TUGU NOSARARA NOSABATUTU

Berlibur Bersama Ibunya Anak-anak

BERSAMA CUCU

Bersama Cucu, Alzaidan Syahid ... berlibur.

BERSAMA IBU DAN ANAK

Berlibur bersama Anak dan Ibunya Anak-anak.

BERDUA

Entah Apa Yang Direnungkan Waktu itu ...

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

IBU, ANAK dan KEMENAKAN

Fitri dan Mamanya, bersama Azizah .

BERSAMA CUCU, ANAK dan KEMENAKAN

Alzaidan Syahid bersama Fitri dan Azizah.

IBU dan ANAK serta KEMENAKAN

Fitri Fajarwati dan Mamanya bersama Azizah.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

Tampilkan postingan dengan label Masyarakat Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masyarakat Adat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Juni 2025

Sejarah Hari Masyarakat Adat Indonesia

 

Hari Masyarakat Adat Indonesia, yang diperingati setiap 13 Maret, bukan sekadar tanggal dalam kalender, tapi untuk merenungkan dan menghargai warisan budaya yang kaya dari komunitas-komunitas yang telah ada sejak lama.

Dalam dunia yang semakin modern dan terhubung, hak-hak masyarakat adat sering kali terabaikan di tengah arus pembangunan yang cepat. Namun, di balik setiap cerita dan tradisi yang dipertahankan, terdapat perjuangan yang tak terduga untuk melestarikan identitas dan hak atas tanah yang menjadi rumah mereka.

Di saat kita merayakan kemajuan dan inovasi, penting untuk tidak melupakan mereka yang telah menjaga hubungan harmonis dengan alam dan tradisi mereka selama berabad-abad. Peringatan ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk bersuara dan menyuarakan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat, yang berkontribusi pada keberagaman budaya dan ekologi di Indonesia.

Mari kita gali lebih dalam makna Hari Masyarakat Adat, dan bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi semua.

 

Apa Itu Masyarakat Adat?

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah Hari Masyarakat Adat, penting untuk memahami konsep masyarakat adat itu sendiri. Masyarakat adat merupakan kelompok sosial yang memiliki ikatan kuat dengan leluhur serta tanah atau sumber daya alam tempat mereka tinggal. Mereka memiliki tradisi, budaya, dan sistem nilai yang unik, yang diwariskan secara turun-temurun.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat atau indigenous peoples adalah mereka yang menempati wilayah adat secara turun-temurun dan memiliki sejarah asal-usul yang jelas. Selain memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya mereka diatur oleh hukum dan lembaga adat. Hukum adat ini berfungsi untuk menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan komunitas tersebut.

 

Populasi Masyarakat Adat di Dunia dan di Indonesia

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 476 juta masyarakat adat di seluruh dunia yang tinggal di 90 negara. Meskipun jumlah mereka kurang dari 5 persen dari populasi global, mereka termasuk dalam 15 persen populasi termiskin.

Di Indonesia, populasi masyarakat adat juga terbilang cukup besar. Menurut data AMAN, terdapat sekitar 2.449 komunitas masyarakat adat yang tergabung, dengan jumlah total mencapai antara 40 juta hingga 70 juta jiwa.

Namun, meskipun keberadaan masyarakat adat diakui dalam konstitusi Republik Indonesia serta berbagai peraturan perundang-undangan, banyak dari mereka masih menghadapi pengabaian hak, pengucilan, dan bahkan kekerasan. Situasi ini menuntut perhatian dan kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat serta pemerintah.

 

Peringatan Hari Masyarakat Adat

Untuk meningkatkan kesadaran akan kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat, peringatan Hari Masyarakat Adat diadakan. Di tingkat internasional, Hari Masyarakat Adat diperingati pada 9 Agustus. Namun, di Indonesia, peringatan ini jatuh pada 13 Maret. Hari ini menjadi momen refleksi dan aksi, di mana berbagai kegiatan dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Hari Masyarakat Adat bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat adat, serta menyebarkan pesan mengenai pentingnya pemajuan hak-hak mereka. Di Indonesia, hak-hak masyarakat adat tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi landasan bagi perlindungan hak-hak tersebut.

 

Beberapa pasal yang relevan antara lain:

Pasal 18B Ayat (2):

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara.”

 

Pasal 28I Ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

 

Pasal 32 Ayat (1) dan (2):

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan menghormati bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”

 

Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Adat

Walaupun ada pengakuan dalam konstitusi, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat tetap signifikan. Banyak dari mereka masih terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sering kali, pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat, yang berdampak pada kehilangan tanah dan sumber daya mereka.

Oleh karena itu, peringatan Hari Masyarakat Adat bukan hanya sekadar kegiatan seremonial, tetapi juga merupakan panggilan untuk aksi nyata. Dengan meningkatkan kesadaran, diharapkan masyarakat luas dapat lebih memahami pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Hari Masyarakat Adat Indonesia,  adalah kesempatan untuk mengenang dan menghormati kontribusi serta keberadaan masyarakat adat dalam sejarah bangsa. Dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak mereka dan tantangan yang dihadapi, kita dapat bersama-sama berupaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Hari Masyarakat Adat Indonesia yang diperingati setiap 13 Maret adalah lebih dari sekadar sebuah perayaan, ia adalah momentum untuk mengingat dan merayakan keberagaman budaya serta hak-hak yang sering kali terabaikan.

Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan masyarakat adat, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya yang berharga, tetapi juga memperkuat fondasi keadilan sosial di negara kita.

Mari kita ambil bagian dalam perjalanan ini, berkomitmen untuk mendengarkan suara-suara yang mungkin selama ini terpinggirkan, dan bersama-sama membangun masyarakat yang menghargai setiap lapisan budayanya.

Perlindungan hak-hak masyarakat adat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai sesama warga negara. Dengan langkah kecil namun berarti, kita dapat menciptakan dunia yang lebih inklusif dan harmonis, di mana setiap identitas dihormati dan setiap hak dijunjung tinggi.

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Minggu, 22 Juni 2025

Nilai Dasar Politik dalam Pembentukan Hukum Nasional

 Nilai Dasar Politik dalam Pembentukan Hukum Nasional



Nilai dasar politik dalam pembentukan hukum nasional harus didasarkan pada pengakuan pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 29 UUD 1945.

 

1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

Pasal ini menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

2. Pasal 29 UUD 1945

Pasal ini menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

 

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

Pasal ini menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Nilai dasar politik yang terkandung dalam pasal ini meliputi:

1. Pengakuan dan Perlindungan Hak Adat:

Pengakuan Eksistensi dan Perlindungan Hak:

– Negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional mereka, yang berarti hukum nasional harus mempertimbangkan dan menghormati hukum adat yang masih berlaku.

– Hak-hak tradisional masyarakat adat harus dilindungi dalam kerangka hukum nasional, memastikan bahwa mereka tidak terpinggirkan oleh perkembangan hukum modern.

2. Integrasi dan Harmonisasi:

– Integrasi Hukum Adat: Hukum adat harus diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional dengan cara yang tidak merusak esensi dan nilai-nilai adat tersebut.

– Harmonisasi dengan Hukum Nasional: Proses harmonisasi ini harus memastikan bahwa hukum adat dapat berfungsi secara harmonis dengan hukum nasional, tanpa menimbulkan konflik hukum.

3. Keadilan Sosial:

– Keadilan bagi Masyarakat Adat: Pembentukan hukum nasional harus memperhatikan prinsip keadilan sosial, memastikan bahwa masyarakat adat mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dalam sistem hukum.

– Pemberdayaan Masyarakat Adat: Hukum nasional harus mendukung pemberdayaan masyarakat adat, memberikan mereka ruang untuk berpartisipasi dalam proses legislasi dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

 

Pasal 29 UUD 1945

Pasal ini menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Nilai dasar politik yang terkandung dalam pasal ini meliputi:

 

Kebebasan Beragama:

Pengakuan Kebebasan Beragama. Negara menjamin kebebasan setiap individu untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan keyakinannya.

Perlindungan Hak Beragama. Hukum nasional harus melindungi hak-hak beragama setiap warga negara, memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atau penindasan berdasarkan agama4.

Toleransi dan Kerukunan:

Toleransi Beragama. Pembentukan hukum nasional harus mendorong toleransi dan kerukunan antar umat beragama, menciptakan lingkungan yang harmonis dan damai.

Kerukunan Nasional. Hukum nasional harus mencerminkan nilai-nilai kerukunan dan persatuan, menghindari konflik yang dapat merusak keharmonisan sosial.

Kepastian Hukum:

Kepastian dan Kejelasan. Hukum nasional harus memberikan kepastian dan kejelasan mengenai hak-hak beragama, menghindari ambiguitas yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Pengakuan dalam Legislasi. Hak-hak beragama harus diakui secara eksplisit dalam undang-undang, memberikan dasar hukum yang kuat untuk perlindungan dan pengakuan hak-hak tersebut.


Sumber : ADAT. or.id

Rabu, 11 Juni 2025

Tantangan Yang Dihadapi Masyarakat Adat

 

Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Adat

Walaupun ada pengakuan dalam konstitusi, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat tetap signifikan. Banyak dari mereka masih terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sering kali, pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat, yang berdampak pada kehilangan tanah dan sumber daya mereka.

Oleh karena itu, peringatan Hari Masyarakat Adat bukan hanya sekadar kegiatan seremonial, tetapi juga merupakan panggilan untuk aksi nyata. Dengan meningkatkan kesadaran, diharapkan masyarakat luas dapat lebih memahami pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Hari Masyarakat Adat Indonesia,  adalah kesempatan untuk mengenang dan menghormati kontribusi serta keberadaan masyarakat adat dalam sejarah bangsa. Dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak mereka dan tantangan yang dihadapi, kita dapat bersama-sama berupaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Hari Masyarakat Adat Indonesia yang diperingati setiap 13 Maret adalah lebih dari sekadar sebuah perayaan, ia adalah momentum untuk mengingat dan merayakan keberagaman budaya serta hak-hak yang sering kali terabaikan.

Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan masyarakat adat, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya yang berharga, tetapi juga memperkuat fondasi keadilan sosial di negara kita.

Mari kita ambil bagian dalam perjalanan ini, berkomitmen untuk mendengarkan suara-suara yang mungkin selama ini terpinggirkan, dan bersama-sama membangun masyarakat yang menghargai setiap lapisan budayanya.

Perlindungan hak-hak masyarakat adat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai sesama warga negara. Dengan langkah kecil namun berarti, kita dapat menciptakan dunia yang lebih inklusif dan harmonis, di mana setiap identitas dihormati dan setiap hak dijunjung tinggi.



Sumber : DISINI

Kamis, 24 April 2025

MASYARAKAT ADAT

 


Masyarakat adat merupakan kelompok sosial yang secara turun-temurun mendiami wilayah tertentu berdasarkan garis keturunan leluhur.[1] Mereka memiliki hak kedaulatan atas tanah dan sumber daya alam di sekitarnya, serta menjalankan kehidupan sosial dan budaya yang diatur oleh hukum adat.[1] Keberlangsungan komunitas ini dikelola melalui lembaga adat yang berperan dalam menjaga tradisi dan tata kelola kehidupan bersama.[1]

Istilah ini memiliki kesamaan dengan konsep indigenous populations yang dipopulerkan Jose R. Martinez Cobo dalam studinya tentang diskriminasi dan perlindungan minoritas untuk PBB.[1] Konsep tersebut mendefinisikan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesinambungan historis dengan komunitas pra-invasi dan prakolonial di wilayah tempat mereka tinggal. Kelompok ini memiliki karakteristik budaya, sosial, dan politik yang berbeda dari masyarakat dominan di negara mereka, serta berupaya untuk mempertahankan identitas mereka yang unik meskipun menghadapi tekanan dari proses kolonisasi dan modernisasi​.[1][2]

Definisi masyarakat adat juga dipengaruhi oleh berbagai instrumen hukum internasional, seperti Deklarasi PBBtentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang diadopsi pada tahun 2007 dan Konvensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) (ILO) No. 169 tahun 1989. Kedua dokumen ini menegaskan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan praktik budaya mereka.[2]

Dalam berbagai literatur, istilah "masyarakat adat" sering digunakan secara bergantian dengan istilah seperti penduduk asli[3], pribumi[4], suku bangsa, atau kaum minoritas yang mengalami marginalisasi akibat perbedaan identitas dari kelompok dominan di suatu negara atau wilayah.

Negeri Ullath, kecamatan Saparua di kabupaten Maluku Tengah adalah salah satu negeri dengan tatanan masyarakat adat yang masih kental di Maluku

Identifikasi dan Pengakuan

Dalam sistem hukum internasional dan nasional, identifikasi masyarakat adat umumnya mengacu pada beberapa kriteria utama, yaitu:

Keterkaitan historis dengan wilayah tertentu sebelum masa kolonisasi atau invasi.

Keberlanjutan tradisi budaya, bahasa, dan sistem sosial yang berbeda dari kelompok mayoritas.

Pengakuan diri sebagai masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO No. 169, yang menyatakan bahwa identifikasi diri merupakan hak dasar bagi masyarakat adat dalam menentukan status mereka.

Menurut PBB, banyak kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat untuk mendapatkan perlindungan di bawah berbagai mekanisme hak asasi manusia internasional. Meski terdapat perdebatan semantik, normatif, dan politik mengenai istilah "masyarakat adat" dan "penduduk pribumi," secara praktis kedua istilah tersebut sering digunakan secara sinonim dalam berbagai dokumen hukum dan pernyataan internasional.[5]

 

Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok yang memiliki hubungan sejarah dengan komunitas pra-penjajahan, mengembangkan kebudayaan mereka secara mandiri, serta mempertahankan identitas etnik dan wilayah leluhur mereka sebagai bagian dari sistem sosial dan hukum yang diwariskan secara turun-temurun.[2][4]

 

 

Leuit (lumbung padi tradisional Sunda) di desa Sirnarasa, Cikakak, Sukabumi

Pengakuan Hukum dan Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Dasar Konstitusional

Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam sistem hukum Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.[1] Amandemen kedua UUD 1945 mengakomodasi eksistensi masyarakat adat melalui Pasal 18B ayat (2), yang menyatakan bahwa:

 

"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 28I ayat (3) yang menegaskan bahwa:

 

"Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban."

Dua pasal ini menjadi landasan utama bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai regulasi turunan di tingkat nasional dan daerah.[1]

 

Regulasi sektoral tentang hak masyarakat adat

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat juga diatur dalam berbagai undang-undang sektoral,[1] di antaranya:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

Meski berbagai regulasi telah memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat, implementasinya sering kali menghadapi kendala, terutama terkait mekanisme legalisasi masyarakat adat dan pengakuan hak atas tanah serta sumber daya alam mereka.[1] Secara sosial, praktik hidup masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada pola kehidupan tradisional acap kali menjadi dasar eksklusi masyarakat sekitar yang telah mengadopsi laku hidup modern.[1]

 

Perbedaan Masyarakat Adat dan Masyarakat Hukum Adat

Dalam sistem hukum Indonesia, istilah masyarakat adat dan masyarakat hukum adat sering digunakan secara bergantian, tetapi memiliki perbedaan konseptual dan implikasi hukum.

Implikasi hukum dan administratif

Perbedaan utama antara kedua konsep ini berkaitan dengan legalitas dan pengakuan administratif. Masyarakat hukum adat memiliki kedudukan yang lebih jelas dalam sistem hukum karena harus melalui verifikasi dan pengesahan oleh pemerintah, biasanya melalui peraturan daerah. Proses ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951).[6] Hal ini berbeda dengan masyarakat adat yang lebih luas cakupannya dan tidak selalu terikat dengan sistem hukum formal.

 

Dalam praktiknya, banyak komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat masih menghadapi tantangan dalam memperoleh status masyarakat hukum adat, terutama dalam pembuktian eksistensi hukum adat mereka yang masih berlaku serta pengakuan hak atas tanah dan sumber daya alam yang mereka kelola.[7]

 

Persebaran dan tantangan masyarakat adat di Indonesia

Berdasarkan data dari AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat sekitar 2.449 komunitas masyarakat adat di Indonesia, dengan perkiraan populasi antara 40 hingga 70 juta jiwa.[8] Keberagaman masyarakat adat mencerminkan kekayaan budaya dan sosial Indonesia, tetapi juga menghadirkan berbagai tantangan. Beberapa di antaranya mencakup risiko kepunahan bahasa daerah, pergeseran dan hilangnya hukum adat, perubahan identitas budaya, serta berkurangnya peran lembaga adat dalam kehidupan sosial dan politik. Selain itu, akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka kerap menjadi isu yang kompleks dalam konteks hukum dan kebijakan.[8]

 

Upaya untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap masyarakat adat telah dilakukan melalui Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), yang pertama kali diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2010. RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2014 dan telah beberapa kali diajukan kembali dalam daftar prioritas legislasi nasional.[8]

 

Kerentanan Sosial dan Kesehatan

 

Anak-anak dari Masyarakat Adat Yuendumu, Aborigin, Australia bermain di kubangan, tahun 2018

Masyarakat adat di seluruh dunia sering menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber pangan yang cukup dan bergizi.[1] Banyak dari mereka yang bergantung pada sistem pangan tradisional, tetapi perubahan iklim, deforestasi, dan perampasan tanah menyebabkan berkurangnya sumber daya alam yang menopang kehidupan mereka.[1] Selain itu, ketergantungan pada sistem pertanian industri monokultur yang tidak berkelanjutan telah mengurangi keanekaragaman hayati pangan mereka, mempersempit pilihan makanan sehat yang tersedia.[1][9]

 

Berdasarkan data International Fund for Agricultural Development (IFAD), masyarakat adat yang hanya mencakup sekitar 5% dari populasi global justru mewakili sekitar 15% dari total penduduk miskin di dunia.[1] Di Kanada, laporan pemerintah menunjukkan bahwa 24% rumah tangga masyarakat adat MΓ©tis dan Inuit mengalami penurunan ketersediaan serta kualitas pangan, sementara 33% di antaranya menghadapi kerawanan pangan.[1] Kondisi serupa juga dialami masyarakat Aborigin di Australia, yang menurut Biro Statistik Australia, mencakup sekitar 3% dari populasi negara tersebut dan mengalami tingkat gizi buruk yang tinggi akibat keterbatasan akses pangan.[1]

 

Lihat pula

Pribumi

Hukum adat

Politik adat

Sistem hukum Indonesia

Tanah ulayat


REFERENSI

  1. Lompat ke:a b c d e f g h i j k l m n o p Arif, Ahmad (2021). Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9786024814809.
  2. Lompat ke:a b c Montero, V.M (2021). "Indigenous Peoples: Conflict, Peace, and Resolution"Peace, Justice and Strong Institutions. Encyclopedia of the UN Sustainable Development Goals. Springer, Cham. doi:10.1007/978-3-319-95960-3_14ISBN 978-3-319-95960-3.
  3. ^ Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008). "Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring". Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-29. line feed character di |authors= pada posisi 13 (bantuan) Definisi pribumi adalah pri·bu·mi n penghuni asli; yg berasal dr tempat yg bersangkutan; mem·pri·bu·mi·kan v menjadikan milik pribumi
  4. Lompat ke:a b KONVENSI ILO No. 169 Tahun 1989 MENGENAI MASYARAKAT HUKUM ADAT (PDF). Jenewa: LO Publications. 2003. ISBN 978-92-2-820333-2.
  5. ^ Karoba, Sem (2004). Papua menggugat. WatchPAPUA. ISBN 978-979-3627-15-1.
  6. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat" (PDF). 2014. Diakses tanggal 8 Februari 2025.
  7. ^ Sitoningrum, Niken; Hariandja, Richaldo; Suprayitno, Teguh (7 Januari 2025). "Sulitnya Masyarakat Adat Dapatkan Pengakuan dan Perlindungan"Mongabay. Diakses tanggal 8 Februari 2025.
  8. Lompat ke:a b c "Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat demi Menjamin Hak-Hak Masyarakat Adat"LK2 FHUI. 2023.
  9. ^ FAO and Alliance of Bioversity International and CIAT (2021). Indigenous Peoples’ food systems: Insights on sustainability and resilience from the front line of climate change (PDF). Rome. doi:10.4060/cb5131enISBN 978-92-5-134561-0.

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞