Keadaan Geografis
Kulawi adalah
sebuah kecamatan yang
memiliki luas wilayah 1.053,56 km2 terletak ± 71 km di
sebelah Selatan kota Palu (Kabupaten Sigi dalam
Angka, 2020: 8).
Pada tahun 1930,
penduduk Landschap Kulawi sebanyak 11.114 jiwa yang terdiri dari
11.074 penduduk bumiputera, 1 Eropa dan
39 Cina (Volkstelling
1930, 1936: 134).
Kulawi sebagai daerah pedalaman (Hinterland) ini merupakan
hamparan tanah dataran tinggi subur Momi sekaligus pintu gerbang yang
menghubungkan antara Kulawi dengan daerah sekitarnya. Selain itu, Kulawi diapit
oleh pegunungan yang dipagari hutan
lebat serta memiliki
beberapa aliran sungai,
seperti; Sungai Koro, Sungai Miu, Sungai Mewe, Sungai Sore,
Sungai Tuwa, dan Sungai Adale dan Danau Lindu (Sadi dan Syawal, 2016: 17).
Secara geografis Kulawi
berada posisi 1°20‟18”-1°43‟22” LS dan
119°4‟04”-120°07‟53”BT. Kecamatan Kulawi adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten Sigi yang memiliki batas-batas wilayah antara lain: Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan
Gumbasa dan Kecamatan
Lindu; Sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Poso;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi Selatan
dan Kecamatan Pipikoro; dan Sebelah Barat berbatasan dengan Mamuju
Provinsi Sulawesi Barat (Sadi dan Syawal, 2016: 16).
Kulawi terletak dibagian
selatan wilayah Kabupaten
Sigi, dengan jarak ± 62 Km dari
ibu kota kabupaten. Untuk sampai di ibu kota kecamatan dan beberapa
desa dapat ditempuh
dengan kendaraan roda empat,
namun terdapat lima desa
yang hanya dapat
ditempuh dengan kendaraan
roda dua/motor ojek pada musim kemarau melalui jalan setapak sedangkan
pada musim hujan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kulawi terdiri dari
16 desa, antara lain: Winatu, Towulu, Siwongi, Banggaiba, Rantewulu, Lonca,
Boladangko, Sungku, Toro, Mataue,
Bolapapu, Namo, Tangkulowi,
Salua, Poleroa Makuhi, dan Marena (Sadi dan Syawal, 2016: 17).
Kecamatan Kulawi pada
umumnya merupakan daerah
pegunungan, dan berada pada
sepanjang aliran Sungai Lariang yang
terletak pada ketinggian kurang lebih 500-1000 meter di atas permukaan laut.
Kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60%-70% dan bahkan ada yang
mencapai di atas 80%. Persentase
ketinggian desa-desa di atas permukaan laut yakni
0-500 meter sebanyak 21,42% dan
501-1000 meter sebanyak 78,58% (Kecamatan Kulawi dalam Angka 2015).
Kulawi: Kerajaan Kecil di Sulawesi Tengah
Kulawi adalah sebuah
kerajaan yang berdaulat
dan peletak dasar terbentuknya sistem
komunal sebagai daerah
adat yang dibentuk
oleh Kodomo, penemu Kayu Kulawi (Kau Ngkulawi). Sejak itu, kepemimpinan
diatur oleh Totua Ngata dan
Totua Ada’ yang dipercaya
oleh masyarakat umum atau To Ndea. Totua
Ngata dan Totua Ada‟ memiliki petugas masing-masing, yaitu
Padaho, Galara, Tadulako1
yang mengatur wilayah
Topo Moma, Topo Umaria, Topo Tado, Topo Ompa atau Tobaku, dan Topo Uma2
Ree Owi
(Pamei, 2006: 2).
Semua wilayah tersebut
memiliki bangsawan masing-masing yang memiliki
keturunan hingga kini. Raja pertama adalah seorang perempuan bernama
Hangkalea yang menentang pemerintah kolonial Belanda kemudian dilanjutkan oleh
adiknya Towoalangi.
Pada abad XVIII, Kulawi
memiliki pemimpin perempuan bernama Hungkalea. Menurut Totua Ngata,
sejak beberapa abad lalu orang
Kulawi telah memiliki seorang
figur pemimpin perempuan
yang fungsinya sama dengan Totua Ngata. Seorang perempuan
yang memangku jabatan tersebut diberi
gelar Tina Ngata (Ibu Kampung). Keberadaan Tina Ngata bukan hanya dihormati
oleh warga Ngata tetapi juga Ngata yang ada di sekitarnya (Tongki Ngata). Sosok Tina Ngata yang
cukup populer hingga kini bahkan sangat disegani oleh Belanda adalah
Hungkalea. Konsep ini
ternyata mampu membendung langkah
kaki kaum penjajah. Persatuan dan kesatuan (hintuvu) antara rakyat, Totua Ngata
dan Tina Ngata serta para pemimpin saat itu yang sangat memperhatikan
kepentingan rakyat merupakan senjata paling ampuh dalam melakukan perlawanan.
Selain Hungkalea, masih ada beberapa Tina Ngata lainnya, seperti Lingkumene,
Tobanawa, dan Ngkamumu.
Pada masa
Hangkalea menjabat sebagai
Magau Kulawi, posisi Towoalangi menjadi
seorang Tadulako untuk memimpin
perang. Menurut Kamus Kaili Ledo
“tadulakon panglima perang, kepala tentara, pahlawan. Warrior, hero,
military leader” (Evans, 2003: 225). Tadulako secara historis juga hadir dalam
fenomena historiografi (penulisan sejarah Sulawesi Tengah) dari masa ke masa.
Tokoh sejarah sebagai Tadulako di kerajaan-kerajaan di wilayah masyarakat Kaili
Sulawesi Tengah antara lain Tadulako Umana Soli dari Napu, Mantaili dari Lando
Bulili, Lasoso dari Biromaru, Amir Kasa dari Tatanga, Songgo Langi Bone Tatura, Mangge Rante
dari Enu, Towoalangi dari Kulawi.
Secara tradisional,
Kulawi mempunyai konsep struktur
sosial yang terdiri dari lima
golongan, yaitu:
1. Golongan Madika atau Maradika.
Golongan ini terdiri atas para raja dan bangsawan atau
“elit” yang mempunya
hak istimewa. Keistimewaan Maradika mempunyai
peran dan wewenang,
yakni: (1) Mengatur hubungan Ngata dengan Ngata lain yang disebut
“Hintuvu Ngata”, (2)
Menentukan perang dengan
Ngata lain, dan
(3) Membuat keputusan terakhir. Apabila
ada masyarakat yang
membuat pelanggaran, dan pelanggaran tersebut
setelah melalui rapat
Totua Ngata menetapkan keputusan orang tersebut dijatuhi
hukuman mati, maka jalan keluar yang ditempuh Maradika untuk menyelamatkan orang
yang di jatuhi hukuman mati tersebut
ialah “Ratolo” (ditebus) dengan hewan jika persoalan yang dia lakukan masih bisa di tolerir.
Masa sekarang, fungsi Maradika di dalam Ngata dipegang oleh kepala
Ngata.
2. Golongan Totua Ngata terdiri
atas: penasehat agama, rohaniawan, dan ketua adat
(yang mempunyai kekuasaan
dibidang agama dan
adat). Selain itu, Totua Ngata membunya peran dan wewenang, antara lain:
(1) Mengatur dan mengawasi aturan adat
yang disepakati dalam
Polibua / musyawarah; (2) Menyelesaikan
perselisihan antar Boya; (3) Mengatur
pelaksanaan perkawinan adat,
serta menentukan besar
kecilnya mas kawin menurut “Lari
Wati” (keturunan) dari keluarga yang bersangkutan; (4) Memimpin sidang atau
Polibu menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat
Boya dan Ngata;
(5) Menentukan besar
kecilnya sanksi “Givu” atau
denda adat atas
pelanggaran; (6) Memimpin
dan mengarahkan Totua-totua Boya
dalam Ngata menyangkut
evaluasi kembali
aturan-aturan yang ada atau merubah dan membuat peraturan adat yang baru; (7) Menjadi
panutan; (8) Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat; dan (9) Memilih
pemuda sebagai Tondo Ngata untuk dipersiapkan menjadi prajurit perang dan
pengawasan wilayah adat.
3. Golongan Tina Ngata yang
memiliki peran dan wewenang, antara lain: (1)
Perancang pekerjaan dalam
pertanian, karena yang
banyak mengetahui dengan teliti
ilmu perbintangan di
langit untuk dijadikan pedoman dalam
bercocok tanam adalah
perempuan utamanya Tina Ngata.
Oleh karena itu,
Maradika dan Totua
Ngata mendengar penjelasan dari
Tina Ngata, kemudian
kesepakatan tersebut baru disampaikan kepada masyarakat mengenai
waktu pelaksanaan pekerjaan pertanian,
seperti menabur bibit,
menanam, termasuk membuka lahan yang dijadikan kebun; (2) Pendingin,
artinya sebagai juru damai jika ada konflik dalam Ngata, biasanya perempuan maju
sebagai juru damai; dan (3)
Keterlibatan perempuan dan
pemuda dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan dalam
forum adat. Kehadiran
seorang Ntina Ngata dalam
setiap musyawarah atau
pertemuan merupakan sebuah keharusan. Ketidak
hadirannya dapat mengakibatkan
keputusan yang sudah diambil
menjadi batal (tidak
sah). Bentuk pertemuan
yang demikian mewajibkan kehadiran
seluruh unsur Ngata
tanpa terkecuali yang disebut
Hintuvu Libu Ngata.
Fungsi seorang Tina
Ngata dalam kesehariannya selain
yang disebutkan di atas, juga dapat menyelesaikan segala bentuk
persoalan baik bersifat
internal, maupun eksternal,
dan dilaksanakan secara bersama-sama dengan para Totua Ngata. Jika
konflik yang timbul tidak
dapat diselesaikan secara internal
Ngata, kehadiran para Tina Ngata
dan Totua Ngata yang berasal dari Tongki Ngata sangat diperlukan.
4. Golongan Ntodea yang terdiri
atas kalangan masyarakat pekerja, petani, penduduk umum,
baik di kota
maupun di desa
atau dapat dikatakan golongan rakyat jelata.
5. Golongan Batua yang
terdiri atas tawanan perang, budak dan
mereka yang dianggap sebagai
penghianan. Penggolongan lapisan
sosial tradisional ini, khususnya
golongan kelima (batua) sudah lama dihapus oleh kesadaran
masyarakat setempat. Meskipun
demikian, secara tradisional masyarakat
Kulawi sekarang masih
mengakui status sosial golongan Madika
dan Tetua Ngata,
misalnya dalam hal
yang berhubungan dengan masalah-masalah tatakrama
(etik), adat istiadat yang
sudah melemah, namun
dalam proses pengembangan
sosial di Kulawi sekarang tidak
ada lagi foedalisme (Ma‟mun, t.t.: 24-27).
6. Golongan tersebut
memiliki peranan penting
dalam mengakomodir persoalan melalui
dewan adat. Salah
satu tempat yang
menjadi pusat urusan adat
istiadat, pemerintahan dan
budaya adalah bangunan Lobo. Lobo memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) untuk
musyawarah, perumusan, dan pengambilan
kebijakan menyangkut kepentingan
publik serta mengakomodasi segala
kegiatan yang berkaitan
dengan kepentingan umum, khususnya
bagi para pemegang
tampuk pemerintahan (Maradika), Totua Ngata
(sesepuh), pengurus adat anggota
dan tokoh masyarakat. 2) sebagai gedung pengadilan, apabila seseorang
melanggar hukum adat, maka dia akan diadili dan disiksa di dalam lobo. 3)
tempat upacara adat yang
biasanya ditandai dengan
prosesi penyembelihan hewan
seperti kerbau dan lain-lain.
Secara vertikal,
Lobo ditata menjadi
tiga bagian berdasarkan golongan, yakni
(1) pada bagian
bawah lobo adalah
tempat umum atau pendengar yang hadir, (2) bagian tengah
adalah tempat makan (Padence). (3) Di
atas bantalan, terdapat dapur
kecil (puavhua) sejajar dengan panggung
bulat kecil yang
berhubungan langsung dengan tembok disebut Palangka, khusus bagi para bangsawan dan
Totua Ngata (Yusran dan Suryasari, 2016: 189).
Kulawi: Wilayah
Vorstelanden Sulawesi Tengah
Awal abad
XX, Kulawi masih
memperlihatkan karakteristik yang menarik. Kekuasaan raja di Kulawi sama
halnya dengan raja-raja lainnya di Sulawesi Tengah yang berkuasa. Kekuasaan
dari penguasa di Kulawi masih bersifat tradisional seperti yang dikatakan oleh
Wertheim, (1956: 115) bahwa: “As a role
the position of the chief in the small communities, both territorial and
genealogical, was not ane of autoritaritarian command but rather on of
‘rimus inter pares”.
Posisi pemimpin dalam
komunitas kecil, baik
dalam komunitas atas dasar territorial atau genealogis, bukan merupakan
pimpinan yang otoritarian, tetapi
lebih merupakan primus inter
pares (yang terbaik diantara yang baik). Inilah ukuran
demokrasi yang ada dalam struktur inheren masyarakat tradisional Indonesia
termasuk di Kulawi3.
Keadaan itu
membuktikan bahwa pengaruh
kekuasaan lama atau tradisional di Kulawi masih sangat
kental dan tidak bisa disepelekan dalam perkembangan sejarahnya. Jadi,
Kekuasaan Towoalangi yang diperoleh dari penguasa
sebelumnya merupakan bentuk
“primus inter pares”
dari masyarakat Kulawi. Otoritas
tradisional yang diperoleh Towoalangi secara adat dalam peradaban dan
kebudayaan harus dipertahankan
sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku secara
turun-temurun. Namun, dalam perkembangannya Kulawi dibawah
bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Sigi yang memiliki seorang tokoh andalan dari Kulawi bernama Pole (Abdullah [ed], 2005: 23).
Kekuasaan Sigi di Sulawesi Tengah pada dasarnya dianggap oleh Belanda sebagai
pusat penguasa territorial di Sulawesi Tengah, sehingga Kulawi selalu
memberikan upeti kepada Raja Sigi.
Pengaruh Hindia Belanda di Sulawesi Tengah pada awal abad
XX dapat dilihat dari sistem politik dan kekuasaan terutama pemerintahan
legal rasional dari Eropa.
Sistem pemerintahan dapat
dilihat dari pembagian wilayah kekuasaan. Pemerintah
Hindia Belanda membagi daerah menjadi dua bagian utama
yakni daerah yang
dikontrol langsung
(Rechtsreeksbestuursgebied atau Governementslanden) dan daerah yang tidak
langsung dikontrol (Zelfbestuurslandschappen atau
Vorstelanden). Daerah yang dikontrol langsung dibagi
lagi menjadi afdeelingen dan sub bagiannya onderafdeelingen. Afdeelingen
dipimpin langsung oleh
seorang kontroleur Belanda tetapi
yang memerintah adalah
seorang Bupati. Bupati
adalah seorang penguasa baru yang dibuat oleh Belanda untuk menggantikan
posisi Mokole, Magau, Karaja,
Datu, Kabosenya, sebagai
penguasa tertinggi tradisional di
wilayah Poso. Bupati
inilah yang menguasai
keseluruhan Regentchaapen (Kabupaten), (Ahimsa, 1991: 37).
Pada surat
Residen Manado tanggal
17 Juli 1909
Nomor 3546 Afdeeling Sulawesi
Tengah dibagi menjadi
enam wilayah, yaitu onderafdeeling pantai
barat, Palu, Parigi,
Poso, Banggai, dan
Tobungku. Kulawi masuk dalam Onderafdeeling Palu dibawah seorang
controleur yang berkedudukan di Palu
(untuk sementara pada
tahun 1909 diduduki
oleh seorang Civiel en militair gezaghebber) dan
untuk membimbing penguasa pribumi
di wilayah ini ditempatkan seorang asisten pribumi sebagai pembantu
controleur. Dalam catatan
tersebut dinyatakan “di
daerah pegunungan ini ditempatkan seorang civiel gezagheber,
mungkin dengan Lemo
di Kulawi sebagai tempat
kedudukannya.” Secara normatif,
posisi Kulawi dianggap sebagai wilayah yang dikuasai secara
langsung. Tetapi secara de facto Kulawi adalah vorstenlanden.
Perang Kulawi: Sebuah
Gerakan Sosial
Perang ini disebut perang “Bulu
Momi” (Bulu = Gunung, dan Momi = Potong).
Perang Kulawi melawan
Belanda dibawah pimpinan
Opsir van Offen berlangsung tahun
1904-1905. Dalam perang tersebut, pasukan Kulawi kurang lebih
1.500 orang dipimpin
oleh Towoalangi. Mengenai
jumlah pasukan yang terlibat dalam perang tersebut terdapat beberapa
versi, misalnya menurut Jore Pamei,
jumlah tentara Kulawi waktu itu
sebanyak 500 orang, sedangkan menurut buku Djawatan Penerangan Kabupaten
Donggala perang tersebut melibatkan sebanyak 1.500 orang pasukan Kulawi (Sadi
dan Syawal, 2017: 308).
Sebenarnya Belanda
telah melakukan penyerangan,
namun tidak berhasil
memasuki wilayah Kulawi karena wilayah Kulawi sulit dijangkau tentara Belanda
pada waktu itu. Selain belum
ada jalan resmi ke Kulawi, wilayah ini juga memiliki medan yang berliku-liku dan
jurang-jurang yang dalam (Masyhuda,
1982/1983: 89-91). Di tempat-tempat yang strategis inilah, masyarakat melakukan
penghadangan terhadap tentara
yang diutus oleh pemerintah Hindia Belanda dari Palu.
Benteng pertahanan masyarakat Kulawi dipilih di Gunung Momi yang dilengkapi
dengan senjata api berjumlah 500 pucuk
ditambah dengan senjata
tradisional lainnya seperti
tombak, guma (parang), keris,
sumpit, dan onggokan batu-batu besar untuk digelindingkan (Sadi dan Syawal,
2016: 169).
Sejak tahun 1904, tentara Belanda
melakukan penyerangan ke Kulawi dengan
basis pertahanan di
Tuwa dan Gunung
Momi di pihak
Kulawi. Perebutan Kulawi
oleh tentara Kolonial Belanda dilakukan selama kurang lebih tiga bulan. Pimpinan tentara Belanda
menjadikan Ince Muhammad dari Palu sebagai penunjuk jalan menuju Tuwa kemudian
Madika Tuwa bernama Jaraba
dijadikan sebagai penunjuk
jalan untuk memasuki
Kulawi. Jaraba sebagai
Madika Kulawi tidak mau menjadi
penunjuk jalan, namun disiksa dengan cara dipanggang, sehingga dia
menyetujui keinginan Belanda untuk menjadi penunjuk jalan (Sadi dan Syawal,
2016: 170). Jalan yang dilalui oleh Belanda melewati Sungai
Miu menuju ke hulu hingga melewati Kampung Betaha di Kulawi. Pasukan
Kulawi yang bertahan di Pedoa sebanyak kurang lebih 70 orang dapat dipatahkan
oleh pasukan Belanda yang diperkuat oleh
bantuan dari Palu dan Manado. Pasukan
Belanda yang lainnya melakukan penyerangan ke pasukan
Kulawi yang berada di
Gunung Momi, sehingga
pasukan Belanda yang
menuju Kulawi melalui
sungai Miu tidak
dapat dihalau (Masyhuda, 1982/1983: 89-91).
Pada tahun 1904 Towoalangi
melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda
di Kulawi yang
dipimpin oleh Towoalangi adalah
sikap mempertahankan harga diri bangsa Kulawi dengan membuat pertahanan
di Gunung Momi.
Penyerangan Belanda dari
pusat kekuasaan di Palu selalu dilakukan ke Kulawi, namun sering gagal
karena medan yang sulit ditempuh dan
tidak adanya kerjasama yang diperlihatkan oleh penduduk lokal waktu itu.
Dua orang utusan Belanda dari Palu, yakni Lamarauna (Raja Banawa) dari Donggala
dan Yojokodi (Raja Palu) gagal membujuk Towoalangi
untuk tunduk kepada
Belanda. Ajakan kedua pembesar Sulawesi Tengah yang lebih
awal tunduk kepada Belanda ditolak oleh Towoalangi. Hal itu menunjukkan bahwa
secara teritorial tidak ada lagi kekuasaan kerajaan yang terpusat
seperti kerajaan Sigi masa itu
(Sadi dan Syawal, 2016: 166-167).
Pada tahun
1905, pasukan Belanda
berhasil memasuki ibukota Kerajaan Kulawi melalui Sungai Miu. Tentara
Belanda juga menggunakan
simbol-simbol tradisional untuk menghentikan pertentangan atau peperangan
dengan menaikkan bendera putih sebagai simbol diakhirinya pertentangan. Bendera
putih oleh orang Kulawi disubut „tobula‟ yang terbuat dari kulit kayu dan
dijadikan kain. Kurir dan tentara Belanda setelah berada di Kulawi yang ditemui
hanya ada dua orang yakni Raja Towoalangi dan Mekuasa di istana kerajaan. Kurir
Belanda yang menemui raja Towoalangi bernama Yojobula dan Yojovuri
dari Palu. Ancaman
Belanda disampaikan oleh
kedua kurir tersebut kepada Towoalangi „kalau tidak menyerah kepada mereka, Belanda membunuh semua keluarga raja
dan membakar ibukota Kulawi‟ (Masyhuda,
1982/1983: 89-91). Akhirnya
Towoalangi menyerahkan diri
kepada pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi keluarga dan rakyat
Kulawi.
Akibat tunduknya
Towoalangi kepada Belanda,
dibuatlah naskah perjanjian
pendek untuk mengatur hubungan kerjasama antara
kedua belah pihak. Penandatanganan perjanjian dan kontrak tersebut
merupakan langkah strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk mengikat
kerajaan-kerajaan yang berhasil
ditundukkan, salah satunya
Towoalangi (Raja Kulawi)
yang menandatangani Korte Verklaring pada tanggal 30 November 1908.
Kontrak ini diperbarui oleh Raja Tomampe alias Tomai Masi 6 Desember 1917, dan
terakhir Djiloi 8 April 1921 (Kutoyo, 2005: 105-106).
Konsekuensi akhir dari penandatanganan perjanjian pendek tersebut, sistem kekuasaan Hindia
Belanda mau tidak mau harus menggantikan sistem kekuasaan lama
yang telah berkuasa
sejak dahulu. Pembagian
wilayah kekuasaan kemudian diperbaharui pada tahun 1918 yang berkuasa di
seluruh wilayah Sulawesi Tengah
dan kemudian mendapat
pembaharuan kembali pada tahun 1924
dengan membagi wilayah
Sulawesi Tengah menjadi dua afdeeling, yakni afdeeling Poso dan
afdeeling Donggala (Sadi dan Syawal,
2016: 182).
Wilayah Afdeeling
Midden Celebes sejak tahun 1905
masuk dalam wilayah Keresidenan Manado
dibawah kekuasaan seorang Asisten Residen. Asisten Residen
Afdeeling Midden Celebes
berkedudukan di Donggala. Adapun wilayah yang dibawahi antara lain:
(1) Wilayah Teluk Palu yang terdiri atas daerah Palu, Sigi,
Biromaru, Dolo-Rindau, Dolo-Kaleke, Banawa atau
Donggala, Tawaeli dan
daerah sekitarnya serta
daerah langsung di Donggala
di bawah seorang
Civiel Gezaghebber dengan
berkedudukan di Donggala. (2)
Wilayah Tolitoli yang terdiri atas daerah ini dan daerah Tolitoli yang diperintah
langsung serta tanah
jajahannya yang termasuk
daerah ini dibawah seorang
Civiel Gezaghebber dengan
berkedudukan di Kampung Baru.
Teluk Tomini yang terdiri atas
daerah Moutong, Sigenti,
Kasimbar, Toribulu, Ampibabo, Parigi, Sausu, Poso, Toko, dan Kepulauan
Togean serta Una-Una dan Mapane
dibawah seorang Kontrolir
pemerintahan dengan
kedudukan di Poso,
yang membawahi juga
daerah Parigi, Ampibabo, Toribulu, Kasimbar
dan Sigenti dibawah pejabat pribumi setempat dengan kedudukan di
Parigi; atas daerah
Ntojo diangkat seorang
pribumi dengan kedudukan di
Tojo, atas kepulauan
Togean serta Una-Una
ditempatkan seorang pejabat pribumi
yang berkedudukan di Una-Una (Surat Keputusan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda nomor
18, Buitenzorg, 19
Desember 1904).
Pada Lembaran
Negara Hindia Belanda
Nomor 27 dan
keputusan pemerintah Nomor 21, tanggal 14 Januari 1907 dinyatakan bahwa
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda
di Sulawesi Tengah
baru mencakup enam wilayah, yaitu Banawa, Tawaeli, Palu,
Biromaru, Sigi, dan Dolo. Tahun 1907 ini, Kulawi masih bebas dari kekuasaan
Hindia Belanda. Berdasarkan Besluit pemerintahan Hindia
Belanda tanggal 30
Juni 1908 nomor
36 Afdeeling Midden Celebes
(Sulawesi Tengah) terdiri atas: 1). Onderafdeeling Westkust van Midden
Celebes terdiri atas
Banawa, Tawaeli, dan
Tolitoli. 2). Onderafdeeling Paloe
terdiri atas Paloe, Beromaroe, Sigi,
Dolo, Koelawi, Tole, Benasoe,
Tobokoe, Kantewoe, dan Banggaiba. 3). Onderafdeeling Poso terdiri atas Todjo,
Lage en Rano, Pebato, Napoe, Besoa, Tawaelia, dan Oena-Oena en de Togean
Eilanden. 4). Onderafdeeling Parigi terdiri
atas Parigi, Toriboeloe, dan Mooetong.
Perubahan pembagian wilayah dari
tahun 1907 ke tahun 1908 antara lain:
Hindia Belanda membagi
Sulawesi Tengah menjadi
lima Onderafdeeling, yakni: Onderafdeeling Donggala,
Onderafdeeling Paloe,
Onderafdeeling Tolitoli, Onderafdeeling Parigi,
dan Onderafdeeling Poso (Nadjamuddin, 2002: 107). Pada masa ini, Sulawesi Tengah dijadikan satu Afdeeling. Antara tahun
1903-1918 terbagi ke
dalam lima Onderafdeeling
tersebut. Setelah tahun 1924, Sulawesi Tengah dibagi menjadi dua bagian yakni: Afdeling Donggala dan Afdeeling
Poso. Afdeeling Poso terbagi lagi menjadi tiga
Onderafdeeling, antara lain:
Onderafdeeling Tojo,
Onderafdeeling Pamona, Onderafdeeling Lore dan Una-Una, Onderafdeeling
Kolonodale menaungi Mori dan Bungku; Onderafdeeling Banggai menaungi Banggai
Kepulauan dan Banggai Daratan.
Onderafdeeling Donggala terdiri atas;
Onderafdeeling Donggala, Palu,
Parigi, dan Tolitoli. Onderafdeeling Palu meliputi; Landschaap
Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar