“100 TAHUN BALA KESELAMATAN DI
BUMI TADULAKO”
PENDAHULUAN :
Puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Pengasih,
sehingga pada pertengahan tahun ini, genap sudah 100 Tahun
Bala Keselamatan berkarya dan
melayani di Bumi Tadulako. Tahun yang sempurna kata orang bijak. Yakni kurun
waktu 100 tahun [1913 – 2013]. Suatu masa Penatian dan perjalanan yang jauh,
panjang, dan melelahkan. Ada sukacita, kegembiraan, dukacita, penderitaan,
luapan emosi, tanggis, air mata dan pengorbanan jiwa dan raga berbaur
didalamnya. Tidak terhitung pengorbanan yang diberikan para perintis dan
pendahulu Bala Keselamatan, untuk kurun waktu se abab itu.
Boleh jadi saudara bertanya-tanya,
tentang sub judul diatas. Mengapa tidak langsung menyebutkan lokusnya di
Propinsi Sulawesi Tengah. Mengapa harus di Bumi Tadulako. Sebagai penyaji kami
perlu mengklarifikasi penyebutan kata Bumi Tadulako. Berikut ini ada sejumlah
alasan yang disodorkan kepada saudara, peminat Majalah Berita Keselamatan ini.
a). Didalam kata Sulawesi Tengah, bagi kami terkesan birokrat, amtenar dan
struktural. Padahal yang ingin dijangkau untuk presentasi kali ini, adalah
masyarakat biasa. b). Kata Tadulako adalah sebuah kata, yang bermakna
Kepahlawanan di teritori ini. c). Kata Tadulako lebih membumi, akrab dan
mengakar, bagi warga pribumi diteritori itu. d). Kata Tadulako sudah menjadi
sebutan resmi yang disepakati, masyarakat kawasan ini. Dengan demikian sebutan
Tadulako bukan kata asing, dan kata liar. Seperti nama Perguruan Tinggi Negeri, dikenal dengan
sebutan Universitas Tadulako. Begitu pula Markas Militer Setingkat Komando
Resimen, namanya Skorem 132 Tadulako {Jamrin Abubakar}.
Karena itu penyebutan Bumi Tadulako,
identik atau sama dengan sebutan Sulawesi Tengah itu sendiri dan atau
sebaliknya. Kurang lebih bermakna sama dengan penyebutan, Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai
Propinsi Serambi Mekkah. Bali dengan
sebutan Propinsi Seribu Dewa. Jawa Barat identik dengan sebutan Tanah
Parahiangan. Serta berbagai sebutan lain
untuk daerah besar dan kecil di Nusantara
Raya ini.
CATATAN PINGGIR diatas berinfilikasi
dengan sejumlah klarifikasi yang perlu diperjelas dan dipertegaskan. Sehingga
menjadi terang benderang. Semisal kapan dan dimana lokasi persis untuk Pertama
sekali, pelayanan Bala keselamatan itu mulai?. Klarifikasi Kedua siapa saja
para perintis, Pelayanan Bala di kawasan lembah Palu itu?. Kemudian disusul
dengan klarifikasi Ketiga, Siapa warga pribumi yang menjadi Pengikut dan atau
umat Bala di awal mulanya ?. Serta sejumlah deretan pertanyaan, yang mungkin
muncul dihati dan pikiran kita. bukan?. The last but not least, “Siapa Warga
Pribumi Pertama”, yang merespons dan memberi dukungan, untuk peristiwa
bersejarah masa lalu. Sehingga Bala boleh tumbuh, berkembang dan berkarya di
Propinsi penghasil Kayu Ebony yang
go Internasional itu.
Dengan demikian jawaban dan
penjelasan itu, boleh menjadi tambahan perbendaharaan dan wawasan anak, cucu
dan cicit kita, Seratus tahun yang akan datang. Ketika mereka merayakan 200
tahun Pelayanan Bala Keselamatan lagi. dengan cara dan situasi yang berbeda.
Sebagai sesama Prajurit kami berharap, kita dapat merespons suasana lalu itu,
dikaitkan dengan situasi kekinian. Kehidupan
yang memberi peluang dan sekaligus tantangan pelayanan bagi Bala Keselamatan
Seratus tahun yang akan datang.
Untuk semua itu, kami mengajak
saudara bersama-sama membaca, menyimak dan memperhatikan catatan tertulis dalam sejumlah dokumen resmi, yang
diterbitkan Kantor Pusat Bala Keselamatan. Serta Buku Ilmu Pengetahuan dan
ilmiah lain yang mendukung diskusi perayaan yang kita diskusikan untuk kali
ini. Seperti buku: Tua Janggo di Tanah Toraja yang disadur oleh Albert Kenyon.
Tiga karya lain: 60 Tahun Bala
Keselamatan di Sulawesi Tengah, Zamrud di Khatilistiwa Jilid I dan Jilid II.
Sejarah Pipikoro dan Bala Keselamatan di Pipikoro, ditulis oleh Herman D Rigo
Guru Pribumi, yang mengabdikan diri sebagai Tenaga Pendidik di era Kolonial
hingga awal Kemerdekaan. Sebagai pelengkap dari tulisan ini disajikan juga
berbagai pandangan yang terdapat dari Buku: Menggugat Kebudayaan Tadulako &
Dero Poso dan Buku kecil berjudul: Orang Kaili Gelisah. Kedua buku terakhir ini
ditulis oleh Jamrin Abubakar Wartawan yang mengeluti masalah Sosial dan Budaya
Sulawesi Tengah.
Sementara itu tiga buah buku yang
diterbitkan Kantor Pusat Bala Keselamatan sebelumnya, ditulis oleh Melatie
Margaretha Brouwer. Melatie adalah Pendeta Bala Keselamatan. Dia merupakan
puteri dari perintis Bala Keselamatan di Indonesia. Ayahandanya Staf Kapten
Jacob Gerrit Brouwer. Melatie lahir di pulau Jawa, persisnya dikota Semarang. Masa Kanak-kanak opsir itu
dijalaninya di Negeri Belanda. Sementara
era remaja dilakoninya kota
Beijing Negeri Cina. Melatie melayani selama 35 Tahun di Indonesia. Tahun 1963
Letnan Kolonel Melatie memasuki masa pensiun. Masa purnabakti hingga Tuhan
panggil naik kekemulian, dijalaninya di
Melbourne Australia. Kemudian 2 (Dua)
buku 3 (Tiga) buku Melatie diatas, diterjemahkan Drs Willy Leimena M.Pd.
Setelah di edit kembali oleh Letnan Dina Ismael. Ke 2 (dua) buku itu dicetak ulang tahun
1994. Dalam rangka menyongsong Kongres
100 Tahun Bala Keselamatan di Indonesia.
Kongres yang dilaksanakan di era Kepemimpinan Komisioner Victor K Tondi. Komisioner
Tondi, Alumni Sekolah Opsir {Pendeta}
Bala Keselamatan Melbourne Australia. Pendeta Victor K Tondi, putera
kelahiran Desa Winatu kecamatan Kulawi
Kabupaten Sigi. Hamba Tuhan ini tercatat sebagai Pribumi Pertama Kelahiran Bumi
Tadulako, yang diberi kepercayaan oleh Jenderal Bala Keselamatan Dunia yang
berkantor Pusat di London Inggris. Sebagai Pemimpin Bala Keselamatan di
Teritori Indonesia (KPT), sejak 115 Tahun Bala Keselamatan melayani di Negeri ini.
AWAL MULA PELAYANAN :
Mari kita telusuri apa yang terjadi, di
era seratus tahun lalu itu. Mula-mula hadir 2 (Dua) pasang Opsir Bala
Keselamatan, membuka pelayaan di Sulawesi Tengah. Pertama Kapten Jensen dengan
isterinya Nathalie, Opsir berkewarganegaraan Denmark. Pasangan ini membuka pelayanan pertama, di Tanah Datar
sekitar Palu. Kedua Kapten Ensign Loois dengan isterinya Wilhemmina Beldrink,
yang berkewarganegaraan Belanda. Pasangan ini membuka pelayanan didaerah
pegunungan di Kulawi. Tiga Setengah Tahun kemudian, disusul lagi oleh pasangan
Pendeta berkebangsaan Inggris, Kapten Leonard Woodward dan Isterinya Maggie
Low. Pasangan ini membuka pelayanan didaerah pedalaman di desa Kantewu. Dengan demikian sebagai
Gereja yang bersifat Internasional, ternyata
Bala Keselamatan di Bumi Tadulako, sejak awal sudah dirintis dan dilayani oleh pasangan Hamba Tuhan antar bangsa. Yaitu warganegara
Denmark, Belanda dan Inggris. Dikemudian
hari di susul lagi, oleh para Pendeta Bala Keselamatan berkewarganegaraan:
Australia, Finlandia, Swedia, Jerman
dan Canada {Herman D Rigo}.
Untuk pertama kali, Bala Keselamatan
memulai melayani di bumi Rowiga. Persisnya di kampung Sibedi. Kapten Jensen
merintis pelayanan di sebidang tanah
Pemberian dan hibah seorang Raja Lokal. Terletak disebelah Barat jalan Besar. Wilayah yang dahulu disebut
Uwetumbu, yang berarti Mata Air. Berada
dibawah sebuah Pohon Beringin Besar. Kini daerah itu dikenal sebagai
bagian dari Desa Sibedi berbatasan dengan Desa Beka, kecamatan Marawola
Kabupaten Sigi. Pertama yang dibangun
Rumah Opsir (Rumah Pendeta). Kemudian disusul pembangunan Rumah Ibadah sederhana. Tempat penduduk asli
itu, melaksanakan Ibadah dalam kepercayan barunya. Dalam perkembangan selanjutnya Kapten Jensen
dikenal dengan panggilan sebagai Tua
Jelawo’o. Sebutan dalam bahasa lokal sebagai: Tuan Rambut Menyala atau
Tuan Rambut Merah. Sebagaimana warna Rambut orang Denmark, yang kita kenal
hingga dewasa ini.
Menurut catatan para perintis
peristiwa itu, terjadi pada tanggal 15 September tahun 1913. Momen itulah
dihitung sebagai titik awal, dimulainya pelayanan Bala Keselamatan di Bumi
Tadulako itu. Jika saudara ingin bernafaktilas, dapat menyaksikan lokus pertama
Bala Keselamatan memulai pelayanannya. Tempat historis itu berada di daerah
Rowiga. Disana ada dibangun sebuah Situs
atau Tugu Peringatan. Untuk mengenang peristiwa bersejarah, bagi warga Bala
Keselamatan di bumi Tadulako itu. Lokasinya
dilingkungan Perkantoran Divisi Palu Barat. Tidak terlalu jauh dari
kota Palu, kurang lebih 10 Kilo Meter saja.
Pertanyaan berikut siapa dan mengapa
Bala Keselamatan bisa dengan mudah mendapatkan Tanah atau lokasi untuk
membangun Rumah Opsir dan Pelayanan Rumah Ibadah ketika itu. Serta mengapa
masyarakat lokal di era itu, merasa simpati dan berkenan menghibahkan tanah tanpa prasyarat kepada Bala
Keselamatan. Mari kita amati lagi apa yang tertulis dalam salah satu dari
buku-buku resmi diatas. Ketika itu
Kapten dan Nyonya Nathalie Jensen, menghadap Paduka Raja Parampasi di Palu.
Pasangan Opsir ini melaporkan maksud dan tujuan pasangan itu datang ke daerah
itu. Dengan segala hormat perintis menyampaikan rencana pekerjaan, yang akan
dilakukan di daerah baru, di wilayah
kekuasaan Raja di Tanah Kaili itu.
Singkat cerita setelah mendengar
uraian dari Hamba Tuhan itu, Raja Parampasi dengan spontan dan tanpa
berbelit-belit, mendukung pelayanan Opsir berkebangsaan Denmark itu. Raja tidak
melakukan yang populer dalam “kebiasaan aneh oknum” Birokrat kita dekade
akhir-akhir ini. Kalau bisa dipersulit,
mengapa harus dipermudah. Raja Parampasi dengan sukacita
menghibahkan sebidang tanah, kepada
pasangan Hamba Tuhan berkulit Putih itu.
Dengan disaksikan oleh sejumlah
rakyatnya, Kapten Jensen berdoa diatas tanah pemberian itu. Dengan cara merebahkan diri, meletakkan dan
menempelkan Telinga diatas tanah itu,
seraya dengan kedua tangannya menepuk-nepuk bumi, kurang lebih 10 menit.
Cara Perintis minta petunjuk Tuhan. Dimana melalui cara itu dia mendengar
bisikan Tuhan tentang pemberiaan tanah itu. Untuk tawaran pertama perintis
berkesimpulan: Tidak cocok alias
kurang pas, Tanah yang dihibahkan itu. Kemudian perintis meminta lagi, kepada Sang Raja lokasi yang lain. Raja merespons
dan menawarkan alternatif lain. Sesuai
dengan keinginan Sang Perintis. Setelah berdoa dengan cara yang sama untuk
kedua kalinya. Perintis mendapat jawaban dari Tuhan. Sebidang Tanah yang
terakhir ini cocok, dan menarik hatinya sebagai awal misi pelayanan pasangan
muda itu {Melatie Brouwer}.
Sangat mungkin Do’a Opsir perintis
itu, substansinya mirip dan identik dengan Jawaban Tuhan. Ketika 12 (Dua Belas)
orang perwakilan Suku Israel yang diperintahkan Musa, Hamba Tuhan yang setia
itu. Ketika mereka mengintai dan melihat serta menginjakkan kaki, dipinggir Tanah
Perjanjian. Tanah Kanaan negeri
nan subur penuh dengan buah Anggur,
Delima dan buah Ara dan berlimpah Air Susu dan Madu itu {Bilangan 12.23 – 27}.
HIDUP MELEBIHI ZAMAN :
Seminggu sebelum artikel ini
digoreskan, penulis mencoba mendikusikan rencana CATATAN PINGGIR ini, dengan
seorang Opsir Bala Keselamatan yang melayani di Jakarta. (Kebetulan Pendeta itu
pernah lama melayani, di wilayah Palu Barat). Ketika itu ada sejumlah
klarifikasi dan pertanyaan yang menggelitik pikiran kami berdua. Lalu kami
berdua berimajinasi, tentang inti dari apa yang dipikirkan dan didiskusi kedua
tokoh diatas yang berlainan Budaya, suku bangsa dan Kepercayaan itu. Dimana
terbangun dinamika pembicaraan yang hangat dan akrab, diantara Raja Parampasi
dan Kapten Jansen Seratus tahun lalu itu.
Apa dan mengapa Raja Parampasi
almarhum, bersukacita memberi sebidang
tanah kepada Sang Perintis. [Muda-mudahan persepsi dan assumsi kami kurang
valid Red]. Pertama Raja Parampasi memang Manusia Luar Biasa. Karena sudah
berpandangan luas. Raja Parampasi
berwawasan jauh kedepan dalam mengambil sesuatu keputusan. Pakar dan
cendekiawan masa kini mengatakan : Raja hidup melampaui zamannya. Raja sudah
berpikir tentang apa yang akan dilakukan dan dikerjakan Sang Perintis. Merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari rencana kemajuan rakyat Nya. Kedua karena yang dibina dan
dilayani adalah rakyat, maka Sang Raja
menjawab sendiri dalam kalbu tekateki itu dengan berkata mengapa tidak?. Kalau demi kemaslahatan dan
kemajuan rakyat Ku. Ketiga kalau kehidupan rohani dan kesejahteraan semakin
lebih baik dan meningkat. Maka nilai tambah keberhasilan itu, otomatis tetap
bagian yang tidak terpisahkan dari inisiatif
Raja Lokal itu.
Keempat Raja faham cara berpikir, berbeda itu indah. Seperti
selogan Tentara Nasional Indonesia {TNI}, dalam menggalang rasa kebangsaan itu.
Bagi Raja Parampasi tidak selamanya, perbedaan itu buruk. Raja dengan sukacita
memberi kesempatan, kepada sebagian rakyatnya,
untuk menjadi penganut keyakinan baru. Faham dan ajaran Agama baru, yang
akan diajarkan Pendeta Jansen, Hamba Tuhan berkulit Putih itu. Yakni dari
kepercayaan semula [bukan] Muslim. Menjadi pengikut Bala Keselamatan, kemudian
hari dikenal sebagai bagian dari umat Kristiani. Kelima Raja percaya rakyat
yang menjadi pengikut Bala Keselamatan itu, masih tetap rakyat Raja. Dengan kata lain didalam benak Raja,
loyalitas dan kesetiaan rakyat masih
kepada Raja. Karena secara genetika, mereka masih punya hubungan darah, yang
tali temali. Dalam ikatan kekerabatan,
bahasa, adat istiadat dan kebiasaan yang sama. Dengan pemikiran yang
cerdas, Raja masih tetap tinggal dan bergaul dengan Rakyatnya. Walau cara
mereka berbeda, dalam menyembah dan memuliakan Tuhan.
Keenam Sang Raja yakin, rakyat yang
menjadi pengikut Bala Keselamatan itu, tidak akan mutasi, atau bernaturalisasi
menjadi warganegara Denmark. Seperti jalan pintas yang ditempuh Pengurus PSSI
belakang ini, dalam mencari Tenaga Professional Pemain Bola Nasional. Untuk dan
atas nama Kejayaan Merah Putih itu. Tetapi tujuan utama Pendeta Jansen, bukan
mencari bangsa lain. Dalam menambah angka statistik warga Denmark. Tetapi mencari jiwa-jiwa
untuk Tuhan. Melepaskan mereka dari dunia yang gelap. Ke dunia yang terang
dalam ajaran kekristenan. Raja Parampasi mengerti betul, tidak ada korelasi
loyalitas, kepatuhan dan kesetiaan RakyatNya kepada Baginda Raja, dengan
berkeyakinan baru itu.. Ketujuh sangat mungkin dipandangan Raja, sudah tertanam
ajaran agama yang dianutnya. Bahwa persoalan keyakinan, adalah urusan setiap
pribadi. Sesuatu hak yang universal dalam hidup ini. Sesuatu hak yang tidak
boleh diintervensi siapapun. Suatu sikap
dan pribadi yang dikenal kini, sebagai toleransi beragama. Bagian yang tidak
terpisahkan, dari apa yang tersurat dan
tersirat, dari Panca Sila. Sebagai Dasar
Negara Indonesia dikemudian hari. Dengan kata lain Raja sudah berpikir
perbedaan itu bukan masalah, dan tidak perlu dipermasalahkan. Bagi Raja
perbedaan adalah “Pelangi Kehidupan yang
indah”.
Kedelapan, ketika itu Raja sudah berpikir, Negara Indonesia yang akan
dibangun kelak, bersumber dari Kebhinekaan. Bukan berasal dan didirikan dari
masyarakat yang serba homogen. Negara harapan itu dibangun dari berbagai
perbedaan. Tetapi dalam satu tujuan. Yakni merdeka lepas dari tangan
penjajah. Dengan kata lain dibenak Raja,
perbedaan adalah keniscayaan dalam hidup ini. Tentu saudara boleh kembangkan lagi berbagai
pikiran positif, apa yang ada di hati Raja di Tanah Kaili itu. Dengan kata lain
nuansa, pemikiran Raja sudah bersemi.
Jauh sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan, kaum Muda Nusantara Belasan Tahun
kemudian.
Kesembilan, pertanyaan ikutannya,
mengapa pelayanan Bala Keselamatan sejak awal sudah direspons secara positif
oleh Raja Parampasi ?. Jawaban sangat sederhana. Karena karya dan pelayanan Bala Keselamatan itu
bersifat Universal. Diluar {Urusan Kerohanian}, Bala sudah sejak awal
komit dengan persoalan kemanusian. The Salvation Army, justru dibangun oleh
Pendiri Jenderal Willian Booth, karena terjadi ketimpangan dalam persoalan Kemanusiaan. Slogan Bala Keselamatan:
Heart to God and Hand to Man - Hati ke Tuhan, Tangan ke sesama. Sangat mengena
di hati Raja. Raja tahu dan mendengar, pertama-tama yang akan dilakukan para
perintis, menolong kepada sesama dalam berbagai kebutuhan tanpa diskriminasi.
Yaitu menolong Orang Sakit. Kemudian
merambah ke Dunia Pendidikan. Melayani
orang Papah, yang terpinggirkan seperti fakir miskin, orang terlantar,
anak yatim piatu dan orang Berpenyakit
Kusta, hal-hal lain yang kurang diperhatikan oleh sesama. Pekerjaan yang hingga
kini konsisten dikerjakan Bala Keselamatan.
Baik di era lalu, era kini dan di era yang akan datang. Persoalan
kemanusian diatas, senantiasa tetap menjadi target dan sasaran utama, pelayanan
Bala Keselamatan di 125 Negara dimuka bumi
ini.
SIMPATISAN DAN PRAJURIT PERTAMA:
Selanjutnya mari kita telusuri
rangkaian pertanyaan berikut: Siapa saja para penduduk pribumi yang menjadi mitra dan simpasan awal Bala
Keselamatan. Pada saat awal pelayanan Bala Keselamatan di mulai di Propinsi ini
?.Didalam uraian buku-buku diatas dicacat ternyata para Opsir Perintis itu,
memanfaatkan dan bekerja sama dengan penduduk pendatang. “Pendatang” dalam
konteks tulisan ini, bukan penduduk lokal atau orang setempat. Tetapi mereka
berasal dari Daerah atau Propinsi lain.
Mereka merupakan tenaga profesional. Para Guru dan tenaga terdidik lainnya.
Mereka berasal dari Tanah Minahasa, Sangir Talaud di Sulawesi Utara dan orang
Ambon dari Tanah Maluku.
Pertanyaan yang menarik, mengapa “ Suku Asing” itu, bersedia dan mau
bekerjasama dengan para Perintis?. Jawabannya logis dan sederhana. a). Mereka
adalah kaum terdidik, dan terpelajar dizamannya.b). Mereka berasal dari daerah
atau denominasi, yang sudah menjadi penganut Kristen {Walaupun bukan warga Bala
Keselamatan}. Orangtua mereka adalah hasil dari upaya Zending lain. Sebelum
Bala Keselamatan masuk ke Nusantara ini. c). Kaum profesional ini dengan warga
lokal, sama sama warga pribumi. Ketika itu sudah terbiasa berkomunikasi, dalam
bahasa Melayu, bahasa yang dikemudian hari menjadi bahasa resmi. Seperti bahasa
persatuan yang kita gunakan dewasa ini. Dengan demikian para profesional ini
otomatis, menjadi mediator sekaligus penerjemah bagi para missioner. Sebelum
para perintis asing itu, faham dan lancar berbahasa lokal. d). Keprofessionalan
kaum pendatang ini, ternyata banyak bersinggunggan dengan bidang pelayanan yang
dikerjakan oleh para perintis. Yaitu dibidang Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan
Umum, Pengairan, Pertanian. Serta sebagai Pegawai Pemerintah Kolonial di Daerah
rintisan itu. e). Ketika itu pelayanan bidang Rohani Kristen di wilayah ini,
Bala Keselamatan adalah aliran Gereja resmi pertama, yang diakui Pemerintah
kolonial. Serta berbagai faktor lain yang memungkinkan dapat disinergikan
dengan para perintis Bala Keselamatan.
Diawal-awalnya mereka hanya sekadar ber
empati. Dengan cara membantu pelayanan seadanya. Kemudian merangkap dan
bermitra. Lalu tidak terbilang dari pendatang itu, bekerja penuh waktu. Beralih
menjadi Opsir Pribumi. Dengan cara mengikuti Kursus Singkat dan Reguler.
Didalam panggilan itu ternyata banyak diantara pribumi itu, menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan. Karena partisipasi aktif itulah dikemudian
hari, kita mengenal sejumlah perintis pribumi dengan fams atau marga seperti:
Sahetapy, Waleleng, Losso, Nelwan, Merpati, Jacobus, Kalangie, Tandayu, Kandouw
dan lain-lain.
Namun ada pertanyaan yang mengelitik
dibenak dan pikiran kami, terhadap perjuangan para Opa dan Oma diatas. Kini
pada generasi ke Tiga ke Empat dan ke Lima, dari keturunan Perintis Pribumi diatas. Ternyata cukup banyak yang menjauh dari Bala Keselamatan.
Tidak sedikit dari keturunan Opa dan Oma itu, bukan lagi Prajurit Setia Bala
Tuhan. Mereka keluar dan beralih ke gereja denominasi lain. Tentu dengan Seribu
Satu alasan dan argumentasi. Apakah itu karena perbedaan pendapat. Persoalan
prinsip hidup dan masalah lain, yang bersifat pribadi. Boleh jadi juga karena
persoalan ekonomi keluarga. Atau karena gesekan dan tawaran duniawi ini. Kami
yakin saudara dan sahabat Bala Keselamatan, bisa memberi jawaban yang valid.
Mengapa sampai sebagian keturunan para perintis itu sampai exsodus. Seirama
dengan suasana kongres seabad ini. Perlu kembali kita merenungkan. Mengapa dan
dimana yang salah, dan atau keliru. Sehingga
sebagian dari saudara itu, tidak lagi Se
Gereja dengan kita dalam memuliakan dan mengagungkan Tuhan.
KOLONISASI KALAWARA :
Selanjutnya dalam buku-buku diatas,
disebutkan Tuan Adolf Van Emmerik. Satu dari Dua Orang Opsir Angkatan Pertama
yang masuk dan melayani di Belanda. Karena alasan kesehatan Dia keluar dari
Dinas Opsir. Namun kerena Van Emmerik saat awal menjadi Opsir telah berjanji
dengan Tuhan. Maka dia tidak terlalu jauh bekerja dari bidang pelayanan. Kalau
diawalnya dia rindu menjadi Pendeta.
Maka dia tetap melayani kemanusiaan. Yaitu kongsi atau Organisasi Sosial Salip
Putih namanya. Untuk keperluan dan pengembangan organisasi itu, kongsi itu
mencari dan membuka koloni baru. Sebagai pengganti dan perluasan tempat pelatihan dan pembinaan
warga binaan organisasi sosial itu. Kolonisasi Kalawara didirikan dan dibangun
pada Tahun 1905. Delapan tahun lebih awal, dari masa dimulainya pelayanan Bala
Keselamatan di bumi Sulawesi Tengah. Dimana semula berada di sekitar Salatiga
di Pulau Jawa di Propinsi Jawa Tengah sekarang. Dikemudian hari dengan alasan
biaya dan kesinambungan pelayanan, Koloni Kalawara diserahkan sepenuhnya
pengelolaannnya kepada Bala Keselamatan. Karena memang sejak di Tanah Jawa
juga, Organisasi Bala Keselamatan sudah concern kepada organisasi nirlaba itu.
Itulah sebabnya sejarah mencatat perjalanan pelayanan di daerah eks koloni
Kalawara, hingga kini tidak terlepas dari tangan pelayanann Bala Keselamatan.
Koloni Kalawara kita kenal sebagai
upaya, rintisan perpindahan penduduk. Dari wilayah yang padat penduduk ke daerah yang jarang penduduk.
Sebagai bagian yang tidak terlepas dari Sejarah Transmigrasi di negeri ini.
Kolonisasi Kalawara adalah program yang sezaman, dengan kolonisasi di Lampung.
Sebagai cikal bakal dari Program Nasional Transmigrasi. Khususnya program dan
target Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Sementara itu perpindahan penduduk
negeri ini, ke Luar Negeri di era kolonial. Kita kenal dengan sebutan
kolonisasi Suriname di Amerika Selatan. Serta
Kolonisasi Caledonia Baru, di suatu gugusan pulau Atol di Lautan
Pasifik.
TAHAPAN DAN
PERKEMBANGAN PELAYANAN :
Setelah Pendeta Jensen mendirikan
Rumah Opsir dan Rumah Peribadatan Pertama, di sebidang tanah yang di hadiahkan
Raja Parampasi. Kemudian wilayah pelayanan berkembang terus, secara perlahan
tetapi pasti. Mula-mula disekitar Tanah Datar Rowiga disekitar pinggiran Palu.
Lalu pencarian jiwa-jiwa dan pengabaran Injil Kristus, disebarkan terus. Tahun
demi tahun dibangun lagi, Rumah-rumah
Ibadah bagi masyarakat lokal, yang dimenangkan para perintis berikutnya.
Dikemudian hari menyebar naik lagi, ke daerah Pegunungan dan Pedalaman. Masuk dan menjalar ke wilayah
Dompu. Kemudian berkembang ke Daerah Pakawa. Menyebar lagi ke Daerah Bunggu sekitarnya. Sejalan dengan
perjalanan waktu, wilayah rintisan ini. berkembang menjadi wilayah kerja
Pelayanan, yang kini dikenal sebagai Wilayah Pelayanan Divisi Palu Barat.
Sementara itu ke arah Pantai Timur
Kabupaten Donggala (Ketika itu), berkembang kearah Parigi dan Mautong. Sejarah Perjalanan Bala mencacat untuk Daerah ini dimotori
Kalangan Guru Muda diawal rezim Orde Baru berkuasa. Di era itu Pemerintah menetapkan
INPRES penempatan Guru Sekolah Dasar, keseluruh pelosok Tanah Air. Kalangan
Pendidik Muda ini umumnya berasal dari Wilayah Kulawi, Pipikoro dan sekitarnya.
Dimana umumnya para Prajurit dan jemaat Gereja Bala Keselamatan. Para Tenaga
Muda inilah yang menjadi cikal bakal dan embrio Pelayanan Bala disana. Ditambah
dengan migrasi spontan penduduk, dalam artian perpindahan penduduk lokal dari
Wilayah Kabupaten yang sama.
Dikemudian hari sejalan dengan
tuntutan pelayanan, berkembang ke wilayah Pantai Barat Donggala. Masuk dan
berkembang ke wilayah rintisan baru, di sekitar Pasangkayu. Wilayah terbaru ini
kita kenal sebagai wilayah Kabupaten Mamuju Utara. Bagian dari Propinsi
Sulawesi Barat. Dengan alasan untuk mendekatkan dan mengoptimalkan pelayanan.
Daerah sekitar Pantai Barat dan wilayah Pasangkayu dan sekitarnya digabung dan
dikembangkan. Dipisahkan dari wilayah kerja dan pelayanan Divisi Palu Barat.
Wilayah pengembangan ini kini kita kenal, sebagai Wilayah Divisi Manggala.
Divisi baru ini terdiri dari 3 {Tiga} Distrik yaitu Distrik Malino, Mamuju
Utara dan Lalundu. Kantor Divisi baru
itu berada di Dusun Duria Sulapa. Sekaligus disana berdiri sebuah Korps,
dengan nama yang sama, yakni Korps Duria Sulapa. Di Desa Kalola, Kecamatan
Bambalamotu. Bagian dari Kabupaten Mamuju Utara. Wilayah administratip Propinsi
Sulawesi Barat. Wilayah kerja Bala Keselamatan terbaru, merupakan Divisi Bungsu
di Teritori Indonesia dewasa ini.
Selanjutnya Kapten Hendrik Loois
bersama isteri Wilhelmina, membuka dan
memperluas wilayah pelayanan Bala Keselamatan
ke daerah pedalaman dan pegunungan
di sekitar daerah Kulawi. Di Dataran Kulawi dimulai di Korps Kulawi pada
tahun yang sama, yakni pada tahun 1913. Sangat mungkin bulannya saja yang
berbeda, dengan pembukaan pelayanan di Rowiga diatas. Tiga Setengah tahun kemudian disusul dengan
pelayanan baru didesa Kantewu, yang dibuka oleh Kapten Woodward pada tahun
1917. Kemudian secara sporatis pelayanan Bala Tuhan itu, berkembang ke daerah-daerah di dataran Kulawi lainnya, Gimpu, Karangana,
Lindu, Tobaku dan dataran Pipikoro sendiri. Dengan pusat pengembangan di Kulawi
dan Kantewu. Kini kedua wilayah pelayanan itu sebagai wilayah kerja Kantor Divisi Kulawi.
Dalam pada itu tahun 1926 menurut
catatan yang lain, dimulai pelayanan Bala Keselamatan di kota Palu. Setelah 13 (Tiga Belas) tahun di buka
pelayanan Pertama di Rowiga dan Kulawi. Atau 9 (Sembilan) tahun sesudah di buka pelayan di dataran
Pipikoro. Selanjutnya dari Palu berkembang ke arah aliran Sungai Gumbasa dan
Dataran Rendah di lembah Palu dan sekitarnya. Lalu menjalar lagi ke dataran
Palolo, dan terakhir ke Napu Besoa.
Daerah yang secara Administrasi berada di Kabupaten Poso. Kini wilayah
kerja pelayanan ini dikenal, sebagai wilayah Kerja Kantor Divisi Palu
Timur. Kini pelayanan Bala Keselamatan
di Sulawesi Tengah bersatu dengan Propinsi Sulawesi Barat. Perlahan dan pasti
sudah berada di 6 {Enam} Kabupaten dan Kota. Bergerak di 4{empat} bidang
pelayanan yang menjadi misi Bala Keselamatan yang bersifat umum itu. Yakni di
bidang Pelayanan Rohani, Pendidikan,K esehatan dan Kesejahteraan Sosial.
DISIPLIN DAN KEBIASAAN DIRI :
Perlu dicatat kebiasaan baik Kapten
Leonard Woodward, didalam melakukan pelayanan. Dia senantiasa mencatat berbagai
kegiatan lapangan, yang dipandangnya perlu. Catatan yang semula hanya tertera, di dalam Buku
Harian atau buku Kerja saja. Dikemudian
hari data dan fakta yang termuat didalam sejenis Buku Kerja itu, tidak ternilai
dengan uang atau materi lainnya. Khususnya dalam dinamika perkembangan, pelayanan Bala Keselamatan di negeri ini. Sesuatu hal
yang pantas diteladani dan ditiru, oleh para Pendeta atau Hamba Tuhan Bala
Keselamatan di era informasi ini. Secara spesifik layak diteladani Pendeta
Muda, ketika mereka diutus. Khususnya ke
daerah pedalaman dan atau rintisan baru. Dimana
sarana dan prasarana serta komunikasi
yang terisolir dan terbatas.
Pemikiran ini dikemukakan sejalan minat baca bangsa kita
yang rendah, tidak cermat dan kurang peduli. Serta motivasi menulis masyarakat
kita juga lemah. Sehingga menjadikan bangsa Indonesia, tergolong dan
digolongkan, sebagai bangsa yang kualitas
membaca dan menulisnya rendah.
Dibandingkan dengan negara dikawasan Asia Tenggara saja sudah jauh
tertinggal. Apalagi diranking untuk kawasan dunia ini. Posisi negara kita
hampir nyaris diurutan bawah. Sinyalem itu termuat dengan jelas, dalam Dunia
Maya. Kita boleh percaya atau tidak, senyatanya secara jelas digambarkan,
posisi orang Indonesia dalam situasi yang kurang kompetitif.
Mari kita lihat dan amati sejumlah
contoh soal tentang manfaat dan nilai
yang terkandung dalam suatu tulisan. Khususnya Catatan Lapangan, yang
dihasilkan seseorang dan atau sekelompok orang dikemudian hari. Karena alasan
teknis diutarakan dengan 3 (tiga) buah contoh soal saja. Sementara contoh
lainnya dapat cari sendiri. a). Buku: IN CENTRAL BORNEO. Karya Dr. Anton W.
Niewenhuis. Buku yang di Indonesia kan Penerbit Gramedia Pustaka Utama, menjadi
buku berjudul: Di Pedalaman Borneo. Pada
tahun 1994 dalam rangka mengenang 100 Tahun Expedisi ke pedalaman Pulau
Kalimantan buku itu diterbitkan. Buku yang menjadi acuan dan standard ilmiah,
jika seseorang Peneliti atau Ahli, berbicara tentang Suku Dayak. Dr. Anton
adalah ahli Ennografi dan Antropologi yang terkenal di era lalu. Kata seorang Sosiolog terkemuka dari
Universitas Tanjung Pura Pontianak, rasa-rasanya kurang klop, jika orang
berbicara tentang siapa dan apa Manusia atau orang Dayak. Tanpa mencantumkan
buku karya Dokter ahli Kesehatan orang Belanda itu, sebagai bagian dari
refrensi dan kajian ilmiahnya.
b). Buku: Besturen Overzee, di
Indonesia kan menjadi buku: Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda Tahun
1920-1944. Buku ini awalnya hanya merupakan Catatan Lapangan. Dari 12 [Dua Belas] orang mantan Binnenlands
Bestuur. Pegawai Pamong Praja Belanda, yang menjadi Amtenaar di era kolonial.
Mereka birokrat setingkat alumni
APDN-IIP-IPDN, Perguruan Tinggi Kedinasan itu. Mereka menuliskan: Apa yang
mereka Lihat, mereka Ketahui dan mereka Dengar. Ketika menjadi Pejabat
Pemerintahan, dihampir semua wilayah Negeri ini. Catatan lapangan yang
dibakukan dalam bentuk Buku itu hingga kini, tetap menjadi acuan yang valid. Jika seseorang
berbicara tentang Sosial, Budaya dan Kemasyarakatan Daerah tertentu. Jika anda
sebagai Pamong Muda, tentu tahu dan pernah membaca buku itu bukan ?.
c). Dipertengahan Tahun Sembilan
Puluhan, seorang Pendeta Muda Bala Keselamatan diutus ke Kalimantan Timur. Hampir
5 {lima} tahun Letnan Muda itu melayani di pedalaman. Dasar seorang Opsir yang
concern, dengan kehidupan warga yang di gembalakannya. Hamba Tuhan yang muda
belia ini dengan serius mempelajari, dan mengamati tata kebiasan atau budaya lokal Daerah itu. Seperti
bagaimana cara penduduk berkebun, membangun rumah baru, seluk beluk perkawinan,
menerima dan menghormati tamu asing dan
sejumlah pola kehidupan jemaatnya. Tentu semua kebiasaan itu, selalu dikaitkan
dengan ajaran dan dogma kehidupan Kristiani. Sebagai bagian dari Peperangan
Suci, Darah dan Api dan Bendera Tri Warna yang diajarkan di Pusat Pendidikan
Keopsiran Bala Keselamatan.
Dalam perjalan waktu setiap ada
acara kegiatan yang terkait dengan kebiasaan itu, bukan lagi Pendeta Muda itu yang
bertanya. Tetapi justru jemaatnya yang berkonsultasi ke Hamba Tuhan itu. Singkat cerita Si Pendeta
Muda itu. Saat menjalani cuti tahunan dirumah kami di Jakarta, dia bercerita kepada penulis. Dari cerita dan
diskusi itu kami sarankan agar dituliskan saja, tahapan-tahapan acara kebiasaan
masyarakat lokal itu. Dengan cara seadanya saja dulu {Di era itu belum ada Komputer}. Jika suatu
ketika di mutasi dan atau pindah melayani di Kota, kita atur strategi
lanjutannya, sambung penulis. Pengalaman Lapangan itu bisa disusun dan di tulis
dengan baik, sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan Buku.
Jika dimungkinkan kita cari bersama,
Penerbit atau Sponsor yang bersedia mendanai dan memasarkan ajak kami. Tetapi seperti yang disinyalir
diatas, Si Pendeta Muda itu tidak punya kemauan yang kuat, untuk melakukan
gagasan itu. Dua Puluh tahun kemudian,
setelah diselingi mutasi untuk kesekian kali. Kami ketemu dan bicarakan lagi,
tentang kemahirann dan penguasaan Budaya Masyarakat yang pernah dilayaninya
belasan tahun lalu itu. Sudah banyak yang terlupa Pak, jawabnya enteng tanpa
beban. Sayang Seribu kali sayang. Catatan Lapangan yang dibangun dengan
energie, dan waktu yang lama itu hilang
percuma. Ternyata perilaku lupa dan terlupa, menjadi tantangan utama. Obat
mujarapnya hanya Satu. Biasakan diri mencatat dan menuliskan apa yang dilihat,
apa yang diketahui dan apa yang
didengarkan titik. Seperti apa yang dilakukan Pendeta Leonard Woodward Warga
Negara Inggris, yang melegenda di kawasan Bumi Tadulako itu. Tentu anda dapat
menyimpulkan plus –minus, dari ke 3 (Tiga) contoh kasus Catatan Lapangan
tertulis diatas.
Untuk melengkapi kepiawian Letnan Kolonel Woodward. dikutip
salah Satu Catatan Lapangan, “ Rasul Orang Uma “ itu dalam buku hariannya: Pada
tanggal 1 Januari 1949 Leonard menulis dalam buku hariannya: Dengan bersyukur
kepada Allah selama Tahun 1948, yaitu tahun terakhir saya di Sulawesi Tengah,
Tuhan telah memperkenankan saya Memimpin sejumlah 246 Kumpulan, yang dihadiri
31.257 orang. Dan antaranya saya melihat 1548 jiwa yang bertelut dibangku
tobat. Saya menahbiskan 71 Prajurit, 86 rekrut dan 112 Prajurit Muda dan
menyerahkan 196 anak Kepada Tuhan. Terpujilah nama Allah.
Fakta dan data tertulis diatas
memang sederhana. Laporan Lapangan dalam catatan harian itu, tetapi dapat berkata banyak kepada para pembacanya. Bisa
berkata-kata sangat panjang, agak panjang dan panjang, pendek, lebih pendek dan
sangat pendek. Tergantung dari katamata dan sisi mana, kita memandang dan
mengamatinya. Realita itu juga dapat dijadikan menjadi sejenis bandingan. Apa
dan bagaimana kinerja, yang kita lakukan
bagi kemulian Tuhan. Melalui sikap diri dan jiwa melayani yang tertanam dalam
hidup ini. Baik bagi saudara dan kami, sebagai sesama Prajurit dan atau jemaat
biasa. Juga bagi anda yang ditunjuk dan dipercaya, sebagai Opsir Setempat, Penatua,
Diaken. Maupun bagi Bapak dan Ibu
sebagai Opsir, Pendeta, Hamba Tuhan, Pastor, Romo, Gembala Sidang dan sebutan
lain. Sebagai wujud janji dan penyerahan diri dan komitmen kepada Tuhan. Dari
laporan tertulis itu bisa berbicara banyak kepada khalayak ramai. Apa dan
bagaimana kehidupan pelayanan kita, dalam hidup yang singkat di dunia yang fana ini.
SERATUS TAHUN LAINNYA:
Jikalau pada tahun 1994 yang lalu
kita telah ber Kongres 100 Tahun
Pelayanan Bala Keselamatan di Indonesia. Dengan awal rintisan di Desa Sapuran
Purworejo, yang dimotori Staf Kapten
Jacob Gerrit Brouwer. Maka pada tahun
2013 ini, Warga Sulawesi Tengah merayakan jubelium 100 Tahun Bala
Keselamatan, dengan awal Pelayanan di Rowiga. Secara spesifik di Gereja pertama,
dengan nama Korps Mabere (?). Semula Korps atau Gereja itu berada di pinggir jalan Raya di Desa Sibedi.
Namun sejarah juga mencatat terpaksa di
pindahkan, ketika terjadi pergolakan diawal kemerdekaan. Lokasi Gereja kini
dibangun kearah gunung. Dengan fasilitas yang diberikan Komandan Divisi Palu
Barat, penulisdapat melihat lonceng
Gereja Pertama itu ber-tahun pembuatan 1905. Lonceng Gereja yang terbuat dari
Besi Baja, diproduksi di salah Satu
Negara di Eropa. Demikian penuturan
penih sepuh, Korps Mabere pada penulis baru-baru ini. Saat kami bersama beliau mengikuti
ibadah di Gereja bersejarah Korps
Pertama Bala Keselamatan di Bumi Tadulako itu.
Selanjutnya warga kawasan Pipikoro
akan merayakan tahun sempurna itu, pada tanggal 17 Oktober 2017. Karena tanggal
dan Bulan itu dilakukan peresmian Korps atau Gereja Kantewu dan sekaligus
Pembukaan Sekolah Rakyat. Dengan demikian rintisan Kapten Leonard Woodward, di
daerah unggulan pelayanan Bala Keselamatan itu, sudah berusia 96 (Sembilan Puluh
Enam) Tahun, hingga saat CATATAN PINGGIR
ini dilansir {Herman D Rigo}.
Khusus untuk dataran Lindu penulis
mendapatkan 2 (dua) data yang berbeda,pada dokumen tertulis dalam buku-buku
diatas (?).Di Daerah Taman Nasional dan Hutan Lindung yang kita kenal dewasa ini. Bala Keselamatan
mulai melayani pada Tahun 1926. Sementara menurut versi Bapak Lewi Tarua Prajurit Bala Keselamatan di
Korps Tomado. Dia menyampaikan secara
tertulis kepada kami. Fakta yang
diperolehnya dari penuturan langsung kalangan tua-tua disana. Dinyatakan
pelayanan Bala Keselamatan di Dataran Lindu
dimulai pada tahun 1916. Terdapat interval atau jedah waktu 10 Tahun,
diantara dua fakta itu. Realita yang perlu diklarifikasi dan dikaji ulang, oleh para Sejarawan Bala Keselamatan.
Sehingga secara pasti warga kita disana, khususnya generasi berikut mendapat
kepastian. Kapan sebenarnya hari bersejarah 100 tahun Bala Keselamatan itu
dimulai disana . Jika secara khusus di distrik Lindu itu dilakukan, Kongres
Bala Keselamatan 200 Tahun yang akan datang.
Untuk Wilayah Distrik Palolo.akan
merayakan pada tahun yang sama, yaitu
tahun 2017. Sebagaimana data yang terbaca dihitung sejak dibuka pelayanan pertama di
Desa Kapiroe pada tahun1917 yang lalu. Sementara itu warga kota Palu dan
sekitarnya, akan ber Kongres 100 Tahun Bala Keselamatan pada tahun 2026. Yaitu 13 tahun kemudian
setelah masa perintisan awal di daerah Rowiga. Atau 9 Tahun setelah dibuka
pelayanan Bala Keselamatan di Kantewu. Selanjutnya Kongres 100 Tahun yang “
Bersifat lebih lokal ”. Baik di Tingkat
Korps atau Gereja dan atau Distrik di
Bumi Tadulako lainnya, Silahkan saudara pelajari, kaji dan amati dari data tertulis dan fakta lain yang dapat
dipertanggungjawabkan, Dimana saudaraku
berdomisili dan terdaftar sebagai Jemaat
atau Prajurit sebuah
Korps atau Gereja.
PANDANGAN DAN SARAN :
Seturut dengan Kongres Akbar Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah di atas,
dikaitkan dengan rencana kehadiran dan kunjungan Jenderal Pemimpin Tertinggi
Bala Keselamatan se Dunia itu. Sekiranya
Kantor Pusat Teritorial dan Panitia Pusat Peringatan Hari Ulang Tahun se Abad
Bala Keselamatan diatas, dapat mempertimbangkan
sesuatu yang terkait dengan Sejarah awal perintisan Bala Keselamatan di
Tanah Kaili ini. Kami sarankan Bala Kita perlu melakukan, dan berbuat sesuatu
yang anggun dan terhormat. Yaitu memberi sejenis: Piagam Penghargaan, dari
Pimpinan Internasional kepada a). Raja
Parampasi Almarhum. Atas Keputusan Baginda yang fundamental, abadi dan bersahabat kepada Bala Keselamatan. Suatu
keadaan yang hingga kini boleh kita nikmati, dan rasakan sebagai warga Bala
Tuhan disana. Begitu juga Keturunan dan Kaum Kerabat Raja Parampasi, hingga
saat ini masih memegang teguh, “Nilai Persahabatan” yang dirintis dan
diletakkan Kakek-Buyut mereka.
Kepada b). Abdul Azis Lamadjido, SH.
{Pak Azis atau Pak Lamadjido, panggilan dan sebutan sehari-hari}. Mantan Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Donggala 2 (Dua) Periode. Sekaligus mantan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Propinsi Sulawesi Tengah. Para Opsir Perintis Pribumi dan Opsir Senior, yang pernah bertugas dan
melayani di Sulawesi Tengah sangat faham dengan maksud dan niatan ini. Mereka
sangat merasakan bagaimana perhatian dan kerjasama, yang digalang Pak Lamadjido
dan jajarannya dengan Bala Keselamatan, semasa jadi Pimpinan di Kedua Tingkatan
Pemerintahan yang berbeda itu.
Khusus rasa hormat untuk Pak
Lamadjido, tidak ada niat kami untuk memperbandingkan antara pejabat sebelum
dan sesudahnya. Tetapi semata-mata dengan pertimbangan rasa hormat dan nilai
persahabatan semata-mata. Sebagaimana yang kami fahami dari selogan
Internasional The Salvation Army: Heart to God and Hand to Man. Bukankah
selayaknya Warga Bala di negeri ini, yang pertama-tama mewujudyatakan gagasan
Pendiri Bala Keselamatan Jnederal William Booth itu ?.
Pandangan dan pemikiran diatas kami
serap dan rekam dari berbagai stakeholder disana. Dalam banyak kesempatan, baik
ketika ketemu di Jakarta. Maupun dalam berbagai kesempatan saat kami berkunjung
ke Palu. Berbicara dengan sejumlah Opsir
Senior, mantan dan pejabat Daerah yang kebetulan Prajurit Bala, Tokoh
Masyarakat, Orang Tua dan Prajurit Bala Keselamatan lainnya {Sebagian dari mereka, telah Naik Kekemulian
Tuhan}. Tentang pemikiran, pemahaman nilai kebangsaan dan toleransi dari ke 2
{Dua} Tokoh kawakan itu. Walau ke 2
(Dua) orang Punggawa itu, hidup dalam
zaman dan generasi yang berbeda. Penghargaan dari Jenderal dapat diberikan,
kepada keturunan dan ahli waris sah, dari ke 2 {dua} tokoh yang layak kita beri
hormat itu.
PENUTUP :
Sebagai akhir dari artikel ini,
penulis mencatat dialog singkat penulis
dengan putra kami Tarsis, didepan
Komputer saat artikel ini hampir selesai
digoreskan. Dia penasaran ketika membaca dan membantu kami mengoreksi goresan
ini. Anak ketiga kami itu bertanya
Inikan : “CATATAN PINGGIR, dimana CATATAN UTAMA” Papa?. Tanya Nya dengan wajah serius.
“Biarkanlah Prajurit dan warga Bala Keselamatan, diseantero Bumi Tadulako itu
yang menuliskannya. Dibantu oleh Saudara Mama Mu [Opa-Oma, Om dan Tante dan
Kakak-Kakak Sepupu Mu}di Palu sana. Kita
berharap tahun depan, mereka dapat sajikan kepada peminat Majalah Berita
Keselamatan ini. Untuk kita baca dan ulas bersama Bang”, Jawab penulis sebutan
untuk anak Ketiga kami itu dengan senyum. Bagaimana pandangan Saudara ?. Sukses
untuk anda. {N 4 }
***Penulis: Pengamat Sosial dan Kemasyarakatan, berdomisili di Pinggiran Ibukota dan Alumni Pascasarjana Sekolah Tinggi Theologi Jakarta. dapat dihubungi di monas_ku@yahoo .co.id
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar