Minggu, 15 Juni 2025
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Pengertian Restorative Justice, Dasar Hukum, Syarat, dan Penerapannya
RESTORATIVE justice atau keadilan
restoratif adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk
menyelesaikan perkara pidana dengan cara yang berbeda dari sistem peradilan
pidana konvensional. Pendekatan ini telah diadopsi oleh beberapa lembaga
penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) melalui
berbagai kebijakan dan praktiknya.
Konsep restorative justice mengarahkan
perhatian pada pemulihan dan rekonsiliasi sebagai solusi yang lebih baik
daripada hukuman yang hanya berfokus pada penghukuman pelaku. Pendekatan ini
mempromosikan dialog dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana, termasuk pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
masyarakat yang terkena dampaknya.
Tujuan utama dari restorative
justice adalah mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak
yang terlibat dalam kasus kriminal. Dalam proses ini, pemulihan kembali pada
keadaan semula dan membangun kembali pola hubungan yang baik dalam masyarakat
menjadi hal yang sangat diutamakan.
Dasar Hukum Restorative
Justice
Pemahaman hukum restorative
justice didasarkan pada sejumlah peraturan berikut ini:
1. Pasal 310 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
2. Pasal 205 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP)
3. Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 yang membahas Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
4. Nota Kesepakatan Bersama yang
ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui berbagai
nomor surat yang mencakup aspek pelaksanaan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan, Acara Pemeriksaan Cepat, dan Penerapan Restorative Justice pada tanggal
17 Oktober 2012.
5. Surat Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 yang mengatur Penyelesaian Tindak Pidana
Ringan.
6. Peraturan Polri Nomor 8 Tahun
2021 yang membahas Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
7. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15
Tahun 2020 yang mengatur Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan
Restoratif.
Peraturan-peraturan tersebut
mengatur penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice
khususnya untuk tindak pidana ringan yang mencakup pasal-pasal tertentu dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pendekatan ini bertujuan untuk
mencapai kesepakatan yang mengedepankan pemulihan, dialog, dan rekonsiliasi
antara pelaku, korban, serta pihak-pihak terkait, dan berfokus pada
penyelesaian perkara secara adil.
Syarat Restorative
Justice
Beberapa syarat yang harus
dipenuhi untuk menerapkan restorative justice adalah:
1. Kasus tindak pidana pertama
kali.
2. Kerugian yang disebabkan oleh
tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).
3. Adanya kesepakatan antara
pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.
4. Ancaman pidana yang dijatuhkan
hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
5. Tersangka mengembalikan barang
yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
6. Tersangka mengganti kerugian
yang dialami oleh korban.
7. Tersangka juga harus mengganti
biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh tindak pidana.
Menurut Peraturan Jaksa Agung
Nomor 15 Tahun 2020, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan restorative justice:
1. Pelaku tindak pidana hanya
boleh baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum.
2. Kerugian yang timbul akibat
tindak pidana harus kurang dari Rp 2,5 juta.
3. Terdapat kesepakatan antara
pelaku dan korban terkait penyelesaian perkara.
4. Tindak pidana yang dilakukan
pelaku hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara dengan ancaman
tidak lebih dari 5 tahun.
5. Pelaku harus mengembalikan
barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
6. Pelaku wajib mengganti kerugian
yang dialami oleh korban.
7. Pelaku juga harus mengganti
biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang
diakibatkan oleh tindak pidana.
Namun, penting untuk diingat
bahwa penyelesaian perkara dengan restorative justice tidak berlaku untuk
kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat
Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan
wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan. Selain itu, restorative justice
juga tidak diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimal, tindak
pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi.
Pedoman Restorative
Justice
Dalam pelaksanaan restorative
justice, terdapat beberapa pedoman yang perlu diikuti:
1. Setelah menerima permohonan
perdamaian dari kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai,
dilakukan penelitian administrasi untuk memeriksa syarat formil penyelesaian
perkara melalui restorative justice.
2. Permohonan perdamaian yang
telah memenuhi persyaratan formil diajukan kepada atasan penyidik untuk
mendapatkan persetujuan.
3. Setelah mendapatkan
persetujuan dari atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, atau Kapolres,
selanjutnya menunggu penentuan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan
perdamaian.
4. Dilakukan konferensi yang
menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terlibat.
5. Dibuat nota dinas kepada pengawas
penyidik atau Kasatker terkait permohonan pelaksanaan gelar perkara khusus
dengan tujuan penghentian perkara.
6. Dilaksanakan gelar perkara
khusus dengan peserta yang mencakup pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor
dan/atau keluarga terlapor, serta perwakilan masyarakat yang ditunjuk oleh
penyidik. Dalam gelar perkara, juga melibatkan penyidik yang menangani dan
perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum serta unsur
pemerintahan jika diperlukan.
7. Disusun kelengkapan administrasi
dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil dari gelar perkara.
8. Diterbitkan surat perintah
penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian
penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.
9. Pada tahap penyelidikan,
penyelidik akan menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur
Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.
10. Semua proses ini dicatat
dalam buku register baru B-19 sebagai bagian dari penyelesaian perkara melalui
restorative justice.
Penerapan Restorative
Justice
Penerapan Restorative Justice
adalah proses penggunaan pendekatan restoratif dalam menangani kasus-kasus
tindak pidana atau peristiwa yang menyebabkan kerugian. Pendekatan ini
bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi dan pemulihan melalui dialog terbuka dan
respon positif antara korban, pelaku, dan masyarakat yang terpengaruh.
Di bawah ini terdapat beberapa
contoh penerapan Restorative Justice:
1. Sistem Peradilan Anak
Restorative Justice telah
diterapkan dalam sistem peradilan anak untuk membantu anak-anak yang melakukan
tindak pidana agar berubah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Pendekatan
ini lebih berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan daripada hanya memberlakukan
hukuman.
2. Mediasi atau Pertemuan
Restoratif
Dalam beberapa kasus kriminal,
mediator atau fasilitator dapat membantu mengatur pertemuan antara korban dan
pelaku untuk membahas akibat dari tindakan kriminal dan mencari solusi yang
dapat mengembalikan keseimbangan.
3. Program Restoratif dalam
Lembaga Pemasyarakatan
Beberapa lembaga pemasyarakatan
di Indonesia telah mencoba menerapkan program-program restoratif, terutama
untuk tahanan pemuda. Program ini bertujuan membantu tahanan memahami konsekuensi
dari tindakan mereka dan mencari cara untuk berdamai dengan korban serta
masyarakat.
4. Alternatif Pemidanaan
Dalam beberapa situasi,
pengadilan dapat memutuskan untuk memberlakukan alternatif pemidanaan yang
menggabungkan elemen-elemen restoratif, seperti permintaan maaf, restitusi,
atau pelayanan masyarakat.
5. Pengembangan Kebijakan Publik
Restorative Justice juga dapat
diimplementasikan melalui pengembangan kebijakan publik yang mendorong
pendekatan restoratif dalam penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus tindak
pidana.
6. Program di Sekolah
Dalam konteks pendidikan,
pendekatan restoratif dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi konflik
antara siswa atau melibatkan siswa dalam proses penyelesaian masalah dan
perdamaian.
Sumber : DISINI
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Hukum Adat di Sulawesi
Hukum Adat di Sulawesi:
Hukum adat di Sulawesi juga
memiliki keunikan tersendiri, tergantung pada suku dan wilayahnya. Secara umum,
hukum adat di Sulawesi mengatur tentang kepemilikan tanah, pengelolaan sumber
daya alam, perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa. Masyarakat adat di
Sulawesi memiliki sistem sosial yang kompleks, yang tercermin dalam hukum adat
mereka.
Dalam hal penyelesaian sengketa, hukum adat Sulawesi mengenal sistem perdamaian adat, yaitu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dan mediasi yang melibatkan tokoh adat dan anggota masyarakat. Tujuan dari perdamaian adat adalah untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memulihkan hubungan baik antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tantangan dan Peluang
Hukum Adat di Era Modern
Di era modern ini, hukum adat
menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Salah satu tantangan utama adalah
pengakuan dan perlindungan hukum adat oleh negara. Meskipun UUD 1945 mengakui
keberadaan hukum adat, namun implementasinya masih belum optimal. Banyak peraturan
perundang-undangan yang belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat,
sehingga seringkali terjadi konflik antara hukum adat dan hukum positif.
Selain itu, hukum adat juga
menghadapi tantangan dari arus globalisasi dan modernisasi. Perubahan sosial
dan budaya yang cepat dapat menggerus nilai-nilai dan tradisi adat, sehingga
hukum adat kehilangan relevansinya. Generasi muda juga semakin kurang tertarik
untuk mempelajari dan melestarikan hukum adat, sehingga keberlanjutannya
terancam.
Namun demikian, hukum adat juga
memiliki peluang yang besar untuk berkembang di era modern. Kesadaran akan
pentingnya kearifan lokal dan identitas budaya semakin meningkat, sehingga
hukum adat semakin dihargai dan diakui. Banyak organisasi masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat yang aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat
dan melestarikan hukum adat.
Selain itu, hukum adat juga dapat
menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai keadilan
restoratif, musyawarah, dan gotong royong yang terkandung dalam hukum adat
dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional untuk menciptakan sistem
hukum yang lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Upaya Pelestarian dan
Pengembangan Hukum Adat
Pelestarian dan pengembangan
hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, baik
pemerintah, masyarakat adat, maupun masyarakat umum. Pemerintah perlu
memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hukum
adat, serta mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum nasional. Masyarakat adat
perlu terus melestarikan dan mengembangkan hukum adat mereka, serta
mewariskannya kepada generasi muda.
Beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan hukum adat antara lain:
1. Dokumentasi dan Publikasi
Hukum Adat:
Hukum adat perlu didokumentasikan
dan dipublikasikan secara luas agar dapat diakses oleh masyarakat umum.
Dokumentasi dapat dilakukan melalui penelitian, wawancara, dan pengumpulan data
dari berbagai sumber. Publikasi dapat dilakukan melalui buku, artikel, website,
dan media sosial.
2. Pendidikan dan Sosialisasi
Hukum Adat:
Hukum adat perlu diajarkan dan
disosialisasikan kepada generasi muda agar mereka memahami dan menghargai
nilai-nilai dan tradisi adat. Pendidikan dapat dilakukan melalui kurikulum
sekolah, pelatihan, dan seminar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media
massa, kegiatan budaya, dan forum-forum diskusi.
3. Penguatan Lembaga Adat:
Lembaga adat perlu diperkuat agar
dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat
adat dan menyelesaikan sengketa. Penguatan dapat dilakukan melalui peningkatan
kapasitas sumber daya manusia, pemberian dukungan finansial, dan pengakuan
legalitas lembaga adat.
4. Pengembangan Hukum Adat yang
Adaptif:
Hukum adat perlu dikembangkan
agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Pengembangan dapat dilakukan melalui reinterpretasi nilai-nilai adat, adaptasi
aturan-aturan adat, dan integrasi dengan hukum positif.
5. Kerjasama dan Kemitraan:
Pelestarian dan pengembangan
hukum adat membutuhkan kerjasama dan kemitraan antara berbagai pihak, termasuk
pemerintah, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya
masyarakat, dan perguruan tinggi. Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan
melalui berbagai program dan kegiatan yang saling mendukung.
Kesimpulan
Hukum adat merupakan bagian
integral dari sistem hukum Indonesia yang kaya dan beragam. Ia mencerminkan
identitas dan kearifan lokal yang unik dari setiap daerah di Indonesia.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, hukum adat memiliki
peluang yang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi
pembangunan hukum nasional. Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan
tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, demi terwujudnya masyarakat yang
adil, makmur, dan berbudaya.
Dengan memahami dan menghargai hukum adat, kita dapat memperkuat identitas bangsa, melestarikan budaya lokal, dan membangun sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hukum adat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset berharga untuk masa depan Indonesia.