpang Kalimantan Barat, pimpinan PYM Gusti Muhammad Hukma, S.E. (Pangeran Suryaningrat) gelar Sultan Muhammad Jamaluddin III, DK 33.

Ke-34, Kesultanan Sekadau Kalimantan Barat, pimpinan PYM Gusti Muhammad Effendi, DK 34.

Ke-35, Kesultanan Sambas, pimpinan YM Pangeran Ratu Muhammad Tarhan, DK 35.

Ke-36, Kerajaan Amarasi NTT pimpinan PYM Yesaya Robert Maurits Koroh, Deklarator DK 36.

Ke-37, Kerajaan Nusak Termanu Rote NTT pimpinan PYM Vicoas TB Amalo S, DK 37.

Ke-38, Puri Agung Tabanan Bali, pimpinan PYM Ida Tjokorda Anglurah Tabanan, DK 38.

Ke-39, Puri Agung Karangasem Bali pimpinan PYM Prof. Dr. A.A. Gede Putra Agung, S.U, Deklarator DK 39.

Ke-40, Kerajaan Mekongga Sulawesi Tenggara, pimpinan PYM Drs. H. Khaerun Dahlan, M.M., Deklarator DK 40.

Ke-41, Kesultanan Buton Sulawesi Tenggara, pimpinan PYM Dr. La Ode Muhammad Izzat Mana’arfa, M.Si, Deklarator DK 41.

Ke-42, Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, pimpinan Raja Bone XXXIV PYM Andi Baso Hamid Pabenteng, Deklarator DK 42.

Ke-43, Kedatuan Luwu Sulawesi Selatan, pimpinan PYM Datu Andi Iwan Bau Jema, Deklarator DK 43.

Ke-44, Kerajaan Puang Balusu Torut Sulawesi Selatan pimpinan PYM Susana Seli Matandung Puang Balusu III, Deklarator DK 44.

Ke-45, Kerajaan Banggai Sulawesi Selatan pimpinan PYM Irwan Zaman, S.E., Deklarator DK 45.

Ke-46, Kerajaan Wanse Wakatobi Sulawesi Tenggara pimpinan Raja Wanse PYM H La Ode Harjat Hamzah, Deklarator DK 46.

Ke-47, Kerajaan Kabaena Sulawesi Tenggara pimpinan Raja Kabaena XXX PYM Apua Mokole Kasman Lanota, S.Sos, Deklarator DK 47. 

Ke-48, Kerajaan Poleang Moronene Sulawesi Tenggara pimpinan Raja Poleang Moronene XXXIV PYM Apua Mokole Nippon Muhammad Ali, Deklarator DK 48.

Ke-49, Kesultanan Tidore, Kota Tidore, Maluku Utara, pimpinan PYM Sultan Husain Syah, DK 49.

Ke-50, Kesultanan Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara, pimpinan YM Pangeran Mohammad Gazali Mudaffar Sjah, DK 50.

Ke-51, Kesultanan Bacan Halmahera Selatan, Maluku Utara, pimpinan PYM Al-Hajj Abdurrahim Muhammad Gary Ridwan Sjah, M.BA, DK 51.

Ke-52, Kesultanan Paku Negara Sanggau, Kalimantan Barat, pimpinan PYM Dicky A. Padmadipoera SE MM, DK 52.

Ke-53, Kerajaan Addatuang Sidendreng pimpinan Raja Addituang XXV PYM Ir. H. A. Faisal Sapada, S.E., M.M, DK 53.

Demikian, Sidang Pembaca. Selain kepada Wikipedia Indonesia, redaksi mengkhaturkan terima kasih kepada Ratu Anom by Puspa Dewi, dari Puri Agung Denpasar Bali, yang telah merangkum basis data ini yang penting guna diketahui, disebarluaskan terutama kepada generasi muda penerus bangsa.

Agar kita dan mereka tetap teguh muasal, dan selain beradab, juga tetap beradat-istiadat lestarikan warisan leluhur bangsa kita.

Terlebih di Agustus ini, bulan kemerdekaan, bulan kita didengungkan tema raya HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia nan magis, Terus Melaju untuk Indonesia Maju.

 

Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka! (Muzzamil)


Sumber : KLIK INFO

Minggu, 22 Juni 2025

Rancana Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017

Minggu, 15 Juni 2025

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA




Pengertian Restorative Justice, Dasar Hukum, Syarat, dan Penerapannya

 


RESTORATIVE justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara yang berbeda dari sistem peradilan pidana konvensional. Pendekatan ini telah diadopsi oleh beberapa lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) melalui berbagai kebijakan dan praktiknya.

Konsep restorative justice mengarahkan perhatian pada pemulihan dan rekonsiliasi sebagai solusi yang lebih baik daripada hukuman yang hanya berfokus pada penghukuman pelaku. Pendekatan ini mempromosikan dialog dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, termasuk pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat yang terkena dampaknya.

Tujuan utama dari restorative justice adalah mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus kriminal. Dalam proses ini, pemulihan kembali pada keadaan semula dan membangun kembali pola hubungan yang baik dalam masyarakat menjadi hal yang sangat diutamakan.

 

Dasar Hukum Restorative Justice

Pemahaman hukum restorative justice didasarkan pada sejumlah peraturan berikut ini:

1. Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 yang membahas Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

4. Nota Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui berbagai nomor surat yang mencakup aspek pelaksanaan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, Acara Pemeriksaan Cepat, dan Penerapan Restorative Justice pada tanggal 17 Oktober 2012.

5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 yang mengatur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.

6. Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 yang membahas Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

7. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

Peraturan-peraturan tersebut mengatur penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice khususnya untuk tindak pidana ringan yang mencakup pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang mengedepankan pemulihan, dialog, dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, serta pihak-pihak terkait, dan berfokus pada penyelesaian perkara secara adil.

 

Syarat Restorative Justice

Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice adalah:

1. Kasus tindak pidana pertama kali.

2. Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).

3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.

4. Ancaman pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

5. Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.

6. Tersangka mengganti kerugian yang dialami oleh korban.

7. Tersangka juga harus mengganti biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Menurut Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan restorative justice:

1. Pelaku tindak pidana hanya boleh baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum.

2. Kerugian yang timbul akibat tindak pidana harus kurang dari Rp 2,5 juta.

3. Terdapat kesepakatan antara pelaku dan korban terkait penyelesaian perkara.

4. Tindak pidana yang dilakukan pelaku hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara dengan ancaman tidak lebih dari 5 tahun.

5. Pelaku harus mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.

6. Pelaku wajib mengganti kerugian yang dialami oleh korban.

 

7. Pelaku juga harus mengganti biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

 

Namun, penting untuk diingat bahwa penyelesaian perkara dengan restorative justice tidak berlaku untuk kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan. Selain itu, restorative justice juga tidak diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

 

Pedoman Restorative Justice

Dalam pelaksanaan restorative justice, terdapat beberapa pedoman yang perlu diikuti:

1. Setelah menerima permohonan perdamaian dari kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai, dilakukan penelitian administrasi untuk memeriksa syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative justice.

2. Permohonan perdamaian yang telah memenuhi persyaratan formil diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.

3. Setelah mendapatkan persetujuan dari atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, atau Kapolres, selanjutnya menunggu penentuan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.

4. Dilakukan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.

5. Dibuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker terkait permohonan pelaksanaan gelar perkara khusus dengan tujuan penghentian perkara.

6. Dilaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta yang mencakup pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, serta perwakilan masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik. Dalam gelar perkara, juga melibatkan penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum serta unsur pemerintahan jika diperlukan.

7. Disusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil dari gelar perkara.

8. Diterbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.

 

9. Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.

10. Semua proses ini dicatat dalam buku register baru B-19 sebagai bagian dari penyelesaian perkara melalui restorative justice.

 

Penerapan Restorative Justice

Penerapan Restorative Justice adalah proses penggunaan pendekatan restoratif dalam menangani kasus-kasus tindak pidana atau peristiwa yang menyebabkan kerugian. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi dan pemulihan melalui dialog terbuka dan respon positif antara korban, pelaku, dan masyarakat yang terpengaruh.

Di bawah ini terdapat beberapa contoh penerapan Restorative Justice:

1. Sistem Peradilan Anak

Restorative Justice telah diterapkan dalam sistem peradilan anak untuk membantu anak-anak yang melakukan tindak pidana agar berubah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Pendekatan ini lebih berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan daripada hanya memberlakukan hukuman.

2. Mediasi atau Pertemuan Restoratif

Dalam beberapa kasus kriminal, mediator atau fasilitator dapat membantu mengatur pertemuan antara korban dan pelaku untuk membahas akibat dari tindakan kriminal dan mencari solusi yang dapat mengembalikan keseimbangan.

3. Program Restoratif dalam Lembaga Pemasyarakatan

Beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mencoba menerapkan program-program restoratif, terutama untuk tahanan pemuda. Program ini bertujuan membantu tahanan memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan mencari cara untuk berdamai dengan korban serta masyarakat.

4. Alternatif Pemidanaan

Dalam beberapa situasi, pengadilan dapat memutuskan untuk memberlakukan alternatif pemidanaan yang menggabungkan elemen-elemen restoratif, seperti permintaan maaf, restitusi, atau pelayanan masyarakat.

5. Pengembangan Kebijakan Publik

Restorative Justice juga dapat diimplementasikan melalui pengembangan kebijakan publik yang mendorong pendekatan restoratif dalam penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus tindak pidana.

 

6. Program di Sekolah

Dalam konteks pendidikan, pendekatan restoratif dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi konflik antara siswa atau melibatkan siswa dalam proses penyelesaian masalah dan perdamaian.



Sumber : DISINI

 

Rabu, 11 Juni 2025

Bukan Sekadar Dongeng, Cerita Rakyat yang Membangun Karakter Anak

 

Cerita rakyat merupakan bagian dari budaya yang diwariskan turun-temurun dan mengandung banyak nilai moral yang bisa diajarkan kepada anak-anak. Selain menghibur, cerita rakyat juga bisa menjadi media edukatif yang efektif dalam membentuk karakter anak.

Cerita rakyat bukan hanya sekadar dongeng pengantar tidur, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak-anak. Dengan mengenalkan mereka pada kisah-kisah yang mengandung nilai moral, anak-anak dapat belajar tentang kejujuran, kesabaran, keberanian, serta pentingnya menghormati orang lain.

Oleh karena itu, orang tua dan guru bisa memanfaatkan cerita rakyat sebagai media edukatif yang menyenangkan dan penuh manfaat bagi perkembangan anak.

Dengan membacakan dan mendiskusikan cerita-cerita ini, anak-anak dapat mengambil pelajaran berharga yang akan membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.

Apa Itu PAMALI (Nakapopali)

 

Apa Itu Pamali?

Secara umum, pamali bisa didefinisikan sebagai beberapa bentuk pantangan yang mesti dipatuhi oleh setiap masyarakat. Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pamali atau pemali sendiri memiliki makna, "pantangan; larangan (berdasarkan adat dan kebiasaan)."

Dilansir dari artikel Muhammad Faiq Dhiya'ulhaq, dkk. "Kepercayaan Pamali dalam Konteks Tindakan Sosial: Studi Living Hadis di Desa Singarajan Kecamatan Pontang" yang terbit di jurnal Hamalatul Qur'an, pamali berfungsi sebagai sebuah konsep agar seseorang tidak melakukan sebuah tindakan yang dilanggar dalam pantangan tersebut. Dengan demikian, keamanan dalam kehidupan masyarakat tetap bisa terjaga baik nantinya.

Sebagai salah satu bentuk kearifan lokal, keberadaan pamali ini diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu. Umumnya keberadaan pamali ini tetap terus terjaga lewat tradisi lisan yang berkembang di tengah masyarakat.

Tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali keberadaan pamali ini ditemukan di tengah masyarakat. Namun hampir bisa dipastikan setiap suku yang ada di Indonesia memiliki tradisi pamali ini yang diterapkan di tengah masyarakat.

Istilah pamali juga dikenal dengan berbagai nama berbeda di beberapa daerah. Misalnya pamali dikenal dengan nama "Pali" di Suku Dayak Ngaju, "Ora Elok" di masyarakat Jawa, dan penyebutan istilah lainnya.

Meskipun memiliki penyebutan yang berbeda-beda, maksud dari tradisi dari berbagai daerah tersebut tetap sama dengan penerapan pamali.

 

Contoh Pamali di Masyarakat

Lalu apa saja contoh pamali yang ada di tengah masyarakat? Berikut beberapa contoh pamali yang bisa Kawan jumpai di tengah masyarakat.

 

1. "Jangan menyapu malam hari."

2. "Anak perawan gak boleh duduk depan pintu."

3. "Jangan duduk di bantal, nanti bisulan."

4. "Jangan foto bertiga, nanti yang tengah meninggal."

5. "Jangan buang nasi, nanti nasinya nangis."

 

Dampak jika Dilanggar

Dari beberapa contoh di atas bisa Kawan lihat bahwa ada dampak yang dihasilkan jika larangan pamali jika dilakukan oleh seseorang. Misalnya pamali yang melarang foto bertiga agar yang berdiri di tengah meninggal dunia.

Biasanya dampak yang dihasilkan jika melanggar pamali akan berakibat buruk bagi pelakunya. Namun jika dilihat lebih jauh, keberadaan pamali ini sebenarnya tidak hanya memberikan dampak buruk saja.

Adanya pamali juga bisa menjaga kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat. Dinda Vinata, dkk. dalam artikel "Peran Pamali dalam Mempertahankan Adat Jawa di Era Modern" yang terbit di jurnal Rekayasa menjelaskan bahwa pamali bisa mengatur perilaku seseorang di tengah masyarakat.

Sebab penerapan pamali ini biasanya berkaitan dengan norma sosial yang meliputi etika dan tata krama yang mesti dipatuhi di tengah masyarakat. Dengan demikian, keberadaan pamali secara tidak langsung juga bisa menjaga kelestarian kearifan lokal yang mengatur perilaku manusia tersebut.

Selasa, 10 Juni 2025

Kerajaan Banawa (Donggala)

 

 Kerajaan Banawa (donggala)

Kerajaan Banawa adalah salah satu kerajaan Melayu yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Donggala Banawa karena lahir di wilayah Donggala. Kerajaan yang berdiri pada medio abad ke-15 Masehi ini terlahir berkat andil tokoh legendaris yang berpetualang dari tanah Bugis, yaitu Sawerigading. Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini mampu mempertahankan eksistensinya hingga era pascakemerdekaan Republik Indonesia. Saat ini, Banawa menjadi wilayah kecamatan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

 

Sejarah

Penduduk Donggala adalah percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa, hasil persilangan ras Wedoid dan Negroid yang berkembang menjadi suku bangsa baru menyusul datangnya orang-orang Proto-Melayu pada tahun 3000 SM. Aroma Melayu semakin kental ketika pada era 300 SM kaum perantau yang berasal dari ras Deutro-Melayu juga menyambangi Donggala dan tempat-tempat di Sulawesi Tengah lainnya .Mayoritas penduduk Kerajaan Banawa adalah orang-orang dari Suku Kaili.

 

Cikal-Bakal Berdirinya Kerajaan Banawa

Pendahulu Kerajaan Banawa adalah suatu perabadan monarki milik Suku Kaili yang bernama Kerajaan Pudjananti atau yang sering juga disebut sebagai Kerajaan Banawa Lama. Kerajaan ini diperkirakan masih eksis pada abad ke-11 hingga 13 M, sezaman dengan Kerajaan Singasari yang dilanjutkan oleh Majapahit. Diperkirakan, Kerajaan Pudjananti mengalami masa kejayaan antara kurun tahun 1220 sampai 1485 M. Kerajaan Pudjananti menjadi salah satu dari tiga kerajaan tua yang terdapat di Sulawesi Tengah, yaitu Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi.

Versi legenda, diceritakan bahwa raja yang paling terkenal dalam riwayat Kerajaan Pudjananti bernama Raja Lian. Sang penguasa dikisahkan menikahi seorang wanita dipercaya datang dari alam gaib. Perkawinan ini membuahkan seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang memberi Raja Lian tujuh orang cucu, masing-masing enam cucu laki-laki dan satu cucu perempuan. Keenam cucu laki-laki tersebut kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat, dan menjadi penguasa di daerah-daerah baru tersebut.

Sesuai namanya, pusat pemerintahan Kerajaan Pudjananti diduga kuat berlokasi di daerah yang bernama Pudjananti atau Ganti. Jarak Pudjananti tidak begitu jauh dari Donggala, yang kelak menjadi ibukota Kerajaan Banawa, hanya sekitar 2 kilometer. Pudjananti merupakan kawasan tua yang sudah lama berpenghuni.

Donggala sudah kesohor sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai. Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah. Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa disebut dengan nama Banava, yang boleh jadi merupakan akar dari kata Banawa.

Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari negeri Cina. Seorang pedagang Eropa, bernama Antonio de Paiva, pada kurun tahun 1542-1543 bertolak ke Donggala dengan maksud untuk mencari kayu cendana. Pada saat itu, wilayah Banawa memang banyak ditumbuhi pohon cendana. Dimana bisa ditemukan batang-batang pohon cendana di pegunungan di sekitar Palu dan Donggala.

Penamaan Banawa sebagai kerajaan dimungkinkan juga terkait erat dengan nama kapal yang ditumpangi Sawerigading untuk mengarungi samudera, termasuk mengunjungi Ganti dan Donggala. Sawerigading adalah seorang pangeran dari Kerajaan Luwu Purba, putera dari Sang Raja Batara Lattu. Nama Sawerigading dikenal melalui cerita dan kisah dari epik sastra Bugis yang legendaris, yakni La Galigo.

Di suatu tempat yang tidak jauh dari Ganti dan Donggala, kapal yang ditumpangi rombongan Sawerigading terpaksa berlabuh karena mengalami sedikit kerusakan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal di sana, tempat di mana Sawerigading menyangga bahteranya itu lantas dikenal dengan nama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis-Donggala berarti “galangan perahu"

Langgalopi termasuk wilayah kekuasaan milik Kerajaan Pudjananti. Sawerigading kemudian memutuskan untuk mengunjungi kerajaan itu. Bukti bahwa rombongan Sawerigading pernah melalukan pelayaran sampai ke wilayah kekuasaan Kerajaan Pudjananti termaktub dalam Kitab Bahasa Bugis. Dalam kitab itu disebutkan bahwa salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananti.

Sawerigading sempat berkunjung ke Kerajaan Sigi di Teluk Kaili dan bermaksud menyunting Ratu Ngilinayo, pemimpin Kerajaan Sigi, untuk dijadikan istrinya. Akan tetapi, pernikahan itu tidak pernah terjadi karena terjadi gempa bumi pada saat pembicaraan pinang-meminang dilangsungkan sehingga rencana tersebut menjadi kacau-balau. Akibat bencana itulah, seperti yang diyakini dalam legenda, perairan Teluk Palu menjadi kering. Orang-orang yang semula berdomisili di pegunungan pun mulai turun dan mendirikan permukiman baru di lembah bekas laut itu serta beranak-pinak hingga sekarang.

Singkat cerita, dari hasil kunjungan ke Kerajaan Pudjananti itu muncul gagasan untuk menikahkan anak lelaki Sawerigading, yakni La Galigo, dengan puteri Kerajaan Pudjananti yang bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti.  Dari perkawinan itu, La Galigo dikarunai dua orang anak, masing-masing laki-laki dan perempuan. Cucu laki-laki Sawerigading diberi nama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro, yang artinya “pergi menantang, menang, dan akhirnya semua menyembah kepadanya”. Sedangkan anak yang perempuan diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti, yang bermakna “bintang tunggal yang diikuti semua orang”

Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro dinikahkan dengan I Badan Tassa Batari Bana, puteri dari kakak Raja Bone. Setelah pernikahan itu, Sawerigading dan La Galigo mulai menggagas pendirian pemerintahan baru sebagai pengganti Kerajaan Pudjananti. Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai menghadiahkan seluruh wilayah Kerajaan Pudjananti. Sejak saat itu, sebuah pemerintahan hasil afiliasi Bugis dan Kaili dengan nama baru, yaitu Kerajaan Banawa.

 

Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Banawa

 

Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M 

Penerus kepemimpinan I Badan Tassa Batari Bana juga seorang perempuan, bernama I Tassa Banawa. Ratu ke-2 Kerajaan Banawa ini memerintah sejak tahun 1552 sampai dengan 1650 M. Pada masa pemerintahan I Tassa Banawa, wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa semakin bertambah luas. Selain itu, kabinet I Tassa Banawa juga berhasil merumuskan tata cara atau sistem pemerintahan dan membentuk Dewan Adat Pittunggota atau semacam lembaga legislatif kerajaan.

Masa pemerintahan I Tassa Banawa berakhir pada tahun 1650 M. Penerus I Tassa Banawa adalah cucu perempuannya, yaitu Puteri Intoraya. Ratu ke-3 Kerajaan Banawa ini menikah dengan dengan seorang lelaki bernama La Masanreseng Arung dari Cendana Mandar. Pernikahan pasangan ini dikaruniai empat orang anak, masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan, yang diberi nama La Bugia, La Lotako, Puteri Nanggiwa, dan Puteri Nanggiana.

Pada era kepemimpinan Ratu Intoraya, pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah Donggala. Penyebaran dan perkembangan ajaran Islam di lingkungan Kerajaan Banawa, dan juga di seluruh wilayah Sulawesi Tengah, pada medio abad ke-16 M itu dipelopori oleh kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan yang sudah terlebih dulu memeluk Islam. Pelopor syiar Islam di kawasan Sulawesi Tengah adalah orang-orang dari Kerajaan Bone dan Wajo.

Sejalan dengan itu, Ratu Intoraya pun menjadi penguasa Kerajaan Banawa pertama yang memeluk Islam. Tindakan yang dilakukan oleh Ratu Intoraya dan segenap keluarga Kerajaan Banawa itu membuat sebagian besar rakyat juga turut berbondong-bondong masuk Islam.

Tidak cuma masuknya ajaran Islam saja yang mewarnai dinamika kehidupan Kerajaan Banawa pada masa pemerintahan Ratu Intoraya, melainkan juga pengaruh bangsa-bangsa asing yang datang dari Eropa. Portugis adalah wakil dari kaum Barat pertama yang memasuki wilayah ini, kemudian disusul oleh Spanyol dan Belanda lewat kongsi niaganya yakni Vereniging Oost-indische Compagine (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya, peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi pengaruh kompeni Belanda.

Memasuki tahun ke-19 pemerintahan Ratu Intoraya, VOC sudah menjalin mitra niaga dengan sejumlah kerajaan di kawasan Sulawesi Tengah, termasuk dengan Kerajaan Banawa, dan kerajaan-kerajaan Suku Kaili lainnya seperti Kerajaan Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak penambangan emas dengan masing-masing penguasa kerajaan tersebut.

Belanda menawarkan kepada raja-raja lokal yang bersemayam di wilayah itu untuk pemberian bantuan dalam bidang penanggulangan keamanan. Peluang Belanda terbuka kian lebar karena pada waktu itu wilayah Kerajaan Banawa dan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Tengah sedang rawan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan perompak dari wilayah Mindanao, Filipina, itu seringkali menganggu kawasan perairan di Selat Makassar .

Kaum kompeni kian mendapat angin dengan diizinkannya membangun benteng atau loji. Pemerintahan Ratu Intoraya sebagai orang nomor satu di Kerajaan Banawa berakhir pada tahun 1698 M. Putra sulung Ratu Inoraya, yakni La Bugia, naik ke puncak kekuasaan tertinggi kerajaan. Dengan demikian, La Bugia adalah laki-laki pertama yang menempati singgasana Kerajaan Banawa di mana tiga penguasa sebelumnya adalah perempuan. Setelah ditabalkan sebagai raja, La Bugia menyandang gelar kehormatan sebagai La Bugia Pue Uva.

Pada era kepemimpinan Raja La Bugia Pue Uva, kemakmuran warga masyarakat Kerajaan Banawa semakin maju. Bandar niaga Donggala semakin mendapat perhatian dari berbagai kalangan sebagai salah satu sentra jaringan perniagaan di nusantara. Bahkan, saking kondangnya citra Donggala, pada masa pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva ini datang gangguan dari bangsa Portugis yang berambisi untuk merebut pelabuhan dagang Donggala sehingga terjadi pertempuran melawan pihak Kerajaan Banawa. Dalam peperangan laut ini, Raja La Bugia Pue Uva berhasil mempertahankan Donggala dari ancaman Portugis.

Periode pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva usai pada tahun 1758 M. Sebagai anak pertama, Puteri I Sabida adalah orang yang paling berhak untuk meneruskan tahta ayahandanya. Dengan demikian, Kerajaan Banawa kembali dipimpin oleh seorang perempuan. Ratu I Sabida mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang pejabat kerajaan yang bernama Madika Matua Banawa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang putera dan seorang puteri, masing-masing bernama La Bunia, Kalaya, Lauju, dan Puteri I Sandudongie.

Sosok Ratu I Sabida digambarkan sebagai tokoh wanita yang pemberani dan sakti mandraguna. Ia memimpin dengan penuh wibawa, tegas, disegani oleh kawan maupun lawan, dan berhasil membawa Kerajaan Banawa menjadi peradaban yang sejahtera. Selain itu, Ratu I Sabida juga membuka ruang interaksi dengan kaum pedagang asing yang singgah di pelabuhan Donggala dan yang menetap untuk sementara di wilayah Kerajaan Banawa. Pada masa ini, mulai diperkenalkan cara merajut tenun sutra, yang kini dikenal sebagai kain tenun Donggala, oleh para saudagar dari Gujarat.

Dalam urusan pewarisan tahta, Ratu I Sabida tampaknya cenderung memilih Puteri I Sandudongie sebagai calon penerusnya kendati ketiga anaknya yang lain adalah laki-laki, termasuk anak yang paling sulung. Setelah Ratu I Sabida meninggal dunia, puteri bungsunya itulah yang diangkat sebagai pelanjut tahta Kerajaan Banawa. I Sandudongie naik jabatan sebagai ratu pada tahun 1800. Raja perempuan terakhir dalam sejarah Kerajaan Banawa ini menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama La Sa Banawa.

Pada masa kuasa Ratu Kerajaan Banawa yang ke-6 ini, Belanda juga berhasil memaksa Ratu I Sandudongie untuk menandatangani sejumlah kesepakatan yang tentu saja merugikan pihak Kerajaan Banawa. Kontrak perjanjian yang disodorkan oleh Belanda kepada Ratu I Sandudongie pada tahun 1824, misalnya, memuat isi yang pada intinya semakin menguatkan dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan di Donggala. Salah satu keuntungan istimewa yang diperoleh Belanda dengan kontrak tersebut adalah bahwa Belanda diperbolehkan mendirikan Kantor Bea dan Cukai (Doane), beserta macam-macam fasilitas, dengan dalih memperlancar kegiatan ekonominya.

Setelah menjadi ratu selama 45 tahun, Ratu I Sandudongie wafat pada tahun 1845. Putera semata wayangnya, La Sa Banawa, ditetapkan selaku pemimpin Kerajaan Banawa yang berikutnya. Setelah ditahbiskan menjadi raja, La Sa Banawa memperoleh nama kehormatan La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera dan menyandang gelar adat Mpue Mputi. Penguasa ke-7 Kerajaan Banawa ini mengawini I Palusia dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama I Tolare dan La Marauna.

Di era kepemimpinan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera, meski masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh Belanda, populeritas Donggala kian menjulang. Donggala tidak hanya sebagai kota pelabuhan saja, tetapi juga sebagai kota pelajar, kota perdagangan, kota pemerintahan, kota perjuangan, dan kota budaya yang sering menjadi rujukan dan didatangi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Josep Condrad, pengelana sekaligus penulis berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan yang dilakoninya. Selama masa kunjungan ke Kerajaan Banawa sejak tahun 1858, Condrad menjalin persahabatan yang erat dengan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera .

Kepala pemerintahan Kerajaan Banawa yang berikutnya adalah La Makagili yang tidak lain adalah cucu dari Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera. Penguasa Kerajaan Banawa yang ke-8 ini menduduki puncak singgasana sejak tahun 1888  dengan gelar La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang paling berani dan gigih melawan penjajah Belanda.

Tepat pada tanggal 23 Juli 1893, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa yang selama ini berlokasi di Pudjananti alias Ganti dipindahkan ke Donggala. Penetapan Donggala sebagai ibukota Kerajaan Banawa ini bertahan hingga Kerajaan Banawa bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu, tahta Raja La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu berakhir pada permulaan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1902

 

Kerajaan di Era Kemerdekaan

Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kuat menancapkan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sulawesi Tengah, tidak terkecuali Kerajaan Banawa. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut telah diikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan berbagai macam kontrak politik dan ekonomi .Pada periode tahun 1902 hingga 1926, pemimpin Kerajaan Banawa adalah La Marauna dengan gelar La Marauna Pue Totua dan mendapat julukan kehormatan sebagai. Mpue Totua

Pengemban estafet kepemimpinan Kerajaan Banawa yang ke-10 ialah Raja La Gaga Pue Tanamea yang bertahta sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1932. Raja La Gaga Pue Tanamea adalah anak dari kakak kandung Raja La Marauna Pue Totua yang telah menjabat sebelumnya. Setelah Raja La Marauna Pue Totua mangkat, yang diangkat sebagai penggantinya adalah putera keempat almarhum raja, bernama La Ruhana Lamarauna. Pada masa pemerintahan Raja Banawa ke-11 ini, terjadi pertempuran sengit antara Belanda dengan Jepang yang mendarat di wilayah Sulawesi Tengah pada tanggal 15 Mei 1942. Akhirnya, Jepang berhasil mengambil-alih penguasaan wilayah Kerajaan Banawa.

Raja La Ruhana Lamarauna harus menjalankan pemerintahannya dengan waspada dan berhati-hati selama era penjajahan Jepang. Pada masa ini, Kerajaan Banawa nyaris tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan secara politik lagi dan hanya sekadar menjalani kehidupan sembari menunggu terjadinya perubahan. Harapan itu terwujud ketika pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Raja La Ruhana Lamarauna pun leluasa dapat menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banawa hingga tutup usia pada tahun 1947

Pemangku tahta Kerajaan Banawa yang selanjutnya adalah putera bungsu Raja La Ruhana Lamarauna, bernama La Parenrengi Lamarauna. Selain sebagai pemangku tahta, Raja Banawa ke-12 ini juga berkecimpung di ranah perpolitikan nasional dengan merangkap jabatan sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pertama di Sulawesi Tengah. Suami dari Hajja Sania Tombolotutu ini merupakan raja terakhir Kerajaan Banawa dan memungkasi riwayat hidupnya pada tahun 1986. Raja La Ruhana Lamarauna menghembuskan nafas terakhirnya di Palu.

Raja La Parenrengi Lamarauna disebut sebagai raja terakhir Kerajaan Banawa karena sejak tanggal 12 Agustus 1952, Donggala ditetapkan sebagai salah satu dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, selain Kabupaten Poso. Status daerah Banawa pun dialihkan menjadi kecamatan dan ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Donggala. Sejak saat itu, kehidupan Banawa selaku pemerintahan kerajaan dinyatakan usai.

 

Silsilah

I Badan Tassa Batari Bana (1485-1552 M).

I Tassa Banawa (1552-1650 M).

I Toraya (1650-1698M).

La Bugia Pue Uva (1698-1758 M).

I Sabida (1758-1800).

I Sandudongie (1800-1845).

La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888).

La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902).

La Marauna Pue Totua (1902-1926).

La Gaga Pue Tanamea (1926-1932).

La Ruhana Lamarauna (1932-1947).

La Parenrengi Lamarauna (1947-1959)


Sistem Pemerintahan

Kerajaan Banawa mengadopsi sistem pemerintahan yang telah diberlakukan dalam tata cara pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kemiripan pola pengaturan kehidupan di Kerajaan Banawa dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan tersebut terlihat dari bentuk bangunan dan pemakaian gelar kehormatan untuk bangsawan.

Bangunan adat khas Kerajaan Banawa dikenal dengan sebutanbaruga yang merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan kerajaan. Sedangkan gelar-gelar kehormatan kerajaan yang dianugerahkan kepada para bangsawan di Kerajaan Banawa juga nyaris persis dengan gelar bangsawan di Sulawesi Selatan, sebut saja pemakaian gelar yang berawalan La, Daeng, Andi, dan sebagainya.

Di samping itu, format dan struktur pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Banawa juga memakai gaya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yakni dengan menganut sistem Pitunggota.

Pitunggota adalah suatu susunan pemerintahan kerajaan dan lembaga legislatif yang dipimpin oleh seorang Baligau. Keanggotaan Pitunggota terdiri dari tujuh pejabat tinggi kerajaan, termasuk menteri dan pejabat daerah, yaitu antara lain Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Tadulako, Galara, Pabicara, dan Sabandara.

Madika Malolo adalah sebutan untuk raja muda sebagai wakil dari Raja Banawa dalam mengurusi persoalan-persoalan tertentu. Pengangkatan Madika Malolo dilakukan langsung secara adat oleh raja dan harus mendapat restu dari dewan kerajaan. Madika Matuamerupakan jabatan perdana menteri yang merangkap sebagai pejabat urusan luar negeri dan ekonomi. Seorang Madika Matuadiangkat dan diberhentikan oleh raja atas persetujuan Baligau. Anggota Pitunggota lainnya yakni Ponggawa atau menteri dalam negeri, Tadulako atau menteri pertahanan dan keamanan, Galaraatau menteri kehakiman, Pabicara atau menteri penerangan, dan Sabandara alias menteri perhubungan kelautan

Tata cara pemerintahan di Kerajaan Banawa juga terdapat dua lembaga tinggi, yakni Libu Nu Maradika (semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Libu Nto Deya (semacam Dewan Permusyawaratan Rakyat). Tugas Libu Nu Maradika adalah mengesahkan penobatan raja terpilih. Sedangkan Libu Nto Deya ialah dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah atau Kota Pitunggota. Bentuk Kota Pitunggota ditetapkan berdasarkan luas wilayah kerajaan yang memiliki perwakilan Soki (kampung). Selain itu, dalam tradisi Kerajaan Banawa dikenal tingkat penggolongan strata sosial masyarakat, antara lain yaitu Madika/Maradika (kaum raja dan bangsawan), Totua Nungata (keturunan tokoh-tokoh masyarakat), To Dea (rakyat biasa), dan Batua yang merupakan kasta hamba atau budak.

 

Wilayah Kekuasaan

 

Sejak era pemerintahan Raja La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888) hingga Raja La Ruhana Lamarauna (1932-1947), Kerajaan Banawa memiliki luas wilayah sekitar 460.000 hektare yang terbagi atas tiga daerah. Pertama adalah kawasan Banawa Selatan yang memiliki area wilayah dari Loli Watusampu sampai Surumana yang berbatasan dengan daerah Mamuju. Berikutnya adalah kawasan Banawa Tengah yang membentang dari Pantoloan sampai Sindue. Bagian ketiga adalah kawasan Banawa Utara dengan cakupan daerah yang terhampar dari Balaesang hingga Dampelas Sojol, termasuk Pulau Pasoso dan Pangalasing.

Daerah-daerah yang dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa pada masa sekarang menjadi desa-desa yang bernaung di wilayah administratif Kecamatan Banawa. Daerah-daerah itu meliputi Ganti, Bambarimi, Boneoge, Boya, Gunling Bale, Kabonga Besar, Kabonga Kecil, Kola-Kola, Labuanbajo, Lalombi, Limboro, Lolioge, Lolitasiburi, Lumbudolo, Lumbumarara, Maleni, Mbuwu, Powelliwa, Salengkaenu, Salubomba, Salumpaku, Surlimana, Tanahmea, Tanjung Batu, Tolongano, Tosale, Towale, dan Watatu.


Sumber : DISINI

Perang KULAWI

 


Keadaan Geografis

Kulawi  adalah  sebuah  kecamatan  yang  memiliki  luas  wilayah 1.053,56 km2 terletak ± 71 km di sebelah Selatan kota Palu (Kabupaten Sigi dalam  Angka,  2020:  8).  Pada  tahun  1930,  penduduk  Landschap  Kulawi sebanyak 11.114 jiwa yang terdiri dari 11.074 penduduk bumiputera, 1 Eropa dan  39  Cina  (Volkstelling  1930,  1936:  134).  Kulawi  sebagai  daerah pedalaman (Hinterland) ini merupakan hamparan tanah dataran tinggi subur Momi sekaligus pintu gerbang yang menghubungkan antara Kulawi dengan daerah sekitarnya. Selain itu, Kulawi diapit oleh pegunungan yang dipagari hutan  lebat  serta  memiliki  beberapa  aliran  sungai,  seperti;  Sungai  Koro, Sungai Miu, Sungai Mewe, Sungai Sore, Sungai Tuwa, dan Sungai Adale dan Danau Lindu (Sadi dan Syawal, 2016: 17).

Secara  geografis  Kulawi  berada  posisi  1°20‟18”-1°43‟22”  LS  dan 119°4‟04”-120°07‟53”BT. Kecamatan Kulawi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sigi yang memiliki batas-batas wilayah antara lain: Sebelah Utara berbatasan  dengan  Kecamatan  Gumbasa  dan  Kecamatan  Lindu;  Sebelah Timur  berbatasan  dengan  Kabupaten  Poso;  Sebelah  Selatan  berbatasan dengan  Kecamatan Kulawi  Selatan  dan Kecamatan  Pipikoro;  dan Sebelah Barat berbatasan dengan Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Sadi dan Syawal, 2016: 16).

Kulawi  terletak  dibagian  selatan  wilayah  Kabupaten  Sigi,  dengan jarak ± 62 Km dari ibu kota kabupaten. Untuk sampai di ibu kota kecamatan dan  beberapa  desa  dapat  ditempuh  dengan  kendaraan  roda empat,  namun terdapat  lima  desa  yang  hanya  dapat  ditempuh  dengan  kendaraan  roda dua/motor ojek pada musim kemarau melalui jalan setapak sedangkan pada musim hujan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kulawi terdiri dari 16 desa, antara lain: Winatu, Towulu, Siwongi, Banggaiba, Rantewulu, Lonca, Boladangko,  Sungku,  Toro, Mataue,  Bolapapu, Namo, Tangkulowi,  Salua, Poleroa Makuhi, dan Marena (Sadi dan Syawal, 2016: 17).

Kecamatan  Kulawi  pada  umumnya  merupakan  daerah  pegunungan,  dan berada pada sepanjang  aliran Sungai Lariang yang terletak pada ketinggian kurang lebih 500-1000 meter di atas permukaan laut. Kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60%-70% dan bahkan ada yang mencapai di atas 80%.  Persentase ketinggian desa-desa  di atas  permukaan laut  yakni  0-500 meter sebanyak 21,42%  dan 501-1000 meter sebanyak 78,58% (Kecamatan Kulawi dalam Angka 2015). 

Kulawi: Kerajaan Kecil di Sulawesi Tengah

Kulawi  adalah  sebuah  kerajaan  yang  berdaulat  dan  peletak  dasar terbentuknya  sistem  komunal  sebagai  daerah  adat  yang  dibentuk  oleh Kodomo, penemu Kayu Kulawi (Kau Ngkulawi). Sejak itu, kepemimpinan diatur  oleh Totua Ngata  dan  Totua Ada’ yang  dipercaya oleh  masyarakat umum atau To Ndea. Totua Ngata dan Totua Ada‟ memiliki petugas masing-masing,  yaitu  Padaho,  Galara,  Tadulako1  yang  mengatur  wilayah  Topo Moma, Topo Umaria, Topo Tado, Topo Ompa atau Tobaku, dan Topo Uma2 Ree  Owi  (Pamei,  2006:  2).  Semua  wilayah  tersebut  memiliki  bangsawan masing-masing  yang memiliki  keturunan hingga kini. Raja pertama adalah seorang perempuan bernama Hangkalea yang menentang pemerintah kolonial Belanda kemudian dilanjutkan oleh adiknya Towoalangi.

Pada  abad XVIII,  Kulawi  memiliki  pemimpin  perempuan bernama Hungkalea. Menurut  Totua Ngata,  sejak beberapa abad lalu  orang Kulawi telah  memiliki  seorang  figur  pemimpin  perempuan  yang  fungsinya  sama dengan Totua Ngata. Seorang perempuan yang memangku  jabatan tersebut diberi gelar Tina Ngata (Ibu Kampung). Keberadaan Tina Ngata bukan hanya dihormati oleh warga Ngata tetapi juga Ngata yang ada di sekitarnya (Tongki Ngata).  Sosok Tina Ngata  yang  cukup populer hingga  kini  bahkan sangat disegani  oleh  Belanda  adalah  Hungkalea.  Konsep  ini  ternyata  mampu membendung langkah kaki kaum penjajah. Persatuan dan kesatuan (hintuvu) antara rakyat, Totua Ngata dan Tina Ngata serta para pemimpin saat itu yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat merupakan senjata paling ampuh dalam melakukan perlawanan. Selain Hungkalea, masih ada beberapa Tina Ngata lainnya, seperti Lingkumene, Tobanawa, dan Ngkamumu.

Pada  masa  Hangkalea  menjabat  sebagai  Magau  Kulawi,  posisi Towoalangi  menjadi  seorang  Tadulako untuk  memimpin  perang.  Menurut Kamus  Kaili Ledo  “tadulakon  panglima perang,  kepala tentara, pahlawan. Warrior, hero, military leader” (Evans, 2003: 225). Tadulako secara historis juga hadir dalam fenomena historiografi (penulisan sejarah Sulawesi Tengah) dari masa ke masa. Tokoh sejarah sebagai Tadulako di kerajaan-kerajaan di wilayah masyarakat Kaili Sulawesi Tengah antara lain Tadulako Umana Soli dari Napu, Mantaili dari Lando Bulili, Lasoso dari Biromaru, Amir Kasa dari Tatanga, Songgo Langi Bone Tatura,  Mangge Rante  dari Enu,  Towoalangi dari Kulawi.

Secara  tradisional,  Kulawi mempunyai  konsep  struktur  sosial  yang terdiri dari lima golongan, yaitu:

1. Golongan Madika atau Maradika. Golongan ini terdiri atas para raja dan bangsawan  atau  “elit”  yang  mempunya  hak  istimewa.  Keistimewaan Maradika  mempunyai  peran  dan  wewenang,  yakni:  (1)  Mengatur hubungan Ngata dengan  Ngata lain yang  disebut  “Hintuvu Ngata”,  (2) Menentukan  perang  dengan  Ngata  lain,  dan  (3)  Membuat  keputusan terakhir.  Apabila  ada  masyarakat  yang  membuat  pelanggaran,  dan pelanggaran  tersebut  setelah  melalui  rapat  Totua  Ngata  menetapkan keputusan orang tersebut dijatuhi hukuman mati, maka jalan keluar yang ditempuh Maradika untuk menyelamatkan orang yang di jatuhi hukuman mati tersebut  ialah “Ratolo” (ditebus) dengan hewan jika persoalan yang dia  lakukan masih bisa  di tolerir.  Masa  sekarang, fungsi  Maradika di dalam Ngata dipegang oleh kepala Ngata.

2. Golongan Totua Ngata  terdiri  atas:  penasehat  agama, rohaniawan, dan ketua  adat  (yang  mempunyai  kekuasaan  dibidang  agama  dan  adat). Selain itu, Totua Ngata membunya peran dan wewenang, antara lain: (1) Mengatur dan mengawasi aturan adat  yang disepakati  dalam Polibua  / musyawarah; (2) Menyelesaikan perselisihan antar Boya; (3)  Mengatur pelaksanaan  perkawinan  adat,  serta  menentukan  besar  kecilnya  mas kawin menurut “Lari Wati” (keturunan) dari keluarga yang bersangkutan; (4) Memimpin sidang atau Polibu menyangkut penyelesaian perselisihan pada  tingkat  Boya  dan  Ngata;  (5)  Menentukan  besar  kecilnya  sanksi “Givu”  atau  denda  adat  atas  pelanggaran;  (6)  Memimpin  dan mengarahkan  Totua-totua  Boya  dalam  Ngata  menyangkut  evaluasi kembali  aturan-aturan  yang ada atau  merubah dan membuat  peraturan adat yang baru; (7) Menjadi panutan; (8) Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat; dan (9) Memilih pemuda sebagai Tondo Ngata untuk dipersiapkan menjadi prajurit perang dan pengawasan wilayah adat. 

3. Golongan Tina Ngata yang memiliki peran dan wewenang, antara lain: (1)  Perancang  pekerjaan  dalam  pertanian,  karena  yang  banyak mengetahui  dengan  teliti  ilmu  perbintangan  di  langit  untuk  dijadikan pedoman  dalam  bercocok  tanam  adalah  perempuan  utamanya  Tina Ngata.  Oleh  karena  itu,  Maradika  dan  Totua  Ngata  mendengar penjelasan  dari  Tina  Ngata,  kemudian  kesepakatan  tersebut  baru disampaikan kepada masyarakat mengenai waktu pelaksanaan pekerjaan pertanian,  seperti  menabur  bibit,  menanam, termasuk  membuka  lahan yang dijadikan kebun; (2) Pendingin, artinya sebagai juru damai jika ada konflik dalam Ngata, biasanya perempuan maju sebagai juru damai; dan (3)  Keterlibatan  perempuan  dan  pemuda  dalam  perencanaan  dan pengambilan  keputusan  dalam  forum  adat.  Kehadiran  seorang  Ntina Ngata  dalam  setiap  musyawarah  atau  pertemuan  merupakan  sebuah keharusan.  Ketidak  hadirannya  dapat  mengakibatkan  keputusan  yang sudah  diambil  menjadi  batal  (tidak  sah).  Bentuk  pertemuan  yang demikian  mewajibkan  kehadiran  seluruh  unsur  Ngata  tanpa  terkecuali yang  disebut  Hintuvu  Libu  Ngata.  Fungsi  seorang  Tina  Ngata  dalam kesehariannya selain yang disebutkan di atas, juga dapat menyelesaikan segala  bentuk  persoalan  baik  bersifat  internal,  maupun  eksternal,  dan dilaksanakan secara bersama-sama dengan para Totua Ngata. Jika konflik yang  timbul  tidak  dapat  diselesaikan secara  internal  Ngata,  kehadiran para Tina Ngata dan Totua Ngata yang berasal dari Tongki Ngata sangat diperlukan. 

4. Golongan Ntodea yang terdiri atas kalangan masyarakat pekerja, petani, penduduk  umum,  baik  di  kota  maupun  di  desa  atau  dapat  dikatakan golongan rakyat jelata. 

5. Golongan  Batua yang  terdiri atas  tawanan perang,  budak dan  mereka yang  dianggap  sebagai  penghianan.  Penggolongan  lapisan  sosial tradisional ini, khususnya  golongan kelima (batua) sudah lama dihapus oleh  kesadaran  masyarakat  setempat.  Meskipun  demikian,  secara tradisional  masyarakat  Kulawi  sekarang  masih  mengakui  status  sosial golongan  Madika  dan  Tetua  Ngata,  misalnya  dalam  hal  yang berhubungan  dengan  masalah-masalah  tatakrama  (etik),  adat  istiadat yang  sudah  melemah,  namun  dalam  proses  pengembangan  sosial  di Kulawi sekarang tidak ada lagi foedalisme (Ma‟mun, t.t.: 24-27). 

6. Golongan  tersebut  memiliki  peranan  penting  dalam  mengakomodir persoalan  melalui  dewan  adat.  Salah  satu  tempat  yang  menjadi  pusat urusan adat istiadat,  pemerintahan  dan  budaya adalah bangunan Lobo. Lobo memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) untuk musyawarah, perumusan, dan pengambilan  kebijakan  menyangkut  kepentingan  publik  serta mengakomodasi  segala  kegiatan  yang  berkaitan  dengan  kepentingan umum,  khususnya  bagi  para  pemegang  tampuk  pemerintahan (Maradika),  Totua Ngata  (sesepuh),  pengurus adat  anggota  dan tokoh masyarakat. 2) sebagai gedung pengadilan, apabila seseorang melanggar hukum adat, maka dia akan diadili dan disiksa di dalam lobo. 3) tempat upacara adat  yang  biasanya  ditandai  dengan  prosesi  penyembelihan hewan seperti kerbau dan lain-lain.

Secara  vertikal,  Lobo  ditata  menjadi  tiga  bagian  berdasarkan golongan,  yakni  (1)  pada  bagian  bawah  lobo  adalah  tempat  umum  atau pendengar yang hadir, (2) bagian tengah adalah tempat makan (Padence). (3) Di  atas  bantalan, terdapat dapur kecil  (puavhua) sejajar dengan panggung bulat  kecil  yang  berhubungan langsung  dengan  tembok disebut  Palangka, khusus bagi para bangsawan dan Totua Ngata (Yusran dan Suryasari, 2016: 189).  

 

Kulawi: Wilayah Vorstelanden Sulawesi Tengah

Awal  abad  XX,  Kulawi  masih  memperlihatkan  karakteristik  yang menarik. Kekuasaan raja di Kulawi sama halnya dengan raja-raja lainnya di Sulawesi Tengah yang berkuasa. Kekuasaan dari penguasa di Kulawi masih bersifat tradisional seperti yang dikatakan oleh Wertheim, (1956: 115) bahwa:  “As a role the position of the chief in the small communities, both territorial and genealogical, was not ane of autoritaritarian command but rather on of ‘rimus  inter  pares”.  Posisi  pemimpin  dalam  komunitas  kecil,  baik  dalam komunitas atas dasar territorial atau genealogis, bukan merupakan pimpinan yang  otoritarian,  tetapi  lebih merupakan  primus  inter  pares  (yang  terbaik diantara yang baik). Inilah ukuran demokrasi yang ada dalam struktur inheren masyarakat tradisional Indonesia termasuk di Kulawi3.

Keadaan  itu  membuktikan  bahwa  pengaruh  kekuasaan  lama  atau tradisional di Kulawi masih sangat kental dan tidak bisa disepelekan dalam perkembangan sejarahnya. Jadi, Kekuasaan Towoalangi  yang diperoleh  dari penguasa  sebelumnya  merupakan  bentuk  “primus  inter  pares”  dari masyarakat  Kulawi. Otoritas tradisional  yang  diperoleh Towoalangi secara adat  dalam peradaban  dan  kebudayaan  harus  dipertahankan  sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku  secara  turun-temurun.  Namun,  dalam perkembangannya Kulawi dibawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Sigi yang memiliki seorang tokoh  andalan dari Kulawi  bernama Pole (Abdullah [ed], 2005: 23). Kekuasaan Sigi di Sulawesi Tengah pada dasarnya dianggap oleh Belanda sebagai pusat penguasa territorial di Sulawesi Tengah, sehingga Kulawi selalu memberikan upeti kepada Raja Sigi.

Pengaruh  Hindia Belanda di  Sulawesi Tengah pada  awal abad  XX dapat dilihat dari sistem politik dan kekuasaan terutama pemerintahan legal rasional  dari  Eropa.  Sistem  pemerintahan  dapat  dilihat  dari  pembagian wilayah kekuasaan. Pemerintah Hindia Belanda membagi daerah menjadi dua bagian  utama  yakni  daerah  yang  dikontrol  langsung (Rechtsreeksbestuursgebied atau Governementslanden) dan daerah yang tidak langsung  dikontrol  (Zelfbestuurslandschappen  atau  Vorstelanden).  Daerah              yang dikontrol langsung dibagi lagi menjadi afdeelingen dan sub bagiannya onderafdeelingen.  Afdeelingen  dipimpin  langsung  oleh  seorang  kontroleur Belanda  tetapi  yang  memerintah  adalah  seorang  Bupati.  Bupati  adalah seorang penguasa baru yang dibuat oleh Belanda untuk menggantikan posisi Mokole,  Magau,  Karaja,  Datu,  Kabosenya,  sebagai  penguasa  tertinggi tradisional  di  wilayah  Poso.  Bupati  inilah  yang  menguasai  keseluruhan Regentchaapen (Kabupaten), (Ahimsa, 1991: 37).

Pada  surat  Residen  Manado  tanggal  17  Juli  1909  Nomor  3546 Afdeeling  Sulawesi  Tengah  dibagi  menjadi  enam  wilayah,  yaitu onderafdeeling  pantai  barat,  Palu,  Parigi,  Poso,  Banggai,  dan  Tobungku. Kulawi masuk dalam Onderafdeeling Palu dibawah seorang controleur yang berkedudukan  di  Palu  (untuk  sementara  pada  tahun  1909  diduduki  oleh seorang  Civiel en  militair gezaghebber)  dan  untuk membimbing  penguasa pribumi di wilayah ini ditempatkan seorang asisten pribumi sebagai pembantu controleur.  Dalam  catatan  tersebut  dinyatakan  “di  daerah  pegunungan  ini ditempatkan  seorang civiel  gezagheber,  mungkin  dengan  Lemo  di  Kulawi sebagai  tempat  kedudukannya.”  Secara  normatif,  posisi  Kulawi  dianggap sebagai wilayah yang dikuasai secara langsung. Tetapi secara de facto Kulawi adalah vorstenlanden. 

Perang Kulawi: Sebuah Gerakan Sosial

Perang ini disebut perang “Bulu Momi” (Bulu = Gunung, dan Momi = Potong).  Perang  Kulawi  melawan  Belanda  dibawah  pimpinan  Opsir  van Offen berlangsung tahun 1904-1905. Dalam perang tersebut, pasukan Kulawi kurang  lebih  1.500  orang  dipimpin  oleh  Towoalangi.  Mengenai  jumlah pasukan yang terlibat dalam perang tersebut terdapat beberapa versi, misalnya menurut Jore Pamei,  jumlah tentara Kulawi  waktu itu sebanyak 500 orang, sedangkan menurut buku Djawatan Penerangan Kabupaten Donggala perang tersebut melibatkan sebanyak 1.500 orang pasukan Kulawi (Sadi dan Syawal, 2017: 308).

Sebenarnya  Belanda  telah  melakukan  penyerangan,  namun  tidak berhasil memasuki  wilayah  Kulawi karena wilayah Kulawi sulit  dijangkau tentara  Belanda  pada waktu  itu. Selain  belum  ada jalan  resmi ke  Kulawi, wilayah ini juga memiliki  medan yang berliku-liku dan jurang-jurang  yang dalam (Masyhuda, 1982/1983: 89-91). Di tempat-tempat yang strategis inilah, masyarakat  melakukan  penghadangan  terhadap  tentara  yang  diutus  oleh pemerintah Hindia Belanda dari Palu. Benteng pertahanan masyarakat Kulawi dipilih di Gunung Momi yang dilengkapi dengan senjata api berjumlah 500 pucuk  ditambah  dengan  senjata  tradisional  lainnya  seperti  tombak,  guma (parang), keris, sumpit, dan onggokan batu-batu besar untuk digelindingkan (Sadi dan Syawal, 2016: 169).

Sejak tahun 1904, tentara Belanda melakukan penyerangan ke Kulawi dengan  basis  pertahanan  di  Tuwa  dan  Gunung  Momi  di  pihak  Kulawi. Perebutan  Kulawi oleh  tentara  Kolonial Belanda  dilakukan selama  kurang lebih tiga bulan. Pimpinan tentara Belanda menjadikan Ince Muhammad dari Palu sebagai penunjuk jalan menuju Tuwa kemudian Madika Tuwa bernama Jaraba  dijadikan  sebagai  penunjuk  jalan  untuk  memasuki  Kulawi.  Jaraba sebagai Madika  Kulawi tidak mau  menjadi  penunjuk jalan, namun disiksa dengan cara dipanggang, sehingga dia menyetujui keinginan Belanda untuk menjadi penunjuk jalan (Sadi dan Syawal, 2016: 170). Jalan yang dilalui oleh Belanda melewati  Sungai  Miu menuju ke hulu hingga melewati Kampung Betaha di Kulawi. Pasukan Kulawi yang bertahan di Pedoa sebanyak kurang lebih 70 orang dapat dipatahkan oleh pasukan  Belanda yang diperkuat oleh bantuan  dari  Palu dan Manado.  Pasukan  Belanda yang lainnya melakukan penyerangan  ke pasukan  Kulawi  yang  berada di  Gunung Momi,  sehingga pasukan  Belanda  yang  menuju  Kulawi  melalui  sungai  Miu  tidak  dapat dihalau (Masyhuda, 1982/1983: 89-91).

Pada tahun 1904 Towoalangi melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda.  Perlawanan  terhadap  Belanda  di  Kulawi  yang  dipimpin  oleh Towoalangi adalah sikap mempertahankan harga diri bangsa Kulawi dengan membuat  pertahanan  di  Gunung  Momi.  Penyerangan  Belanda  dari  pusat kekuasaan di Palu selalu dilakukan ke Kulawi, namun sering gagal karena medan yang sulit ditempuh dan  tidak adanya  kerjasama yang  diperlihatkan oleh penduduk lokal waktu itu. Dua orang utusan Belanda dari Palu, yakni Lamarauna  (Raja Banawa) dari  Donggala  dan Yojokodi  (Raja  Palu) gagal membujuk  Towoalangi  untuk  tunduk  kepada  Belanda.  Ajakan  kedua pembesar Sulawesi Tengah yang lebih awal tunduk kepada Belanda ditolak oleh Towoalangi. Hal itu menunjukkan bahwa secara teritorial tidak ada lagi kekuasaan kerajaan  yang terpusat  seperti kerajaan Sigi masa itu  (Sadi  dan Syawal, 2016: 166-167).

Pada  tahun  1905,  pasukan  Belanda  berhasil  memasuki  ibukota Kerajaan Kulawi melalui Sungai Miu.  Tentara  Belanda juga  menggunakan simbol-simbol tradisional untuk menghentikan pertentangan atau peperangan dengan  menaikkan  bendera putih sebagai  simbol diakhirinya pertentangan. Bendera putih oleh orang Kulawi disubut „tobula‟ yang terbuat dari kulit kayu dan dijadikan kain. Kurir dan tentara Belanda setelah berada di Kulawi yang ditemui hanya ada dua orang yakni Raja Towoalangi dan Mekuasa di istana kerajaan. Kurir Belanda  yang menemui raja  Towoalangi bernama Yojobula dan  Yojovuri  dari  Palu.  Ancaman  Belanda  disampaikan  oleh  kedua  kurir tersebut kepada  Towoalangi „kalau  tidak menyerah kepada  mereka, Belanda membunuh semua keluarga raja dan  membakar ibukota Kulawi‟ (Masyhuda, 1982/1983:  89-91).  Akhirnya  Towoalangi  menyerahkan  diri  kepada pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi keluarga dan rakyat Kulawi. 

Akibat  tunduknya  Towoalangi  kepada  Belanda,  dibuatlah  naskah perjanjian pendek untuk mengatur hubungan kerjasama antara  kedua belah pihak. Penandatanganan perjanjian dan kontrak tersebut merupakan langkah strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk mengikat kerajaan-kerajaan yang berhasil  ditundukkan,  salah  satunya  Towoalangi  (Raja  Kulawi)  yang menandatangani Korte Verklaring pada tanggal 30 November 1908. Kontrak ini diperbarui oleh Raja Tomampe alias Tomai Masi 6 Desember 1917, dan terakhir Djiloi 8 April 1921 (Kutoyo, 2005: 105-106).

Konsekuensi akhir  dari penandatanganan perjanjian  pendek tersebut, sistem kekuasaan Hindia Belanda mau tidak mau harus menggantikan sistem kekuasaan  lama  yang  telah  berkuasa  sejak  dahulu.  Pembagian  wilayah kekuasaan kemudian diperbaharui pada tahun 1918 yang berkuasa di seluruh wilayah  Sulawesi  Tengah  dan  kemudian  mendapat  pembaharuan  kembali pada  tahun 1924  dengan membagi  wilayah Sulawesi  Tengah menjadi  dua afdeeling, yakni afdeeling Poso dan afdeeling Donggala (Sadi  dan Syawal, 2016: 182).

Wilayah  Afdeeling  Midden Celebes sejak  tahun 1905 masuk  dalam wilayah Keresidenan Manado dibawah kekuasaan seorang Asisten Residen. Asisten  Residen  Afdeeling  Midden  Celebes  berkedudukan  di  Donggala. Adapun  wilayah yang dibawahi  antara lain:  (1) Wilayah  Teluk  Palu yang terdiri atas daerah Palu, Sigi, Biromaru, Dolo-Rindau, Dolo-Kaleke, Banawa atau  Donggala,  Tawaeli  dan  daerah  sekitarnya  serta  daerah  langsung  di Donggala  di  bawah  seorang  Civiel  Gezaghebber  dengan  berkedudukan  di Donggala. (2) Wilayah Tolitoli yang terdiri atas daerah ini dan daerah Tolitoli yang  diperintah  langsung serta tanah  jajahannya  yang termasuk daerah  ini dibawah  seorang  Civiel  Gezaghebber  dengan  berkedudukan  di  Kampung Baru.  Teluk Tomini  yang  terdiri atas  daerah Moutong, Sigenti,  Kasimbar, Toribulu, Ampibabo, Parigi, Sausu, Poso, Toko, dan Kepulauan Togean serta Una-Una  dan  Mapane  dibawah  seorang  Kontrolir  pemerintahan  dengan kedudukan  di  Poso,  yang  membawahi  juga  daerah  Parigi,  Ampibabo, Toribulu,  Kasimbar  dan  Sigenti dibawah pejabat  pribumi setempat dengan kedudukan  di  Parigi;  atas  daerah  Ntojo  diangkat  seorang  pribumi  dengan kedudukan  di  Tojo,  atas  kepulauan  Togean  serta  Una-Una  ditempatkan seorang pejabat pribumi  yang berkedudukan di  Una-Una  (Surat Keputusan Gubernur  Jenderal  Hindia  Belanda  nomor  18,  Buitenzorg,  19  Desember 1904).

Pada  Lembaran  Negara  Hindia  Belanda  Nomor  27  dan  keputusan pemerintah Nomor 21, tanggal 14 Januari 1907 dinyatakan bahwa kekuasaan pemerintah  Hindia  Belanda  di  Sulawesi  Tengah  baru  mencakup  enam wilayah, yaitu Banawa, Tawaeli, Palu, Biromaru, Sigi, dan Dolo. Tahun 1907 ini, Kulawi masih bebas dari kekuasaan Hindia Belanda. Berdasarkan Besluit pemerintahan  Hindia  Belanda  tanggal  30  Juni  1908  nomor  36  Afdeeling Midden Celebes (Sulawesi Tengah) terdiri atas: 1). Onderafdeeling Westkust van  Midden  Celebes  terdiri  atas  Banawa,  Tawaeli,  dan  Tolitoli.  2). Onderafdeeling  Paloe  terdiri  atas  Paloe, Beromaroe,  Sigi,  Dolo,  Koelawi, Tole, Benasoe, Tobokoe, Kantewoe, dan Banggaiba. 3). Onderafdeeling Poso terdiri atas Todjo, Lage en Rano, Pebato, Napoe, Besoa, Tawaelia, dan Oena-Oena en de Togean Eilanden. 4). Onderafdeeling Parigi terdiri  atas Parigi, Toriboeloe, dan Mooetong.

Perubahan pembagian wilayah dari tahun 1907 ke tahun 1908 antara lain:  Hindia  Belanda  membagi  Sulawesi  Tengah  menjadi  lima Onderafdeeling,  yakni:  Onderafdeeling  Donggala,  Onderafdeeling  Paloe, Onderafdeeling  Tolitoli,  Onderafdeeling  Parigi,  dan  Onderafdeeling  Poso (Nadjamuddin, 2002: 107). Pada masa  ini, Sulawesi Tengah  dijadikan satu Afdeeling.  Antara tahun  1903-1918  terbagi  ke  dalam lima  Onderafdeeling tersebut.  Setelah tahun 1924,  Sulawesi Tengah dibagi  menjadi dua bagian yakni:  Afdeling Donggala dan  Afdeeling  Poso. Afdeeling  Poso  terbagi lagi menjadi  tiga  Onderafdeeling,  antara  lain:  Onderafdeeling  Tojo, Onderafdeeling Pamona, Onderafdeeling Lore dan Una-Una, Onderafdeeling Kolonodale menaungi Mori dan Bungku; Onderafdeeling Banggai menaungi Banggai Kepulauan dan Banggai Daratan.  Onderafdeeling Donggala terdiri atas;  Onderafdeeling  Donggala,  Palu,  Parigi, dan  Tolitoli.  Onderafdeeling Palu meliputi; Landschaap Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi.

 

 Sumber : DISINI

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞