TUGU NOSARARA NOSABATUTU

Berlibur Bersama Ibunya Anak-anak

BERSAMA CUCU

Bersama Cucu, Alzaidan Syahid ... berlibur.

BERSAMA IBU DAN ANAK

Berlibur bersama Anak dan Ibunya Anak-anak.

BERDUA

Entah Apa Yang Direnungkan Waktu itu ...

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

IBU, ANAK dan KEMENAKAN

Fitri dan Mamanya, bersama Azizah .

BERSAMA CUCU, ANAK dan KEMENAKAN

Alzaidan Syahid bersama Fitri dan Azizah.

IBU dan ANAK serta KEMENAKAN

Fitri Fajarwati dan Mamanya bersama Azizah.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

NENEK dan CUCU

Alzaidan Syahid bersama Mamatuanya.

Minggu, 15 Juni 2025

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA




Pengertian Restorative Justice, Dasar Hukum, Syarat, dan Penerapannya

 


RESTORATIVE justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara yang berbeda dari sistem peradilan pidana konvensional. Pendekatan ini telah diadopsi oleh beberapa lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) melalui berbagai kebijakan dan praktiknya.

Konsep restorative justice mengarahkan perhatian pada pemulihan dan rekonsiliasi sebagai solusi yang lebih baik daripada hukuman yang hanya berfokus pada penghukuman pelaku. Pendekatan ini mempromosikan dialog dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, termasuk pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat yang terkena dampaknya.

Tujuan utama dari restorative justice adalah mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus kriminal. Dalam proses ini, pemulihan kembali pada keadaan semula dan membangun kembali pola hubungan yang baik dalam masyarakat menjadi hal yang sangat diutamakan.

 

Dasar Hukum Restorative Justice

Pemahaman hukum restorative justice didasarkan pada sejumlah peraturan berikut ini:

1. Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 yang membahas Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

4. Nota Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui berbagai nomor surat yang mencakup aspek pelaksanaan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, Acara Pemeriksaan Cepat, dan Penerapan Restorative Justice pada tanggal 17 Oktober 2012.

5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 yang mengatur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.

6. Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 yang membahas Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

7. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

Peraturan-peraturan tersebut mengatur penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice khususnya untuk tindak pidana ringan yang mencakup pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang mengedepankan pemulihan, dialog, dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, serta pihak-pihak terkait, dan berfokus pada penyelesaian perkara secara adil.

 

Syarat Restorative Justice

Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice adalah:

1. Kasus tindak pidana pertama kali.

2. Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).

3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.

4. Ancaman pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

5. Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.

6. Tersangka mengganti kerugian yang dialami oleh korban.

7. Tersangka juga harus mengganti biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Menurut Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan restorative justice:

1. Pelaku tindak pidana hanya boleh baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum.

2. Kerugian yang timbul akibat tindak pidana harus kurang dari Rp 2,5 juta.

3. Terdapat kesepakatan antara pelaku dan korban terkait penyelesaian perkara.

4. Tindak pidana yang dilakukan pelaku hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara dengan ancaman tidak lebih dari 5 tahun.

5. Pelaku harus mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.

6. Pelaku wajib mengganti kerugian yang dialami oleh korban.

 

7. Pelaku juga harus mengganti biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

 

Namun, penting untuk diingat bahwa penyelesaian perkara dengan restorative justice tidak berlaku untuk kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan. Selain itu, restorative justice juga tidak diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

 

Pedoman Restorative Justice

Dalam pelaksanaan restorative justice, terdapat beberapa pedoman yang perlu diikuti:

1. Setelah menerima permohonan perdamaian dari kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai, dilakukan penelitian administrasi untuk memeriksa syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative justice.

2. Permohonan perdamaian yang telah memenuhi persyaratan formil diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.

3. Setelah mendapatkan persetujuan dari atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, atau Kapolres, selanjutnya menunggu penentuan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.

4. Dilakukan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.

5. Dibuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker terkait permohonan pelaksanaan gelar perkara khusus dengan tujuan penghentian perkara.

6. Dilaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta yang mencakup pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, serta perwakilan masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik. Dalam gelar perkara, juga melibatkan penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum serta unsur pemerintahan jika diperlukan.

7. Disusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil dari gelar perkara.

8. Diterbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.

 

9. Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.

10. Semua proses ini dicatat dalam buku register baru B-19 sebagai bagian dari penyelesaian perkara melalui restorative justice.

 

Penerapan Restorative Justice

Penerapan Restorative Justice adalah proses penggunaan pendekatan restoratif dalam menangani kasus-kasus tindak pidana atau peristiwa yang menyebabkan kerugian. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi dan pemulihan melalui dialog terbuka dan respon positif antara korban, pelaku, dan masyarakat yang terpengaruh.

Di bawah ini terdapat beberapa contoh penerapan Restorative Justice:

1. Sistem Peradilan Anak

Restorative Justice telah diterapkan dalam sistem peradilan anak untuk membantu anak-anak yang melakukan tindak pidana agar berubah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Pendekatan ini lebih berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan daripada hanya memberlakukan hukuman.

2. Mediasi atau Pertemuan Restoratif

Dalam beberapa kasus kriminal, mediator atau fasilitator dapat membantu mengatur pertemuan antara korban dan pelaku untuk membahas akibat dari tindakan kriminal dan mencari solusi yang dapat mengembalikan keseimbangan.

3. Program Restoratif dalam Lembaga Pemasyarakatan

Beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mencoba menerapkan program-program restoratif, terutama untuk tahanan pemuda. Program ini bertujuan membantu tahanan memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan mencari cara untuk berdamai dengan korban serta masyarakat.

4. Alternatif Pemidanaan

Dalam beberapa situasi, pengadilan dapat memutuskan untuk memberlakukan alternatif pemidanaan yang menggabungkan elemen-elemen restoratif, seperti permintaan maaf, restitusi, atau pelayanan masyarakat.

5. Pengembangan Kebijakan Publik

Restorative Justice juga dapat diimplementasikan melalui pengembangan kebijakan publik yang mendorong pendekatan restoratif dalam penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus tindak pidana.

 

6. Program di Sekolah

Dalam konteks pendidikan, pendekatan restoratif dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi konflik antara siswa atau melibatkan siswa dalam proses penyelesaian masalah dan perdamaian.



Sumber : DISINI

 

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999




Hukum Adat di Sulawesi

 


Hukum Adat di Sulawesi:

Hukum adat di Sulawesi juga memiliki keunikan tersendiri, tergantung pada suku dan wilayahnya. Secara umum, hukum adat di Sulawesi mengatur tentang kepemilikan tanah, pengelolaan sumber daya alam, perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa. Masyarakat adat di Sulawesi memiliki sistem sosial yang kompleks, yang tercermin dalam hukum adat mereka.

Dalam hal penyelesaian sengketa, hukum adat Sulawesi mengenal sistem perdamaian adat, yaitu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dan mediasi yang melibatkan tokoh adat dan anggota masyarakat. Tujuan dari perdamaian adat adalah untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memulihkan hubungan baik antara pihak-pihak yang bersengketa.

Tantangan dan Peluang Hukum Adat di Era Modern

Di era modern ini, hukum adat menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Salah satu tantangan utama adalah pengakuan dan perlindungan hukum adat oleh negara. Meskipun UUD 1945 mengakui keberadaan hukum adat, namun implementasinya masih belum optimal. Banyak peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, sehingga seringkali terjadi konflik antara hukum adat dan hukum positif.

Selain itu, hukum adat juga menghadapi tantangan dari arus globalisasi dan modernisasi. Perubahan sosial dan budaya yang cepat dapat menggerus nilai-nilai dan tradisi adat, sehingga hukum adat kehilangan relevansinya. Generasi muda juga semakin kurang tertarik untuk mempelajari dan melestarikan hukum adat, sehingga keberlanjutannya terancam.

Namun demikian, hukum adat juga memiliki peluang yang besar untuk berkembang di era modern. Kesadaran akan pentingnya kearifan lokal dan identitas budaya semakin meningkat, sehingga hukum adat semakin dihargai dan diakui. Banyak organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat yang aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan melestarikan hukum adat.

Selain itu, hukum adat juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai keadilan restoratif, musyawarah, dan gotong royong yang terkandung dalam hukum adat dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Upaya Pelestarian dan Pengembangan Hukum Adat

Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, masyarakat adat, maupun masyarakat umum. Pemerintah perlu memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hukum adat, serta mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum nasional. Masyarakat adat perlu terus melestarikan dan mengembangkan hukum adat mereka, serta mewariskannya kepada generasi muda.

 

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan hukum adat antara lain:

1. Dokumentasi dan Publikasi Hukum Adat:

Hukum adat perlu didokumentasikan dan dipublikasikan secara luas agar dapat diakses oleh masyarakat umum. Dokumentasi dapat dilakukan melalui penelitian, wawancara, dan pengumpulan data dari berbagai sumber. Publikasi dapat dilakukan melalui buku, artikel, website, dan media sosial.

2. Pendidikan dan Sosialisasi Hukum Adat:

Hukum adat perlu diajarkan dan disosialisasikan kepada generasi muda agar mereka memahami dan menghargai nilai-nilai dan tradisi adat. Pendidikan dapat dilakukan melalui kurikulum sekolah, pelatihan, dan seminar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media massa, kegiatan budaya, dan forum-forum diskusi.

3. Penguatan Lembaga Adat:

Lembaga adat perlu diperkuat agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat adat dan menyelesaikan sengketa. Penguatan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemberian dukungan finansial, dan pengakuan legalitas lembaga adat.

4. Pengembangan Hukum Adat yang Adaptif:

Hukum adat perlu dikembangkan agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pengembangan dapat dilakukan melalui reinterpretasi nilai-nilai adat, adaptasi aturan-aturan adat, dan integrasi dengan hukum positif.

5. Kerjasama dan Kemitraan:

Pelestarian dan pengembangan hukum adat membutuhkan kerjasama dan kemitraan antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan yang saling mendukung.

Kesimpulan

Hukum adat merupakan bagian integral dari sistem hukum Indonesia yang kaya dan beragam. Ia mencerminkan identitas dan kearifan lokal yang unik dari setiap daerah di Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, hukum adat memiliki peluang yang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan hukum nasional. Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan berbudaya.

Dengan memahami dan menghargai hukum adat, kita dapat memperkuat identitas bangsa, melestarikan budaya lokal, dan membangun sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hukum adat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset berharga untuk masa depan Indonesia.



۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞