TRIBUN-TIMUR.COM - Konon di
Kerajaan Luwu, ada seorang pemuda benama Sawerigading, Ia adalah putra Raja
Luwu, Batara Lattu atau La Togeq Langiq.
Sang Raja mempunyai dua istri,
yaitu satu dari golongan manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu
Sengngeng, dan satu lagi berasal dari bangsa jin.
Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki bernama
Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Nama Sawerigading diambil dari
dua suku kata yakni Sawe yang artinya menetes (lahir) dan ri gading arinya di
atas bambu betung.
Jadi, sawarigading berarti
keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung.
Ketika Bataraguru, kakek
Sawerigading yang disebut sebagai keturunan dewa, pertama kali turun ke
bumi, ia ditempatkan di atas bambu
betung.
Berdasarkan ramalan Batara Guru
(ayah Raja Luwu), Sawerigading dan We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta
dan menikah.
Padahal menurut adat setempat,
seseorang sangat pantang menikahi saudara kandung sendiri.
Agar tidak melanggar adat
tersebut, Raja Luwu pun membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah.
Ia menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng istana sejak
masih bayi.
Waktu terus berjalan.
Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan We
Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Namun, sepasang anak kembar
tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading
bersama sejumlah pengawal istana diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri
Taranati (Ternate) untuk mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para
pangeran.
Namun sebenarnya tujuan utama
Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate karena saudara kembarnya We
Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu dalam sebuah upacara umum, yang tentu
saja tidak boleh dihadirinya karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We
Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri
Ternate, Sawerigading mendapat kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia
mempunyai saudara kembar yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget
mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai
saudara kembar perempuan?” tanya Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu
bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan dan dipelihara di atas loteng istana sejak
masih kecil,” ungkap pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate,
Sawerigading langsung mencari saudara kembarnya yang disembunyikan di atas
loteng istana.
Tak pelak lagi, Sawergading
langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu dan memutuskan untuk
menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang mengetahui rahasia keluarga istana
tersebut terbongkar segera memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap
pendamping hidup untuk saling menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi,
perlu kamu ketahui bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan
terbesar dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!” bujuk Raja Luwu
Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya
tersebut tidak menyurutkan niat Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun,
akhirnya Sawerigading mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di
Negeri Cina (bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina!
Kita mempunyai saudara sepupu yang bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita
bahwa aku dan We Cudai bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan
perawakan We Cudai sama benar dengan adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu
Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran
kata-katanya, We Tenriabeng memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan
cincinnya kepada Sawerigading. We Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya
tidak benar, ia berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama
panjang dengan rambut We Cudai, gelang dan cincin ini tidak cocok dengan
pergelangan dan jarinya, aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We
Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun
bersedia berangkat ke Negeri Cina, walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada
orang tuanya karena tidak diizinkan menikahi adiknya.
Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu welΓ©rΓ©nngΓ©
(kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan ombak besar di tengah
laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi
keinginanmu memperistri We Cudai, besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang
pohon welΓ©rΓ©nngΓ© raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara
Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah
Sawerigading ke tempat yang dimaksud ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu,
ia pun segera menebang pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan
pangkalnya telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh.
Namun, hal itu tidak membuatnya
putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading kembali menebang pohon ajaib itu,
tapi hasilnya tetap sama. Kejadian aneh ini terulang hingga tiga hari
berturut-turut. Sawerigading pun mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan
apa gerangan penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati
abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng secara diam-diam pergi ke hulu
Sungai Saqdan.
Sungguh ajaib! Hanya sekali
tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu yang dimilikinya, We
Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu menjadi sebuah perahu layar yang
siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading
kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pohon
welΓ©rΓ©nngΓ© raksasa yang tak kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah
menjadi sebuah perahu layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua
ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku
memikirkan siapa yang telah membantuku membuat perahu layar ini. Yang pasti aku
harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke
Negeri Cina,” pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah
pengawal dan perbekalan yang diperlukan, berangkatlah Sawerigading bersama
rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui
berbagai tantangan dan rintangan seperti hantaman badai dan ombak serta
serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang
Mahakuasa, Sawerigading bersama pasukannya berhasil melalui semua rintangan
tersebut dan selamat sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina,
Sawerigading mendengar kabar bahwa We Cudai telah bertunangan dengan seorang
pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan
niatnya untuk melihat langsung kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun
memutuskan untuk menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam).
Untuk memenuhi penyamarannya, ia
harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai tumbal. Pada mulanya, orang oro
yang akan dijadikan tumbal tersebut mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya
dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading
membujuknya dengan tutur kata yang halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia
memenuhi permintaannya. Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana
sebagai oropedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai
dan We Tenriabeng bagai pinang dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar
serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We
Cudai, Sawerigading segera mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun
diterima oleh keluarga istana Kerajaan Cina.
Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk mengusut siapa
sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati
perahu layar Sawerigading yang tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat
itu para pengawal Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi.
Utusan itu ketakukan saat melihat
tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan mengira bahwa wujud
Sawerigading serupa dengan mereka.
Ia pun segera kembali ke istana
untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai. Mendengar kabar tersebut, We
Cudai pun berniat untuk membatalkan pernikahannya dan mengembalikan semua mahar
Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar
buruk tersebut segera menghapus penyamarannya sebagai orangoro dan mengenaikan
pakaian kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di istana,
ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan
nama Ananda Sawerigading Putra Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan.
Ananda datang menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan
mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu adalah putra dari saudaraku itu?” tanya
Raja Cina.
Sawerigading pun segera
memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin pemberian We Tenriabeng
kepada Raja Cina seraya menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia
bisa sampai ke Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya
bahwa kamu adalah keponakanku. Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku
bahwa ia mempunyai anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan
perawakaannya serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya,
Raja Cina segera memanggil putrinya untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai
pun datang dan duduk di samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang
duduk di hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak lain adalah
Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda
memanggil Ananda?” tanya We Cundai tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah!
Sesungguhnya orang yang melamarmu beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu
sendiri. Namanya Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini dengan
panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta Raja Cina seraya
memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan
gelang dan cincin tersebut, maka semakin yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading
benar-benar keponakannya. Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan
oleh We Cudai. Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We
Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu
bersedia menerima kembali lamaran Sawerigading untuk mempererat tali
persaudaraan kita dengan keluarga Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja
Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda
merestui, Ananda bersedia menikah dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena
sebelumnya mengira Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja
Cina mendengar jawaban putrinya itu. Demikian pula yang dirasakan Sawerigading
karena lamarannya diterima.
Dengan perasaan bahagia, ia
segera kembali ke kapalnya untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para
pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang
ada di perahu ke istana untuk keperluan pesta.
Tiga hari kemudian, pesta
pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap rakyat Negeri Cina
turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading
dan We Cudai dikaruniai oleh seorang anak dan diberi nama La Galigo.
Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya. Suatu hari,
ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk mengunjungi mertuanya.
Mulanya, Sawerigading menolak
ajakan istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah menolak
keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena istrinya terus
mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah
sepasang suami istri itu bersama beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu.
Akan tetapi, mereka tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih
bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading
bersama rombongannya kembali menemui banyak rintangan. Perahu yang mereka
tumpangi hampir tenggelam di tengah laut karena dihantam badai dan gelombang
besar. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Nengeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya
Sawerigading bersama istrinya tinggal di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa
di Tanah Jawa berkembang ajaran agama Islam.
Sawerigading pun segera
memerintahkan pasukannya untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang
terjadi setelah pasukannya tiba di Tanah Jawa?
Rupanya, mereka bukannya
memerangi penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap di Tanah
Jawa.
Sementara anggota pasukan lainnya
kembali ke Negeri Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam.
Karena kesal atas penghianatan
pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam, Sawerigading bersama istrinya
memutuskan untuk kembali ke Negeri Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan
kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri
Cina, kapal yang mereka tumpangi karam di tengah laut. Konon, pasangan suami
istri tersebut menjadi penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut). (*)
Artikel ini telah tayang di
Tribun-Timur.com dengan judul Kisah Sawerigading, Putra Raja Luwu yang Berniat
Menikahi Adik Kandungnya Sendiri,
https://makassar.tribunnews.com/2022/07/22/kisah-sawerigading-putra-raja-luwu-yang-berniat-menikahi-adik-kandungnya-sendiri?page=all.
0 comment:
Posting Komentar