Senin, 05 Mei 2025

Apa Itu Ilmu Laduni ?

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

 


MANUSIA dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, dan tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah dengan penuh kesadaran dan pengertian.

Allah SWT berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).

Pada hakikatnya, semua ilmu makhluk adalah “ilmu laduni”, artinya ilmu yang berasal dari Allah SWT. Para malaikat-Nya pun berkata, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah: 32).

Ilmu laduni dalam pengertian umum ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).

 

1.     Wahbiy

Wahbiy atau ilmu yang didapat tanpa belajar terbagi menjadi dua macam:

 

Pertama, ilmu syariat. Yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam ‘as hingga nabi Muhammad SAW adalah ilmu laduni, termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi Khidhir. Allah SWT berfirman tentang Khidhir as, “Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65).

 

Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir as berkata kepada Nabi Musa as, “Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu yang aku pun tidak mengetahuinya.”

 

Ilmu syariat ini sifatnya mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (orang yang telah baligh) sampai datang ajal kematiannya.

 

Kedua, ilmu ma’rifat (hakikat). Yaitu ilmu tentang sesuatu yang gaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir gaib) atau ru’yah (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shaleh. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf.

 

 

Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syariat yang sudah termaktub di dalam mushaf Alquran maupun kitab-kitab hadits. Yang dimaksud dengan menyalahi di sini bisa berbentuk menentang, menambah atau pun mengurangi.

 

2. Kasbiy

Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berpikir dan lain sebagainya.

Dari tiga ilmu ini (syariat, ma’rifat dan kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syariat, karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila menyalahi syariat. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam.Buku Islam

 

Khurafat sufi

 

Istilah “ilmu laduni” secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat sufiyyah. Sekelompok Sufi mengatakan bahwa “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan oleh Allah kepada para wali Sufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak bisa mendapatkannya.

 

“Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syariat). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidir as, dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa ‘as adalah ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir as adalah ilmu kasyf (hakikat).

Sampai-sampai Abu Yâzid Al-Busthâmi (261 H.) mengatakan, “Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”

 

Ilmu syariat (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah SWT. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti ‘Abdul Karîm Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insânul Kâmil fî Ma’rifatil Awâkhir wal Awâil. Dan Ibnu ‘Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futûhâtul Makkiyyah.

 

Untuk menafsirkan ayat atau untuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka, “Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” Atau, “Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apa pun.” Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli kasyf (tasawwuf).

Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf. Setiap orang mukmin yang shaleh berpotensi untuk dimuliakan oleh Allah dengan ilham. Abu Bakar ra diilhami oleh Allah SWT bahwa anak yang sedang dikandung oleh istrinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan.

 



“Siapa saja bisa saja mendapatkan ilmu laduni –tanpa memandang apa yang telah dan pernah diperbuatnya.”

Dari segi bahasa, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab “’ilm” yang memiliki arti “kejelasan”. Hal ini pula, kenapa semua kata dalam bahasa Arab yang terbentuk dari akar kata ‘ilm –ilmu, mempunyai ciri kejelasan seperti kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Artinya, ilmu merupakan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.

 

Lantas bagaimanakah relasi Al-Qur’an dan ilmu yang menjadi topik tulisan ini?

 

Sebagai kitab yang diturunkan sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ihwal ilmu, setidaknya hal ini bisa terindikasi dari banyaknya kosa kata “ilmu” dengan berbagai bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an hingga mencapai 854 kali.

 

Dalam perspektif Al-Qur’an, “ilmu” merupakan salah satu instrumen utama yang menjadikan manusia sebagai makhluk istemewa–dibandingkan ciptaan-cintaan Allah lainnya, bahkan termasuk terhadap para malaika–guna menjalankan tugas kekhalifaan di bumi sebagaimana tergambar dari kisah kejadian manusia pertama dalam QS. Al-Baqarah (2): 31-32.

 

Tidak sedikit pula dijelaskan dalam Al-Qur’an betapa tingginya kedudukan orang-orang yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan. Seluruh manusia, menurut Al-Qur’an, memiliki potensi untuk menguasai ilmu dan mengembangkannya denga seizin Allah Swt.

 

Nah, secara umum, sebagaimana tersirat dari wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw., ilmu yang bisa diperoleh oleh manusia tersebut ada dua jenis: (1) ilmu kasbî, yakni ilmu yang diperoleh manusia melalui usaha seperti belajar, meneliti, dsb. (2) ilmu ladunni atau ilmu laduni, yaitu ilmu yang didapatkan langsung oleh manusia dari Allah tanpa melewati usaha.

 

Meskipun berbeda, kedua jenis ilmu tersebut pada banyak hal memiliki banyak titik temu. Pertama, dari segi bahasa “ilmu laduni” berarti ilmu yang berasal dari Allah Swt. Kata laduni yang disandarkan kepada salah satu jenis ilmu tersebut diambil misalnya dari firman Allah dalam QS. Al-Kahf (18): 65,

 

“Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (min ladunna ilman).”

 

Bukankah secara substansial seluruh ilmu baik kasbî maupun laduni semuanya berasal dari Allah Swt.?

 

Kedua, dalam banyak kasus, ilmu laduni juga hanya bisa diperoleh melalui usaha-usaha tertentu sebagaimana ilmu kasbî, sebagaimana akan kami jelaskan setelah ini.

 

Perlu juga digarisbawahi bahwa pembagian kedua jenis ilmu ini pada dasarnya dikarenakan dalam pandangan Al-Qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri: ada wujud yang tidak tampak.

 

Hal inilah mengapa dalam kaca mata ilmuwan muslim objek ilmu mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu, sebagian sarjana muslim –terutama kalangan sufi melalui ayat-ayat Al-Qur’an –memperkenalkan ilmu yang mereka sebut dengan “al-hadarat al-ilahiyah” (lima kehadiran Ilahi) untuk manggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud (Shihab, 1996: 437).

 

Kelima hal tersebut antara lain: (1) alam nâsut/alam materi (2) alam malakut/alam kejiwaan (3) alam jabarût/alam ruh (4) alam lahût/sifat-sifat ilahiyah, dan (5) alam hâhût/Wujud Zat Ilahi.

 

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan beberapa cara dan sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang segala pengetahuan tersebut:

 

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan)” –QS. Al-Nahl (16): 78.

 

Ayat ini mengisyaratkan empat penggunaan sarana guna memperoleh pengetahuan yakni, pendengaran, penglihatan dan akal, hati.

 

Meskipun secara sepintas kita bisa mengatakan bahwa wilayah hati adalah wilayah khusus untuk ilmu laduni, namun bukan berarti seorang yang memeperoleh ilmu laduni tersebut mengabaikan pendengaran, penglihatan, dan akal mereka sebagaimana ketika ia bisa memperoleh ilmu kasbî.

 

Untuk hal ini, beberapa sarjana muslim mencoba menjelaskan bagaimana cara memperoleh ilmu laduni tersebut seperti yang pernah ditulis oleh Imam Al-Ghazali.

 

3 Cara Memperoleh Ilmu Laduni Menurut Al-Ghazali

 

Dalam kitabnya yang berjudul “al-Risalah Laduniyah” Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk memperoleh ilmu laduni.

 

Pertama, anugerah dari Allah. Dalam kasus pertama ini memang spesial karena ia diperoleh murni sebagai hadiah dari Tuhan. Artinya, dalam konteks ini, siapa saja bisa mendapatkan ilmu laduni –tanpa memandang apa yang telah dan pernah diperbuatnya. Bisa jadi seorang pendosa, karena diberikan anugerah, dia lantas mendapatkan hidayah dari Allah, kemudian dia mendapatkan pengetahuan yang belum pernah dipelajarinya.

 

Namun begitu, karena ini adalah kasus spesial, tentu kita juga tidak bisa menjadikan alasan kita untuk berpangku tangan tanpa usaha sedikit pun. Karena bisa jadi anugerah itu datang justru setelah kita melakukan serangkaian usaha dengan penuh kesungguhan.

 

Kedua, melalaui jalan riyadhah atau latihan, yakni dengan melakukan mujahadah dan muraqabah –mendekatkan diri kepada Allah.

 

Cara kedua ini menggunakan usaha. Al-Ghazali dalam hal ini mengutip dua ungkapan yang disebutnya sebagai hadis Nabi:

 

Pertama, hadis “Barangsiapa menjalankan apa yang ia ketahui, Allah akan memberikan ilmu tentang apa yang belum ia ketahui”. Jadi syaratnya adalah memanfatkan ilmu. Penekanannya adalah untuk menjalankan ilmu sampai pada level manfaat. Seseorang yang memperoleh ilmu laduni melalui cara ini adalah mereka yang memanfaatkan ilmu untuk hidup.

 

Oleh sebagian ulama, untuk memperkuat kandungan dari hadis di atas, mereka mengutip akhir ayat ke-282 dari surat Al-Baqarah berikut:

 

“…Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajarkan kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu…”

 

Atas dasar hal di atas pula bisa dikatakan bahwa seseorang yang memiliki ilmu adalah mereka yang memiliki ciri khusus dan menonjol, yakni sifat khasyat –takut dan kagum kepada Allah, sebagaimana juga dijelaskan dalam QS Fathit (35): 28:

 

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama.”

 

Hal di atas juga berkaitan dengan hadis kedua yang dipaparkan oleh Al-Ghazali: “Barangsiapa yang ikhlas kepada Allah selama empat puluh subuh, maka Allah akan menunjukkan sumber-sumber hikmah dari hatinya pada lisannya.”

 

Artinya, salah satu model latihan yang bisa dilakukan adalah dengan mujahadah. Bagi Al-Ghazali, seseorang yang bisa konsisten ikhlas beramal untuk Allah, maka Allah akan memberikan jalan sehingga yang bersangkutan bisa memperoleh ilmu laduni.

 

Cara untuk memperoleh ilmu laduni yang ketiga adalah dengan jalan tafakkur. Ini adalah jalan normal, yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang menginginkannya. Dalam banyak ayat juga dijelaskan oleh Al-Qur’an tentang perintah untuk tafakkur ini, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Misalnya dalam QS. Yunus (10): 101, Allah berfirman:

 

“Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung dtancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?”

 

Artinya, jika seseorang belajar dengan serius dan kesungguhan, memang karena ada gairah untuk menuntut ilmu yang luar biasa dan lillahita’ala, maka Allah akan membukakan, meminjam bahasa Al-Ghazali, pintu-pintu ke-ghaib-an.

 

Dalam konteks ini, meminjam bahasa Fahruddin Faiz, bisa jadi kita hanya membaca satu baris, tetapi karena dilakukan dengan keseriusan dan kesungguhan, kita justru mendapatkan inspirasi setingkat berhalaman-halaman atau bahkan berjilid-jilid buku.

 

Cara ketiga ini adalah hadiah untuk mereka yang memiliki keseriusan dalam menuntut ilmu sehingga dia dibantu oleh Allah Swt.

 

*Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa kata ‘ilm berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), â’rif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).

 

Sumber : Dari Beberapa Sumber


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-----------------------------------------------------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞