Selasa, 10 Juni 2025

Perang KULAWI

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

 


Keadaan Geografis

Kulawi  adalah  sebuah  kecamatan  yang  memiliki  luas  wilayah 1.053,56 km2 terletak ± 71 km di sebelah Selatan kota Palu (Kabupaten Sigi dalam  Angka,  2020:  8).  Pada  tahun  1930,  penduduk  Landschap  Kulawi sebanyak 11.114 jiwa yang terdiri dari 11.074 penduduk bumiputera, 1 Eropa dan  39  Cina  (Volkstelling  1930,  1936:  134).  Kulawi  sebagai  daerah pedalaman (Hinterland) ini merupakan hamparan tanah dataran tinggi subur Momi sekaligus pintu gerbang yang menghubungkan antara Kulawi dengan daerah sekitarnya. Selain itu, Kulawi diapit oleh pegunungan yang dipagari hutan  lebat  serta  memiliki  beberapa  aliran  sungai,  seperti;  Sungai  Koro, Sungai Miu, Sungai Mewe, Sungai Sore, Sungai Tuwa, dan Sungai Adale dan Danau Lindu (Sadi dan Syawal, 2016: 17).

Secara  geografis  Kulawi  berada  posisi  1°20‟18”-1°43‟22”  LS  dan 119°4‟04”-120°07‟53”BT. Kecamatan Kulawi adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sigi yang memiliki batas-batas wilayah antara lain: Sebelah Utara berbatasan  dengan  Kecamatan  Gumbasa  dan  Kecamatan  Lindu;  Sebelah Timur  berbatasan  dengan  Kabupaten  Poso;  Sebelah  Selatan  berbatasan dengan  Kecamatan Kulawi  Selatan  dan Kecamatan  Pipikoro;  dan Sebelah Barat berbatasan dengan Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Sadi dan Syawal, 2016: 16).

Kulawi  terletak  dibagian  selatan  wilayah  Kabupaten  Sigi,  dengan jarak ± 62 Km dari ibu kota kabupaten. Untuk sampai di ibu kota kecamatan dan  beberapa  desa  dapat  ditempuh  dengan  kendaraan  roda empat,  namun terdapat  lima  desa  yang  hanya  dapat  ditempuh  dengan  kendaraan  roda dua/motor ojek pada musim kemarau melalui jalan setapak sedangkan pada musim hujan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kulawi terdiri dari 16 desa, antara lain: Winatu, Towulu, Siwongi, Banggaiba, Rantewulu, Lonca, Boladangko,  Sungku,  Toro, Mataue,  Bolapapu, Namo, Tangkulowi,  Salua, Poleroa Makuhi, dan Marena (Sadi dan Syawal, 2016: 17).

Kecamatan  Kulawi  pada  umumnya  merupakan  daerah  pegunungan,  dan berada pada sepanjang  aliran Sungai Lariang yang terletak pada ketinggian kurang lebih 500-1000 meter di atas permukaan laut. Kemiringan tanah cukup curam yaitu berkisar antara 60%-70% dan bahkan ada yang mencapai di atas 80%.  Persentase ketinggian desa-desa  di atas  permukaan laut  yakni  0-500 meter sebanyak 21,42%  dan 501-1000 meter sebanyak 78,58% (Kecamatan Kulawi dalam Angka 2015). 

Kulawi: Kerajaan Kecil di Sulawesi Tengah

Kulawi  adalah  sebuah  kerajaan  yang  berdaulat  dan  peletak  dasar terbentuknya  sistem  komunal  sebagai  daerah  adat  yang  dibentuk  oleh Kodomo, penemu Kayu Kulawi (Kau Ngkulawi). Sejak itu, kepemimpinan diatur  oleh Totua Ngata  dan  Totua Ada’ yang  dipercaya oleh  masyarakat umum atau To Ndea. Totua Ngata dan Totua Ada‟ memiliki petugas masing-masing,  yaitu  Padaho,  Galara,  Tadulako1  yang  mengatur  wilayah  Topo Moma, Topo Umaria, Topo Tado, Topo Ompa atau Tobaku, dan Topo Uma2 Ree  Owi  (Pamei,  2006:  2).  Semua  wilayah  tersebut  memiliki  bangsawan masing-masing  yang memiliki  keturunan hingga kini. Raja pertama adalah seorang perempuan bernama Hangkalea yang menentang pemerintah kolonial Belanda kemudian dilanjutkan oleh adiknya Towoalangi.

Pada  abad XVIII,  Kulawi  memiliki  pemimpin  perempuan bernama Hungkalea. Menurut  Totua Ngata,  sejak beberapa abad lalu  orang Kulawi telah  memiliki  seorang  figur  pemimpin  perempuan  yang  fungsinya  sama dengan Totua Ngata. Seorang perempuan yang memangku  jabatan tersebut diberi gelar Tina Ngata (Ibu Kampung). Keberadaan Tina Ngata bukan hanya dihormati oleh warga Ngata tetapi juga Ngata yang ada di sekitarnya (Tongki Ngata).  Sosok Tina Ngata  yang  cukup populer hingga  kini  bahkan sangat disegani  oleh  Belanda  adalah  Hungkalea.  Konsep  ini  ternyata  mampu membendung langkah kaki kaum penjajah. Persatuan dan kesatuan (hintuvu) antara rakyat, Totua Ngata dan Tina Ngata serta para pemimpin saat itu yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat merupakan senjata paling ampuh dalam melakukan perlawanan. Selain Hungkalea, masih ada beberapa Tina Ngata lainnya, seperti Lingkumene, Tobanawa, dan Ngkamumu.

Pada  masa  Hangkalea  menjabat  sebagai  Magau  Kulawi,  posisi Towoalangi  menjadi  seorang  Tadulako untuk  memimpin  perang.  Menurut Kamus  Kaili Ledo  “tadulakon  panglima perang,  kepala tentara, pahlawan. Warrior, hero, military leader” (Evans, 2003: 225). Tadulako secara historis juga hadir dalam fenomena historiografi (penulisan sejarah Sulawesi Tengah) dari masa ke masa. Tokoh sejarah sebagai Tadulako di kerajaan-kerajaan di wilayah masyarakat Kaili Sulawesi Tengah antara lain Tadulako Umana Soli dari Napu, Mantaili dari Lando Bulili, Lasoso dari Biromaru, Amir Kasa dari Tatanga, Songgo Langi Bone Tatura,  Mangge Rante  dari Enu,  Towoalangi dari Kulawi.

Secara  tradisional,  Kulawi mempunyai  konsep  struktur  sosial  yang terdiri dari lima golongan, yaitu:

1. Golongan Madika atau Maradika. Golongan ini terdiri atas para raja dan bangsawan  atau  “elit”  yang  mempunya  hak  istimewa.  Keistimewaan Maradika  mempunyai  peran  dan  wewenang,  yakni:  (1)  Mengatur hubungan Ngata dengan  Ngata lain yang  disebut  “Hintuvu Ngata”,  (2) Menentukan  perang  dengan  Ngata  lain,  dan  (3)  Membuat  keputusan terakhir.  Apabila  ada  masyarakat  yang  membuat  pelanggaran,  dan pelanggaran  tersebut  setelah  melalui  rapat  Totua  Ngata  menetapkan keputusan orang tersebut dijatuhi hukuman mati, maka jalan keluar yang ditempuh Maradika untuk menyelamatkan orang yang di jatuhi hukuman mati tersebut  ialah “Ratolo” (ditebus) dengan hewan jika persoalan yang dia  lakukan masih bisa  di tolerir.  Masa  sekarang, fungsi  Maradika di dalam Ngata dipegang oleh kepala Ngata.

2. Golongan Totua Ngata  terdiri  atas:  penasehat  agama, rohaniawan, dan ketua  adat  (yang  mempunyai  kekuasaan  dibidang  agama  dan  adat). Selain itu, Totua Ngata membunya peran dan wewenang, antara lain: (1) Mengatur dan mengawasi aturan adat  yang disepakati  dalam Polibua  / musyawarah; (2) Menyelesaikan perselisihan antar Boya; (3)  Mengatur pelaksanaan  perkawinan  adat,  serta  menentukan  besar  kecilnya  mas kawin menurut “Lari Wati” (keturunan) dari keluarga yang bersangkutan; (4) Memimpin sidang atau Polibu menyangkut penyelesaian perselisihan pada  tingkat  Boya  dan  Ngata;  (5)  Menentukan  besar  kecilnya  sanksi “Givu”  atau  denda  adat  atas  pelanggaran;  (6)  Memimpin  dan mengarahkan  Totua-totua  Boya  dalam  Ngata  menyangkut  evaluasi kembali  aturan-aturan  yang ada atau  merubah dan membuat  peraturan adat yang baru; (7) Menjadi panutan; (8) Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat; dan (9) Memilih pemuda sebagai Tondo Ngata untuk dipersiapkan menjadi prajurit perang dan pengawasan wilayah adat. 

3. Golongan Tina Ngata yang memiliki peran dan wewenang, antara lain: (1)  Perancang  pekerjaan  dalam  pertanian,  karena  yang  banyak mengetahui  dengan  teliti  ilmu  perbintangan  di  langit  untuk  dijadikan pedoman  dalam  bercocok  tanam  adalah  perempuan  utamanya  Tina Ngata.  Oleh  karena  itu,  Maradika  dan  Totua  Ngata  mendengar penjelasan  dari  Tina  Ngata,  kemudian  kesepakatan  tersebut  baru disampaikan kepada masyarakat mengenai waktu pelaksanaan pekerjaan pertanian,  seperti  menabur  bibit,  menanam, termasuk  membuka  lahan yang dijadikan kebun; (2) Pendingin, artinya sebagai juru damai jika ada konflik dalam Ngata, biasanya perempuan maju sebagai juru damai; dan (3)  Keterlibatan  perempuan  dan  pemuda  dalam  perencanaan  dan pengambilan  keputusan  dalam  forum  adat.  Kehadiran  seorang  Ntina Ngata  dalam  setiap  musyawarah  atau  pertemuan  merupakan  sebuah keharusan.  Ketidak  hadirannya  dapat  mengakibatkan  keputusan  yang sudah  diambil  menjadi  batal  (tidak  sah).  Bentuk  pertemuan  yang demikian  mewajibkan  kehadiran  seluruh  unsur  Ngata  tanpa  terkecuali yang  disebut  Hintuvu  Libu  Ngata.  Fungsi  seorang  Tina  Ngata  dalam kesehariannya selain yang disebutkan di atas, juga dapat menyelesaikan segala  bentuk  persoalan  baik  bersifat  internal,  maupun  eksternal,  dan dilaksanakan secara bersama-sama dengan para Totua Ngata. Jika konflik yang  timbul  tidak  dapat  diselesaikan secara  internal  Ngata,  kehadiran para Tina Ngata dan Totua Ngata yang berasal dari Tongki Ngata sangat diperlukan. 

4. Golongan Ntodea yang terdiri atas kalangan masyarakat pekerja, petani, penduduk  umum,  baik  di  kota  maupun  di  desa  atau  dapat  dikatakan golongan rakyat jelata. 

5. Golongan  Batua yang  terdiri atas  tawanan perang,  budak dan  mereka yang  dianggap  sebagai  penghianan.  Penggolongan  lapisan  sosial tradisional ini, khususnya  golongan kelima (batua) sudah lama dihapus oleh  kesadaran  masyarakat  setempat.  Meskipun  demikian,  secara tradisional  masyarakat  Kulawi  sekarang  masih  mengakui  status  sosial golongan  Madika  dan  Tetua  Ngata,  misalnya  dalam  hal  yang berhubungan  dengan  masalah-masalah  tatakrama  (etik),  adat  istiadat yang  sudah  melemah,  namun  dalam  proses  pengembangan  sosial  di Kulawi sekarang tidak ada lagi foedalisme (Ma‟mun, t.t.: 24-27). 

6. Golongan  tersebut  memiliki  peranan  penting  dalam  mengakomodir persoalan  melalui  dewan  adat.  Salah  satu  tempat  yang  menjadi  pusat urusan adat istiadat,  pemerintahan  dan  budaya adalah bangunan Lobo. Lobo memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) untuk musyawarah, perumusan, dan pengambilan  kebijakan  menyangkut  kepentingan  publik  serta mengakomodasi  segala  kegiatan  yang  berkaitan  dengan  kepentingan umum,  khususnya  bagi  para  pemegang  tampuk  pemerintahan (Maradika),  Totua Ngata  (sesepuh),  pengurus adat  anggota  dan tokoh masyarakat. 2) sebagai gedung pengadilan, apabila seseorang melanggar hukum adat, maka dia akan diadili dan disiksa di dalam lobo. 3) tempat upacara adat  yang  biasanya  ditandai  dengan  prosesi  penyembelihan hewan seperti kerbau dan lain-lain.

Secara  vertikal,  Lobo  ditata  menjadi  tiga  bagian  berdasarkan golongan,  yakni  (1)  pada  bagian  bawah  lobo  adalah  tempat  umum  atau pendengar yang hadir, (2) bagian tengah adalah tempat makan (Padence). (3) Di  atas  bantalan, terdapat dapur kecil  (puavhua) sejajar dengan panggung bulat  kecil  yang  berhubungan langsung  dengan  tembok disebut  Palangka, khusus bagi para bangsawan dan Totua Ngata (Yusran dan Suryasari, 2016: 189).  

 

Kulawi: Wilayah Vorstelanden Sulawesi Tengah

Awal  abad  XX,  Kulawi  masih  memperlihatkan  karakteristik  yang menarik. Kekuasaan raja di Kulawi sama halnya dengan raja-raja lainnya di Sulawesi Tengah yang berkuasa. Kekuasaan dari penguasa di Kulawi masih bersifat tradisional seperti yang dikatakan oleh Wertheim, (1956: 115) bahwa:  “As a role the position of the chief in the small communities, both territorial and genealogical, was not ane of autoritaritarian command but rather on of ‘rimus  inter  pares”.  Posisi  pemimpin  dalam  komunitas  kecil,  baik  dalam komunitas atas dasar territorial atau genealogis, bukan merupakan pimpinan yang  otoritarian,  tetapi  lebih merupakan  primus  inter  pares  (yang  terbaik diantara yang baik). Inilah ukuran demokrasi yang ada dalam struktur inheren masyarakat tradisional Indonesia termasuk di Kulawi3.

Keadaan  itu  membuktikan  bahwa  pengaruh  kekuasaan  lama  atau tradisional di Kulawi masih sangat kental dan tidak bisa disepelekan dalam perkembangan sejarahnya. Jadi, Kekuasaan Towoalangi  yang diperoleh  dari penguasa  sebelumnya  merupakan  bentuk  “primus  inter  pares”  dari masyarakat  Kulawi. Otoritas tradisional  yang  diperoleh Towoalangi secara adat  dalam peradaban  dan  kebudayaan  harus  dipertahankan  sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan  yang  berlaku  secara  turun-temurun.  Namun,  dalam perkembangannya Kulawi dibawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Sigi yang memiliki seorang tokoh  andalan dari Kulawi  bernama Pole (Abdullah [ed], 2005: 23). Kekuasaan Sigi di Sulawesi Tengah pada dasarnya dianggap oleh Belanda sebagai pusat penguasa territorial di Sulawesi Tengah, sehingga Kulawi selalu memberikan upeti kepada Raja Sigi.

Pengaruh  Hindia Belanda di  Sulawesi Tengah pada  awal abad  XX dapat dilihat dari sistem politik dan kekuasaan terutama pemerintahan legal rasional  dari  Eropa.  Sistem  pemerintahan  dapat  dilihat  dari  pembagian wilayah kekuasaan. Pemerintah Hindia Belanda membagi daerah menjadi dua bagian  utama  yakni  daerah  yang  dikontrol  langsung (Rechtsreeksbestuursgebied atau Governementslanden) dan daerah yang tidak langsung  dikontrol  (Zelfbestuurslandschappen  atau  Vorstelanden).  Daerah              yang dikontrol langsung dibagi lagi menjadi afdeelingen dan sub bagiannya onderafdeelingen.  Afdeelingen  dipimpin  langsung  oleh  seorang  kontroleur Belanda  tetapi  yang  memerintah  adalah  seorang  Bupati.  Bupati  adalah seorang penguasa baru yang dibuat oleh Belanda untuk menggantikan posisi Mokole,  Magau,  Karaja,  Datu,  Kabosenya,  sebagai  penguasa  tertinggi tradisional  di  wilayah  Poso.  Bupati  inilah  yang  menguasai  keseluruhan Regentchaapen (Kabupaten), (Ahimsa, 1991: 37).

Pada  surat  Residen  Manado  tanggal  17  Juli  1909  Nomor  3546 Afdeeling  Sulawesi  Tengah  dibagi  menjadi  enam  wilayah,  yaitu onderafdeeling  pantai  barat,  Palu,  Parigi,  Poso,  Banggai,  dan  Tobungku. Kulawi masuk dalam Onderafdeeling Palu dibawah seorang controleur yang berkedudukan  di  Palu  (untuk  sementara  pada  tahun  1909  diduduki  oleh seorang  Civiel en  militair gezaghebber)  dan  untuk membimbing  penguasa pribumi di wilayah ini ditempatkan seorang asisten pribumi sebagai pembantu controleur.  Dalam  catatan  tersebut  dinyatakan  “di  daerah  pegunungan  ini ditempatkan  seorang civiel  gezagheber,  mungkin  dengan  Lemo  di  Kulawi sebagai  tempat  kedudukannya.”  Secara  normatif,  posisi  Kulawi  dianggap sebagai wilayah yang dikuasai secara langsung. Tetapi secara de facto Kulawi adalah vorstenlanden. 

Perang Kulawi: Sebuah Gerakan Sosial

Perang ini disebut perang “Bulu Momi” (Bulu = Gunung, dan Momi = Potong).  Perang  Kulawi  melawan  Belanda  dibawah  pimpinan  Opsir  van Offen berlangsung tahun 1904-1905. Dalam perang tersebut, pasukan Kulawi kurang  lebih  1.500  orang  dipimpin  oleh  Towoalangi.  Mengenai  jumlah pasukan yang terlibat dalam perang tersebut terdapat beberapa versi, misalnya menurut Jore Pamei,  jumlah tentara Kulawi  waktu itu sebanyak 500 orang, sedangkan menurut buku Djawatan Penerangan Kabupaten Donggala perang tersebut melibatkan sebanyak 1.500 orang pasukan Kulawi (Sadi dan Syawal, 2017: 308).

Sebenarnya  Belanda  telah  melakukan  penyerangan,  namun  tidak berhasil memasuki  wilayah  Kulawi karena wilayah Kulawi sulit  dijangkau tentara  Belanda  pada waktu  itu. Selain  belum  ada jalan  resmi ke  Kulawi, wilayah ini juga memiliki  medan yang berliku-liku dan jurang-jurang  yang dalam (Masyhuda, 1982/1983: 89-91). Di tempat-tempat yang strategis inilah, masyarakat  melakukan  penghadangan  terhadap  tentara  yang  diutus  oleh pemerintah Hindia Belanda dari Palu. Benteng pertahanan masyarakat Kulawi dipilih di Gunung Momi yang dilengkapi dengan senjata api berjumlah 500 pucuk  ditambah  dengan  senjata  tradisional  lainnya  seperti  tombak,  guma (parang), keris, sumpit, dan onggokan batu-batu besar untuk digelindingkan (Sadi dan Syawal, 2016: 169).

Sejak tahun 1904, tentara Belanda melakukan penyerangan ke Kulawi dengan  basis  pertahanan  di  Tuwa  dan  Gunung  Momi  di  pihak  Kulawi. Perebutan  Kulawi oleh  tentara  Kolonial Belanda  dilakukan selama  kurang lebih tiga bulan. Pimpinan tentara Belanda menjadikan Ince Muhammad dari Palu sebagai penunjuk jalan menuju Tuwa kemudian Madika Tuwa bernama Jaraba  dijadikan  sebagai  penunjuk  jalan  untuk  memasuki  Kulawi.  Jaraba sebagai Madika  Kulawi tidak mau  menjadi  penunjuk jalan, namun disiksa dengan cara dipanggang, sehingga dia menyetujui keinginan Belanda untuk menjadi penunjuk jalan (Sadi dan Syawal, 2016: 170). Jalan yang dilalui oleh Belanda melewati  Sungai  Miu menuju ke hulu hingga melewati Kampung Betaha di Kulawi. Pasukan Kulawi yang bertahan di Pedoa sebanyak kurang lebih 70 orang dapat dipatahkan oleh pasukan  Belanda yang diperkuat oleh bantuan  dari  Palu dan Manado.  Pasukan  Belanda yang lainnya melakukan penyerangan  ke pasukan  Kulawi  yang  berada di  Gunung Momi,  sehingga pasukan  Belanda  yang  menuju  Kulawi  melalui  sungai  Miu  tidak  dapat dihalau (Masyhuda, 1982/1983: 89-91).

Pada tahun 1904 Towoalangi melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda.  Perlawanan  terhadap  Belanda  di  Kulawi  yang  dipimpin  oleh Towoalangi adalah sikap mempertahankan harga diri bangsa Kulawi dengan membuat  pertahanan  di  Gunung  Momi.  Penyerangan  Belanda  dari  pusat kekuasaan di Palu selalu dilakukan ke Kulawi, namun sering gagal karena medan yang sulit ditempuh dan  tidak adanya  kerjasama yang  diperlihatkan oleh penduduk lokal waktu itu. Dua orang utusan Belanda dari Palu, yakni Lamarauna  (Raja Banawa) dari  Donggala  dan Yojokodi  (Raja  Palu) gagal membujuk  Towoalangi  untuk  tunduk  kepada  Belanda.  Ajakan  kedua pembesar Sulawesi Tengah yang lebih awal tunduk kepada Belanda ditolak oleh Towoalangi. Hal itu menunjukkan bahwa secara teritorial tidak ada lagi kekuasaan kerajaan  yang terpusat  seperti kerajaan Sigi masa itu  (Sadi  dan Syawal, 2016: 166-167).

Pada  tahun  1905,  pasukan  Belanda  berhasil  memasuki  ibukota Kerajaan Kulawi melalui Sungai Miu.  Tentara  Belanda juga  menggunakan simbol-simbol tradisional untuk menghentikan pertentangan atau peperangan dengan  menaikkan  bendera putih sebagai  simbol diakhirinya pertentangan. Bendera putih oleh orang Kulawi disubut „tobula‟ yang terbuat dari kulit kayu dan dijadikan kain. Kurir dan tentara Belanda setelah berada di Kulawi yang ditemui hanya ada dua orang yakni Raja Towoalangi dan Mekuasa di istana kerajaan. Kurir Belanda  yang menemui raja  Towoalangi bernama Yojobula dan  Yojovuri  dari  Palu.  Ancaman  Belanda  disampaikan  oleh  kedua  kurir tersebut kepada  Towoalangi „kalau  tidak menyerah kepada  mereka, Belanda membunuh semua keluarga raja dan  membakar ibukota Kulawi‟ (Masyhuda, 1982/1983:  89-91).  Akhirnya  Towoalangi  menyerahkan  diri  kepada pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi keluarga dan rakyat Kulawi. 

Akibat  tunduknya  Towoalangi  kepada  Belanda,  dibuatlah  naskah perjanjian pendek untuk mengatur hubungan kerjasama antara  kedua belah pihak. Penandatanganan perjanjian dan kontrak tersebut merupakan langkah strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk mengikat kerajaan-kerajaan yang berhasil  ditundukkan,  salah  satunya  Towoalangi  (Raja  Kulawi)  yang menandatangani Korte Verklaring pada tanggal 30 November 1908. Kontrak ini diperbarui oleh Raja Tomampe alias Tomai Masi 6 Desember 1917, dan terakhir Djiloi 8 April 1921 (Kutoyo, 2005: 105-106).

Konsekuensi akhir  dari penandatanganan perjanjian  pendek tersebut, sistem kekuasaan Hindia Belanda mau tidak mau harus menggantikan sistem kekuasaan  lama  yang  telah  berkuasa  sejak  dahulu.  Pembagian  wilayah kekuasaan kemudian diperbaharui pada tahun 1918 yang berkuasa di seluruh wilayah  Sulawesi  Tengah  dan  kemudian  mendapat  pembaharuan  kembali pada  tahun 1924  dengan membagi  wilayah Sulawesi  Tengah menjadi  dua afdeeling, yakni afdeeling Poso dan afdeeling Donggala (Sadi  dan Syawal, 2016: 182).

Wilayah  Afdeeling  Midden Celebes sejak  tahun 1905 masuk  dalam wilayah Keresidenan Manado dibawah kekuasaan seorang Asisten Residen. Asisten  Residen  Afdeeling  Midden  Celebes  berkedudukan  di  Donggala. Adapun  wilayah yang dibawahi  antara lain:  (1) Wilayah  Teluk  Palu yang terdiri atas daerah Palu, Sigi, Biromaru, Dolo-Rindau, Dolo-Kaleke, Banawa atau  Donggala,  Tawaeli  dan  daerah  sekitarnya  serta  daerah  langsung  di Donggala  di  bawah  seorang  Civiel  Gezaghebber  dengan  berkedudukan  di Donggala. (2) Wilayah Tolitoli yang terdiri atas daerah ini dan daerah Tolitoli yang  diperintah  langsung serta tanah  jajahannya  yang termasuk daerah  ini dibawah  seorang  Civiel  Gezaghebber  dengan  berkedudukan  di  Kampung Baru.  Teluk Tomini  yang  terdiri atas  daerah Moutong, Sigenti,  Kasimbar, Toribulu, Ampibabo, Parigi, Sausu, Poso, Toko, dan Kepulauan Togean serta Una-Una  dan  Mapane  dibawah  seorang  Kontrolir  pemerintahan  dengan kedudukan  di  Poso,  yang  membawahi  juga  daerah  Parigi,  Ampibabo, Toribulu,  Kasimbar  dan  Sigenti dibawah pejabat  pribumi setempat dengan kedudukan  di  Parigi;  atas  daerah  Ntojo  diangkat  seorang  pribumi  dengan kedudukan  di  Tojo,  atas  kepulauan  Togean  serta  Una-Una  ditempatkan seorang pejabat pribumi  yang berkedudukan di  Una-Una  (Surat Keputusan Gubernur  Jenderal  Hindia  Belanda  nomor  18,  Buitenzorg,  19  Desember 1904).

Pada  Lembaran  Negara  Hindia  Belanda  Nomor  27  dan  keputusan pemerintah Nomor 21, tanggal 14 Januari 1907 dinyatakan bahwa kekuasaan pemerintah  Hindia  Belanda  di  Sulawesi  Tengah  baru  mencakup  enam wilayah, yaitu Banawa, Tawaeli, Palu, Biromaru, Sigi, dan Dolo. Tahun 1907 ini, Kulawi masih bebas dari kekuasaan Hindia Belanda. Berdasarkan Besluit pemerintahan  Hindia  Belanda  tanggal  30  Juni  1908  nomor  36  Afdeeling Midden Celebes (Sulawesi Tengah) terdiri atas: 1). Onderafdeeling Westkust van  Midden  Celebes  terdiri  atas  Banawa,  Tawaeli,  dan  Tolitoli.  2). Onderafdeeling  Paloe  terdiri  atas  Paloe, Beromaroe,  Sigi,  Dolo,  Koelawi, Tole, Benasoe, Tobokoe, Kantewoe, dan Banggaiba. 3). Onderafdeeling Poso terdiri atas Todjo, Lage en Rano, Pebato, Napoe, Besoa, Tawaelia, dan Oena-Oena en de Togean Eilanden. 4). Onderafdeeling Parigi terdiri  atas Parigi, Toriboeloe, dan Mooetong.

Perubahan pembagian wilayah dari tahun 1907 ke tahun 1908 antara lain:  Hindia  Belanda  membagi  Sulawesi  Tengah  menjadi  lima Onderafdeeling,  yakni:  Onderafdeeling  Donggala,  Onderafdeeling  Paloe, Onderafdeeling  Tolitoli,  Onderafdeeling  Parigi,  dan  Onderafdeeling  Poso (Nadjamuddin, 2002: 107). Pada masa  ini, Sulawesi Tengah  dijadikan satu Afdeeling.  Antara tahun  1903-1918  terbagi  ke  dalam lima  Onderafdeeling tersebut.  Setelah tahun 1924,  Sulawesi Tengah dibagi  menjadi dua bagian yakni:  Afdeling Donggala dan  Afdeeling  Poso. Afdeeling  Poso  terbagi lagi menjadi  tiga  Onderafdeeling,  antara  lain:  Onderafdeeling  Tojo, Onderafdeeling Pamona, Onderafdeeling Lore dan Una-Una, Onderafdeeling Kolonodale menaungi Mori dan Bungku; Onderafdeeling Banggai menaungi Banggai Kepulauan dan Banggai Daratan.  Onderafdeeling Donggala terdiri atas;  Onderafdeeling  Donggala,  Palu,  Parigi, dan  Tolitoli.  Onderafdeeling Palu meliputi; Landschaap Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi.

 

 Sumber : DISINI


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-----------------------------------------------------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞