MANUSIA dilahirkan di bumi ini
dalam keadaan bodoh, dan tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan
kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan
dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian.
Allah SWT berfirman: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl: 78).
Pada hakikatnya, semua ilmu
makhluk adalah “ilmu laduni”, artinya ilmu yang berasal dari Allah SWT. Para
malaikat-Nya pun berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah: 32).
Ilmu laduni dalam pengertian umum
ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar
(wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
1. Wahbiy
Wahbiy atau ilmu yang didapat
tanpa belajar terbagi menjadi dua macam:
Pertama, ilmu syariat. Yaitu ilmu
tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan
Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun
yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima
oleh para nabi semenjak Nabi Adam ‘as hingga nabi Muhammad SAW adalah ilmu
laduni, termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidhir. Allah SWT
berfirman tentang Khidhir as, “Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari
sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.
Al-Kahfi: 65).
Di dalam hadits Imam Al Bukhari,
Nabi Khidlir as berkata kepada Nabi Musa as, “Sesungguhnya aku berada di atas
sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak
mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia
ajarkan kepadamu yang aku pun tidak mengetahuinya.”
Ilmu syariat ini sifatnya mutlak
kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (orang yang
telah baligh) sampai datang ajal kematiannya.
Kedua, ilmu ma’rifat (hakikat).
Yaitu ilmu tentang sesuatu yang gaib melalui jalan kasyf (wahyu
ilham/terbukanya tabir gaib) atau ru’yah (mimpi) yang diberikan oleh Allah
kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shaleh. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud
dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf.
Sifat ilmu ini tidak boleh
diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syariat yang sudah termaktub di
dalam mushaf Alquran maupun kitab-kitab hadits. Yang dimaksud dengan menyalahi
di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau pun mengurangi.
2. Kasbiy
Adapun bagian kedua yaitu ilmu
Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha)
seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berpikir dan lain
sebagainya.
Dari tiga ilmu ini (syariat,
ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu
yaitu ilmu syariat, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak
dianggap apabila menyalahi syariat. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di
dalam Islam.Buku Islam
Khurafat sufi
Istilah “ilmu laduni” secara
khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat sufiyyah.
Sekelompok Sufi mengatakan bahwa “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang
khusus diberikan oleh Allah kepada para wali Sufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih
ahli hadits (sunnah), tidak bisa mendapatkannya.
“Ilmu laduni” atau ilmu hakikat
lebih utama daripada ilmu wahyu (syariat). Mereka mendasarkan hal itu kepada
kisah Nabi Khidir as, dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa ‘as adalah ilmu
wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir as adalah ilmu kasyf (hakikat).
Sampai-sampai Abu Yâzid
Al-Busthâmi (261 H.) mengatakan, “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang
menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh,
akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di
waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
Ilmu syariat (Al-Qur’an dan
As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa
sampai kepada Allah SWT. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi
kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf,
didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya.
Seperti ‘Abdul Karîm Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insânul Kâmil fî Ma’rifatil
Awâkhir wal Awâil. Dan Ibnu ‘Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futûhâtul
Makkiyyah.
Untuk menafsirkan ayat atau untuk
mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun
cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka, “Hatiku
memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau, “Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya
sendiri, langsung tanpa perantara apa pun.” Sehingga akibatnya banyak hadits
palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau
sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak
pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).
Kasyf atau ilham tidak hanya
milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shaleh berpotensi untuk
dimuliakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar ra diilhami oleh Allah SWT bahwa
anak yang sedang dikandung oleh istrinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita.
Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi
kenyataan.
“Siapa saja bisa saja mendapatkan
ilmu laduni –tanpa memandang apa yang telah dan pernah diperbuatnya.”
Dari segi bahasa, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab “’ilm” yang memiliki arti “kejelasan”. Hal ini pula, kenapa semua kata dalam bahasa Arab yang terbentuk dari akar kata ‘ilm –ilmu, mempunyai ciri kejelasan seperti kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Artinya, ilmu merupakan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Lantas bagaimanakah relasi
Al-Qur’an dan ilmu yang menjadi topik tulisan ini?
Sebagai kitab yang diturunkan sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ihwal ilmu, setidaknya hal ini bisa terindikasi dari banyaknya kosa kata “ilmu” dengan berbagai bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an hingga mencapai 854 kali.
Dalam perspektif Al-Qur’an,
“ilmu” merupakan salah satu instrumen utama yang menjadikan manusia sebagai
makhluk istemewa–dibandingkan ciptaan-cintaan Allah lainnya, bahkan termasuk
terhadap para malaika–guna menjalankan tugas kekhalifaan di bumi sebagaimana
tergambar dari kisah kejadian manusia pertama dalam QS. Al-Baqarah (2): 31-32.
Tidak sedikit pula dijelaskan
dalam Al-Qur’an betapa tingginya kedudukan orang-orang yang memiliki dan
menguasai ilmu pengetahuan. Seluruh manusia, menurut Al-Qur’an, memiliki
potensi untuk menguasai ilmu dan mengembangkannya denga seizin Allah Swt.
Nah, secara umum, sebagaimana
tersirat dari wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw., ilmu yang
bisa diperoleh oleh manusia tersebut ada dua jenis: (1) ilmu kasbî, yakni ilmu
yang diperoleh manusia melalui usaha seperti belajar, meneliti, dsb. (2) ilmu
ladunni atau ilmu laduni, yaitu ilmu yang didapatkan langsung oleh manusia dari
Allah tanpa melewati usaha.
Meskipun berbeda, kedua jenis
ilmu tersebut pada banyak hal memiliki banyak titik temu. Pertama, dari segi
bahasa “ilmu laduni” berarti ilmu yang berasal dari Allah Swt. Kata laduni yang
disandarkan kepada salah satu jenis ilmu tersebut diambil misalnya dari firman
Allah dalam QS. Al-Kahf (18): 65,
“Lalu mereka (Musa dan muridnya)
bertemu dengan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan
kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami (min ladunna ilman).”
Bukankah secara substansial
seluruh ilmu baik kasbî maupun laduni semuanya berasal dari Allah Swt.?
Kedua, dalam banyak kasus, ilmu
laduni juga hanya bisa diperoleh melalui usaha-usaha tertentu sebagaimana ilmu
kasbî, sebagaimana akan kami jelaskan setelah ini.
Perlu juga digarisbawahi bahwa
pembagian kedua jenis ilmu ini pada dasarnya dikarenakan dalam pandangan
Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui
upaya manusia sendiri: ada wujud yang tidak tampak.
Hal inilah mengapa dalam kaca
mata ilmuwan muslim objek ilmu mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu,
sebagian sarjana muslim –terutama kalangan sufi melalui ayat-ayat Al-Qur’an
–memperkenalkan ilmu yang mereka sebut dengan “al-hadarat al-ilahiyah” (lima
kehadiran Ilahi) untuk manggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud
(Shihab, 1996: 437).
Kelima hal tersebut antara lain:
(1) alam nâsut/alam materi (2) alam malakut/alam kejiwaan (3) alam jabarût/alam
ruh (4) alam lahût/sifat-sifat ilahiyah, dan (5) alam hâhût/Wujud Zat Ilahi.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan
beberapa cara dan sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang segala
pengetahuan tersebut:
“Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai
petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan)” –QS. Al-Nahl (16): 78.
Ayat ini mengisyaratkan empat
penggunaan sarana guna memperoleh pengetahuan yakni, pendengaran, penglihatan
dan akal, hati.
Meskipun secara sepintas kita
bisa mengatakan bahwa wilayah hati adalah wilayah khusus untuk ilmu laduni,
namun bukan berarti seorang yang memeperoleh ilmu laduni tersebut mengabaikan
pendengaran, penglihatan, dan akal mereka sebagaimana ketika ia bisa memperoleh
ilmu kasbî.
Untuk hal ini, beberapa sarjana
muslim mencoba menjelaskan bagaimana cara memperoleh ilmu laduni tersebut
seperti yang pernah ditulis oleh Imam Al-Ghazali.
3 Cara Memperoleh Ilmu Laduni
Menurut Al-Ghazali
Dalam kitabnya yang berjudul
“al-Risalah Laduniyah” Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk
memperoleh ilmu laduni.
Pertama, anugerah dari Allah. Dalam kasus pertama ini memang spesial karena ia diperoleh murni sebagai hadiah dari Tuhan. Artinya, dalam konteks ini, siapa saja bisa mendapatkan ilmu laduni –tanpa memandang apa yang telah dan pernah diperbuatnya. Bisa jadi seorang pendosa, karena diberikan anugerah, dia lantas mendapatkan hidayah dari Allah, kemudian dia mendapatkan pengetahuan yang belum pernah dipelajarinya.
Namun begitu, karena ini adalah
kasus spesial, tentu kita juga tidak bisa menjadikan alasan kita untuk
berpangku tangan tanpa usaha sedikit pun. Karena bisa jadi anugerah itu datang
justru setelah kita melakukan serangkaian usaha dengan penuh kesungguhan.
Kedua, melalaui jalan riyadhah
atau latihan, yakni dengan melakukan mujahadah dan muraqabah –mendekatkan diri
kepada Allah.
Cara kedua ini menggunakan usaha.
Al-Ghazali dalam hal ini mengutip dua ungkapan yang disebutnya sebagai hadis
Nabi:
Pertama, hadis “Barangsiapa
menjalankan apa yang ia ketahui, Allah akan memberikan ilmu tentang apa yang
belum ia ketahui”. Jadi syaratnya adalah memanfatkan ilmu. Penekanannya adalah
untuk menjalankan ilmu sampai pada level manfaat. Seseorang yang memperoleh
ilmu laduni melalui cara ini adalah mereka yang memanfaatkan ilmu untuk hidup.
Oleh sebagian ulama, untuk
memperkuat kandungan dari hadis di atas, mereka mengutip akhir ayat ke-282 dari
surat Al-Baqarah berikut:
“…Bertakwalah kepada Allah,
niscaya Dia mengajarkan kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu…”
Atas dasar hal di atas pula bisa
dikatakan bahwa seseorang yang memiliki ilmu adalah mereka yang memiliki ciri
khusus dan menonjol, yakni sifat khasyat –takut dan kagum kepada Allah,
sebagaimana juga dijelaskan dalam QS Fathit (35): 28:
“Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama.”
Hal di atas juga berkaitan dengan
hadis kedua yang dipaparkan oleh Al-Ghazali: “Barangsiapa yang ikhlas kepada
Allah selama empat puluh subuh, maka Allah akan menunjukkan sumber-sumber
hikmah dari hatinya pada lisannya.”
Artinya, salah satu model latihan
yang bisa dilakukan adalah dengan mujahadah. Bagi Al-Ghazali, seseorang yang
bisa konsisten ikhlas beramal untuk Allah, maka Allah akan memberikan jalan
sehingga yang bersangkutan bisa memperoleh ilmu laduni.
Cara untuk memperoleh ilmu laduni
yang ketiga adalah dengan jalan tafakkur. Ini adalah jalan normal, yang bisa
dilakukan oleh siapa saja yang menginginkannya. Dalam banyak ayat juga
dijelaskan oleh Al-Qur’an tentang perintah untuk tafakkur ini, baik secara tersurat
maupun secara tersirat. Misalnya dalam QS. Yunus (10): 101, Allah berfirman:
“Apakah mereka tidak
memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan,
bagaimana gunung dtancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?”
Artinya, jika seseorang belajar
dengan serius dan kesungguhan, memang karena ada gairah untuk menuntut ilmu
yang luar biasa dan lillahita’ala, maka Allah akan membukakan, meminjam bahasa
Al-Ghazali, pintu-pintu ke-ghaib-an.
Dalam konteks ini, meminjam
bahasa Fahruddin Faiz, bisa jadi kita hanya membaca satu baris, tetapi karena
dilakukan dengan keseriusan dan kesungguhan, kita justru mendapatkan inspirasi
setingkat berhalaman-halaman atau bahkan berjilid-jilid buku.
Cara ketiga ini adalah hadiah
untuk mereka yang memiliki keseriusan dalam menuntut ilmu sehingga dia dibantu
oleh Allah Swt.
*Meskipun demikian, perlu
diketahui bahwa kata ‘ilm berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), â’rif (yang
mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).
Sumber : Dari Beberapa Sumber
0 comment:
Posting Komentar