ILMU NUJUM (ILMU PERBINTAGAN)
Munajjim (ahli nujum) juga termasuk dalam kategori peramal menurut apa yang diistilahkan oleh sebagian ulama[2]. Di dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim, dari hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengimami kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah setelah semalamnya turun hujan. Ketika usai shalat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbalik menghadap kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum lantas bersabda: ‘Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb-mu?’ Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Di kala pagi ini, di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir.’ Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah’, ia telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Sedangkan orang-orang yang berkata: ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini atau bintang itu,’ maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.”
Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullah berkata di dalam kitab Shahiih-nya: Qatadah berkata: “Allah menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hal:
Sebagai penghias langit.
Sebagai pelempar syaithan.
Sebagai tanda bagi orang untuk
mengenal arah.
Maka, barangsiapa menafsirkan selain dari itu, ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya dan memaksakan diri dalam se-suatu yang ia tidak mengetahuinya.”
Ilmu Nujum ada dua macam:
Pertama: ‘Ilmu at-Ta’tsiir, yaitu
ilmu nujum yang meyakini bahwa bintang-bintang mempunyai pengaruh terhadap
keadaan alam semesta. Ilmu ini termasuk syirik dan bukan ilmu yang ber-manfaat.
Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Ta’tsiir yaitu menjadikan
keadaan bintang, planet dan benda angkasa lainnya sebagai dasar penentuan
berbagai peristiwa di bumi, baik sebagai sesuatu yang berpengaruh mutlak maupun
hanya sebagai isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi. Jika dia percaya
bahwa keadaan itu adalah faktor yang berpengaruh mutlak atas
peristiwa-peristiwa bumi -dengan tidak membedakan, baik karena kekuatan
internalnya maupun karena izin Allah- maka ia dinyatakan musyrik dengan
tingkatan syirik besar dan telah keluar dari Islam. Tetapi jika ia percaya
bahwa keadaan itu hanya merupakan isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa
bumi, maka ia dinyatakan sebagai musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang
bertentangan dengan kesempurnaan tauhid. Perbintangan tidak berpengaruh terhadap
peristiwa-peristiwa yang ada di bumi. Anggapan tentang perbintangan berpengaruh
terhadap peristiwa-peristiwa di bumi adalah termasuk berkata sesuatu atas Nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ω
َΩِ Ψ§ΩْΨͺَΨ¨َΨ³َ ΨΉِΩْΩ
ًΨ§ Ω
ِΩَ Ψ§ΩΩُّΨ¬ُΩْΩ
ِ
Ψ§ΩْΨͺَΨ¨َΨ³َ Ψ΄ُΨΉْΨ¨َΨ©ً Ω
ِΩَ Ψ§ΩΨ³ِّΨْΨ±ِ Ψ²َΨ§Ψ―َ Ω
َΨ§ Ψ²َΨ§Ψ―َ.
“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari ilmu nujum, maka sesungguhnya ia telah mengambil satu bagian dari ilmu sihir, semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari ), semakin ber-tambah pula (dosanya).”
Kedua: ‘Ilmu at-Tas-yiir, yaitu ilmu nujum yang tujuannya untuk memudahkan arah tujuan dalam perjalanan dan kemaslahatan agama. Penjelasan yang lainnya tentang definisi ilmu at-Tas-yiir yaitu menjadikan keadaan bintang dan benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin dan letak geografis suatu negara dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam. Dari sinilah munculnya Hisab Takwim (penanggalan), pengetahuan tentang akhir musim dingin dan panas, waktu-waktu pembuahan (tumbuhan dan hewan), kondisi cuaca, hujan, penyebaran wabah penyakit dan semacamnya.
Larangan Mempelajari Ilmu Nujum dan Larangan Mempercayai
Ucapan Ahli Nujum
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin
‘Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mempelajari
sebagian dari ilmu nujum berarti ia telah mempelajari sebagian ilmu sihir.
Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu
sihir yang dimilikinya’,” (Hasan, HR Abu Dawud [3905], Ibnu Majah [3726], dan
Ahmad [I/227 dan 311]).
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XII/183) berkata, “Hal yang dilarang dari ilmu nujum adalah yang diklaim oleh para ahli nujum bahwa mereka mengetahui perkara-perkara yang belum terjadi dan akan terjadi pada masa mendatang. Seperti perkataan mereka tentang waktu berhembusnya angin, waktu turunnya hujan, turunnya salju, waktu munculnya udara panas dan udara dingin, waktu perubahan suhu panas dan lain sebagainya. Mereka mengaku mengetahui perkara-perkara tersebut dengan mempelajari peredaran bintang-bintang, berkumpul dan berpisahnya bintang-bintang tersebut. Ini merupakan ilmu yang dirahasiakan oleh Allah SWT, tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Dia. Sebagaimana firman-Nya, ‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat.’ (Luqman: 34).”
Adapun ilmu falak yang dipelajari lewat penglihatan mata telanjang (bukan ramalan) yang digunakan untuk mengetahui waktu tergelincirnya matahari, arah kiblat dan sejenisnya, maka termasuk perkara yang dilarang tersebut.
Allah SWT berfirman, “Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di dara dan di laut,” (Al-An’aam: 97).
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk,” (An-Nahl: 16).
Allah SWT mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat. Diriwayatkan dari ‘Umar r.a. berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekedar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan, dan tahanlah dirimu dari perkara selain itu.”
Diriwayatkan dari Thawus, dari “Abdullah bin ‘Abbas r.a., beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktekkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah.”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah telah mengupas panjang lebar tentang kebathilan ilmu nujum. Beliau mematahkan dalih-dalih ahli nujum pada bagian terakhir dalam kitabnya yang berjudul, Miftaah Daaris Sa’aadah. Ulasan beliau itu sangat baik dan sangat bermanfaat, semoga buku tersebut memberi manfaat bagi negara dan masyarakat.
Nasib Para Dukun, Tukang Sihir dan Ahli Nujum Pasca
Diutusnya Rasulullah saw
Kisra Abrawazir, penguasa Persia,
bila menghadapi suatu masalah, ia mengumpulkan para peramalnya yang berjumlah
360 orang, dan berkata, "Lihatlah urusan in! Ada apa sebenarnya?"
Ketika Nabi Muhammad saw diutus, keesokan paginya, lengkungan tengah
singgasananya retak dan sungai Tigris meluap, bila terus dibiarkan maka
kerajaannya akan hancur. Maka dikumpulkanlah para peramal.
Para peramal, yang ahli perdukunan, sihir dan nujum, berkumpul. Semuanya mengerahkan apa yang mereka bisa, ternyata hasilnya gelap, hanya bisa mengira-ngira pada ramalannya, tak ada yang pasti. Mereka pun kebingungan apa yang akan disampaikan kepada Kisra. Pada suatu malam, salah satu peramal tidur di sebuah bukit, bermimpi ada lintasan cahaya dari Hijaz. Cahayanya melesat menuju timur. Saat terbangun, ada rumput hijau di bawah telapak kakinya. Apa maknanya?
Makna mimpinya, akan keluar dari Hijaz yang menguasai timur dan barat. Bumi menjadi subur yang melebihi kesuburan para raja sebelumnya. Para peramal mendengar makna mimpi tersebut dan berkata, "Demi Allah, suatu urusan yang datang dari langit telah menghalangi ramalan kita, yaitu Nabi yang diutus dan akan merampas kerajaan ini."
Sejak Nabi Adam dikeluarkan dari surga , Iblis bebas naik dan berbolak-balik ke semua langit untuk mencuri berita dari langit. Namun sejak diangkatnya Nabi Isa ke langit, empat pintu langit ditutup. Mereka masih bisa berbolak-balik melalui tiga pintu langit lainnya. Namun pada suatu hari terjadi hal yang tak terduga. Seluruh pintu langit tertutup, mereka juga dipanah dengan bintang-bintang.
Iblis segera mencari informasi apa yang terjadi dengan mengumpulkan para Jin. Iblis berkata, "Berangkatlah ke bumi dan beritahukan tentang apa penyebab kejadian di langit itu?" Iblis mengirimkan mereka ke Tihamah (Mekah), ketika sampai di lembah Nakhlah, mereka menemukan Rasulullah saw sedang shalat subuh dan mendengarkan Nabi membacakan Al-Qur'an. Ternyata, diutusnya Rasulullah saw penyebab Iblis tidak bisa lagi mencuri berita dari langit.
Sejak Nabi Muhammad saw diutus para peramal "tak bisa" menggunakan ilmu perdukunan, sihir dan nujumnya, sebab perantara mereka yaitu iblis tidak bisa lagi mencuri berita dari langit. Andai pun masih ada yang menjalankan praktek tersebut semuanya "murni rekayasa iblis" itu sendiri bukan dari berita langit yang dicuri dari langit lalu disampaikan ke para peramal.
Oleh karena itulah para peramal Kisra selalu salah dalam meramal makna dari singgasana kisra yang retak di tengahnya dan sungai Tigris yang meluap, karena saat meramal bumi menjadi gelap dan tidak bisa menjelajah berita dari penjuru langit. Padahal, sebelum Nabi Muhammad saw diutus, ramalan mereka selalu tepat. Akhirnya raja Kisra Persia membunuh para peramal tersebut.
Sumber : Dari Berbagai Sumber
0 comment:
Posting Komentar