La Galigo
ialah sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Lebih panjang daripada epik
India, Mahabarata, dan Ramayana. Juga nisbi lebih panjang daripada epik Yunani,
Homerus. Sayangnya popularitas La Galigo di tanah air masih kurang dibandingkan
epik India. Padahal bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut agama lokal,
kepercayaan Tolotang, posisi La Galigo sebenarnya ialah kitab suci mereka.
Indonesia tak sedikit memiliki
kekayaan warisan budaya tulis yang bernilai tinggai. Bukan saja bernilai
historis, tak sedikit naskah tua yang juga bernilai susastra yang artistik dan
bahkan sarat nilai-nilai spiritual atau keagamaan.
Sebutlah, salah satunya ialah La
Galigo. Sering dikenal dengan nama lain, Sureq Galigo. Atau kadang juga hanya
disebut Galigo. Kitab kuno berbentuk puisi ini berisi mitos penciptaan dari
peradaban Bugis. Bahkan bagi sebagian masyarakat Bugis yang masih menganut
agama lokal, yakni kepercayaan Tolotang, posisi La Galigo ialah kitab suci.
Bukan saja apa yang tertuang
dalam kitab itu sering dianggap benar-benar pernah terjadi, bahkan bagi
penganut agama lokal itu pembacaan La Galigo juga harus disertai ritual.
Sebelum dibaca harus ada persembahan, sesaji, dupa, pemotongan ayam, atau
kambing. Laiknya kitab suci bagi para pemeluk agama secara “tradisional”,
merekapun yakin membaca fragmen kisah-kisah La Galigo ialah sinonin berdoa.
Konon, fungsinya secara magis bisa menjadi “obat” beragam penyakit, menjadi
tolak bala, dan lainnya.
Berbentuk puisi epik, karya ini
awalnya berupa tuturan lisan. Namun memasuki paruh pertama abad 19, karya ini
mulai ditulis. Berbentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara. Komposisi bahasa
penyusun puisi ini dianggap indah. Berkualitas susastra tinggi. Menariknya,
tradisi pembacaan La Galigo dilakukan sembari dinyanyikan. Cara melagukan La
Galigo dalam bahasa Bugis disebut laoang atau selleang. Lazimnya dilakukan
dalam sebuah upacara adat. Jadi, sebenarnya bicara La Galigo, selain mewariskan
tradisi tulisan juga tradisi lisan.
Sayangnya, sejalan pudarnya
pengetahuan lokal perihal teks-teks kuno Bugis dan juga rendahnya tingkat
penguasaan masyarakat atas bahasa kuno dan aksara Lontara, maka kini jadi
ancaman tersendiri bagi upaya pewarisan khasanah La Galigo. Aksara Lontara
Bugis atau sering disebut dengan istilah lokal ‘ukiq sulappaq eppaq’ (huruf
segiempat), konon ialah turunan dari aksara Pallawa.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1550203700_Naskah_Tua.JPG"
style="height:182px; width:493px" />
Halaman Naskah Kuno Bugis La
Galigo Sumber: www.lontaraproject.com
Pun mungkin karena di masa lalu
proses pelestarian naskah-naskah Lontara dan La Galigo itu baik lisan maupun
tulisan secara tradisional cenderung hanya dilakukan oleh keberadaan Bissu,
yang mengemban fungsi kependetaan agama lokal Bugis. Sementara Bissu, sering
disimplifikasikan sebagai fenomena seorang transvestite atau transgender.
Implikasinya, dalam perkembangan masyarakat Bugis kontemporer, hal itu membuat
posisi dan fungsi sosial dari seorang Bissu menjadi termarginalisasikan.
Sejalan dengan terpinggirkannya posisi dan fungsi sosial Bissu ini, sedikit
banyak turut berdampak terpinggirkannya khasanah Lontara dan La Galigo.
Bermaksud mengantisipasi
hilangnya khasanah kuno ini, Indonesia dan Belanda berkolaborasi mengusulkan La
Galigo masuk daftar World Heritage di UNESCO. Kini sejak 2011 naskah kuno La
Galigo telah ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World.
Ini berarti semenjak 2011, kini
dan juga nanti ke depan, seluruh upaya pelestarian khasanah La Galigo bukan
saja hanya menjadi tanggung jawab masyarakat pewaris budaya Bugis secara
ekslusif yaitu keberadaan Bissu, tapi juga harus menjadi tanggung jawab negara
atau perintah selaku stake holder pengusul ke UNESCO.
Sejarah, Alur Narasi dan
Popularitas
Merujuk deskripsi UNESCO, La
Galigo disepakati berasal dari abad ke-14, sekalipun sebenarnya bisa jadi
usianya jauh lebih tua. Menariknya, sekalipun La Galigo bukanlah teks sejarah
karena aspek mitologis narasi itu terasa sangat kuat, tetapi teks ini diakui
oleh banyak ilmuwan memiliki pengaruh besar pada bagaimana sejarawan melihat
masa lalu peradaban Bugis. Khususnya, masyarakat Bugis di periode sebelum era
masuknya Islam.
Ditulis dalam format puisi bahasa
Bugis kuno, berupa sajak bersuku lima, naskah La Galigo menceritakan kisah
asal-usul manusia. Bercorak pra-Islam dan bersifat epik-mitologis. Merujuk buku
‘Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi Bottinna I La DΓ©wata Sibawa
I WΓ© Attaweq’ karya Andi Muhammad Akhmar (2018), struktur isi La Galigo ialah
bercerita tentang mitos penciptaan dunia dan penciptaan manusia atau asal-usul
manusia pertama yang mendiami dunia.
Tokoh utama La Galigo ialah
SawΓ©rigading, cucu Batara Guru. Cerita dimulai dari dunia yang kosong dan
turunnya Batara Guru ke bumi. Alkisah, manusia pertama ini turun di daerah Luwu
di utara Teluk Bone. Batara Guru, sebagai raja digantikan oleh anaknya, La
Tiuleng, dan bergelar Batara Lattu'.
La Tiuleng atau Batara Lattu’
punya anak kembar, yakni SawΓ©rigading dan WΓ© TenriabΓ©ng. Sengaja keduanya
dibesarkan terpisah. Sebagai saudara kembar mereka baru bertemu lagi saat
menginjak usia dewasa. SawΓ©rigading terpesona dan jatuh hati pada saudara kembarnya.
SawΓ©rigading pun berniat menikahi WΓ© TenriabΓ©ng.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1550204098_12121.JPG"
style="height:341px; width:452px" />
Naskah I La Galigo asli yang ada
di Museum I La Galigo Sumber: Istimewa
Rahasia keluarga yang selama ini
disimpan pun dibeberkan. Diceritakanlah kepada SawΓ©rigading, WΓ© TenriabΓ©ng
sejatinya ialah saudara kembarnya. Sementara itu, kawin saudara sedarah
diyakini bakal mendatangkan bencana. Mengikuti pola tabu inces yang nisbi
universal, cinta SawΓ©rigading jelas bertempuk sebelah tangan.
Kasih yang tak sampai ini
kemudian menghantar SawΓ©rigading pergi merantau ke daratan China. Di sana
SawΓ©rigading bertemu putri yang berwajah sama persis dengan saudari kembarnya.
Bernama WΓ© Cudaiq, anak seorang raja di daratan China. Setelah melewati
serangkaian kisah dan peristiwa, lahirlah anak laki-laki sebagai buah cinta dan
perkawinan mereka. Anak laki-laki inilah kemudian diberi nama ‘La Galigo’.
Sekembalinya SawΓ©rigading dan WΓ©
Cudaiq ke Luwuq, kerajaannya yang terdahulu, kapal yang dinahkodainya karam.
Mereka berdua lantas menjadi penguasa ‘dunia bawah’. Sedangkan saudari
kembarnya si-WΓ© TenriabΓ©ng naik ke alam dewa atau ‘dunia atas’. Tak berselang
lama setelah itu, semua manusia pertama itu dipanggil kembali pulang ke alam
Dewata. Meninggalkan La Galigo dan saudara lainnya di ‘dunia tengah’ dan
menjadi penguasa Luwuq.
Kembali merujuk Akhmar,
disebutkan La Galigo menjadi teks susastra yang populer karena beberapa
kekuatan atau kelebihan. Pertama, isi ceritanya terdiri puluhan episode
(tereng) dengan cara penulisan yang memiliki aturan sastra yang ketat. Isinya
antara lain memuat norma, konsep kehidupan, budaya, silsilah dewa-dewa, dan
asal usul orang Bugis.
Kedua, epos La Galigo juga
ditemukan dalam berbagai versi serta serpihan-serpihannya ditemukan di luar
Sulawesi Selatan seperti di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Kelantan, dan bahkan Trengganu (Semenanjung Melayu), dan lain-lain. Selain itu,
teks La Galigo cukup banyak tersebar di berbagai perpustakaan di negara-negara
Eropa maupun Amerika.
Ketiga, warisan budaya Bugis kuno
yang tertera di La Galigo hingga kini masih dilakukan dalam kehidupan
masyarakat Bugis sehari-hari, setidaknya dalam upacara adat mereka. Sebutlah
ritual mappaliliq, misalnya, yaitu upacara turun ke sawah. Juga masih terlihat
tradisi massureq atau maggaligo, yaitu melagukan syair La Galigo, di Kabupaten
Pangkajene, Sidenreng Rappang, Wajo, Soppeng, Barru, dan Luwu. Bahkan
sekelompok masyarakat di Kabupaten Sidenreng Rappang, yang dikenal sebagai
penganut kepercayaan Tolotang, menganggap dirinya sebagai pewaris spiritual
Bugis dan pengikut SawΓ©rigading.
Keempat, sejalan masuknya agama
Islam maka secara susastra muncul fenomena intertekstual. Ini terlihat pada La
Galigo versi ‘Bottinna I La DΓ©wata Sibawa WΓ© Attaweq. Unsur Islam ini mawujud
sebagai bentuk formula doa berbahasa Arab, menukil ayat Alquran, dan nama-nama
Asmaul Husna. Menariknya, masuknya unsur Islam tidak serta-merta menggeser
kepercayaan lama, melainkan cenderung disajikan berdampingan. Dengan begitu
pada cerita-cerita baru atau yang telah mendapatkan unsur-unsur baru, yaitu
Islam, tetap saja bisa dikatakan bahwa naskah-naskah ini menjadi bagian dari
warisan sastra La Galigo.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1550204527_Pertemuan_Tahunan_IMF_World_Bank_2018_101018_aez_22_compressed.jpg"
style="height:2699px; width:4049px" />Pementasan La Galigo di Nusa
Dua, Bali. Sumber foto: Antara Foto
Kelima, La Galigo menjadi
perhatian masyarakat dunia setelah Robert Wilson, seorang sutradara avant garde
terkenal dari Amerika Serikat, membawa teks ini ke panggung teater
internasional. Pertamakali dipentaskan di Singapura pada 20-23 Maret 2004.
Selang dua bulan kemudian dipentaskan ke negara-negara Eropa. Bermula dari Amsterdam
pada 12, 14, dan 15 Mei 2004; dilanjutkan ke Barcelona 20-23 Mei 2004; lanjut
di Madrid 30 Mei-2 Juni 2004; menyusul di Lyon Perancis pada 8-10 Juni 2004;
dan berakhir di Ravenna Italia pada 18-20 Juni 2004.
Pementasan teater La Galigo
berlanjut ke negeri Paman Sam. Berlangsung di kota New York pada 13-16 Juli
2004. Dua tahun lebih berselang, La Galigo dipentaskan di Indonesia, yakni di
Jakarta pada 10-12 Desember 2006. Dan barulah setelah melalang dunia hampir
tujuh tahun, La Galigo dibawa pulang dan dipentaskan di tanah kelahirannya
Makasar pada 23-24 April 2011. Pada tahun yang sama ini pulalah, UNESCO
menetapkan La Galigo sebagai Memory of the World dalam bentuk “pusaka
dokumenter” (dokumentary heritage).
Dan terakhir atau keenam, daya
tarik lain dari La Galigo ialah ukuran keseluruhan teks tersebut sangatlah
besar. Diperkirakan terdiri dari 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi.
UNESCO menggarisbawahi sebagai produk karya sastra yang paling produktif di
dunia. Merujuk Prof Nurhayati Rahman yang menukil pendapat Kern dan Sirtjo
Koolhof dikatakan, La Galigo ialah sebagai karya terpanjang di dunia. Lebih
panjang daripada epik India, yaitu Mahabarata dan Ramayana; juga lebih panjang
daripada epik Yunani, yaitu Homerus. (W-1)
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar