Perang Sigi (1905-1908)
Di Lembah Palu terjadi perlawanan
yang dilakukan oleh seorang tokoh bernama Karanja Lembah atau Toi Dompo.
Awalnya, yang memegang tampuk pemerintahan sebagai raja adalah Daeng Masiri.
Namun, dalam segala hal yang penting, Toi Dompo-lah yang banyak didengar,
termasuk sikap terhadap Belanda.
Sejak awal, Toi Dompo atau
Kerajalembah sangat benci pada Belanda. Ia menyarankan pada raja-raja di lembah
Palu dan sekitarnya agar menolak kedatangan pemerintah Belanda di Sulawesi
Tengah. Pengaruh Kerajalembah tidak terbatas pada golongan raja saja, tetapi
juga berpengaruh dan dicintai oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebenarnya, ia
juga masih keponakan dari Raja Daeng Masiri. Karena pengaruhnya yang besar dan
sikapnya yang keras pada Belanda, maka Belanda yang sudah menduduki
kerajaan-kerajaan pantai, seperti Kerajaan Palu, Kerajaan Parigi, Kerajaan
Banawa, dan Tawaeli bertekad menangkap dan membuang Kerajalembah alias Toi
Dompo ini.
Beliau mempunyai watak keras dan
sama sekali tidak mau mengadakan hubungan dengan Belanda. Bahkan, pada waktu
Kruijt dan Adriani mengadakan penelitian di wilayahnya (1897), Toi Dompo sudah
mulai curiga pada kedua orang itu dan tidak diizinkan lama-lama berada di
wilayah Sigi. Semua orang Barat tidak dipercayai dan dianggapnya datang untuk merampas
kemerdekaan dan kekuasaan kerajaan dan rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat
dipersiapkan untuk melawan karena diketahuinya cepat atau lambat pasti serangan
Belanda akan datang.
Sebelum Belanda datang ke
wilayahnya, Kerajalembah pernah mengundang madika-madika Palu, Tawaeli, Parigi,
Kulawi dan Tojo (raja Kolomboi yang semuanya masih merupakan keluarganya), guna
mengadakan pertemuan membicarakan persoalan kedatangan Belanda. Dalam pertemuan
itu, Karajalembah memberikan satu putusan: “Kita jangan tunduk kepada Belanda
dan harus menentang mati-matian terhadapnya.” Karena sejak dari nenek moyang
kita, kita tak pernah melihat bangsa Belanda, apalagi datang memerintah di
wilayah kita”. Akan tetapi, ada yang membocorkan keputusan itu keluar
(melaporkan kepada Belanda).
Pada waktu Belanda menduduki
dengan kekerasan pantai penggaraman Talise, Kerajalembah turun dengan
pasukannya untuk mengusir pasukan Belanda itu, hingga terjadi pertempuran.
Kekuatan Belanda ketika itu kecil, sehingga mereka terpaksa mundur kembali ke
Donggala. Kebenciannya pada Belanda merembet pula sampai kepada
pengikut-pengikut kaki tangan Belanda. Karajalembah Toi Dompo menginstruksikan
pada rakyatnya jika perlu pengikut-pengikut Belanda dibunuh saja. Terlaksana
dengan pembunuhan seorang juru tulis yang bekerja pada Belanda di Tanaboa
(Parigi) serta merampas harta benda Belanda di Tanaboa. Juga terjadi pembunuhan
terhadap seorang opzichter (mandor jalan) di Bora.
Belanda merencanakan menyerbu
Sigi dari tiga arah, yakni dari Palu, Parigi, dan Poso. Untuk persiapan itu,
maka ketiga tempat itu dikuasainya lebih dahulu. Mengetahui kerajaan-kerajaan
Palu, Parigi, Donggala dan Tawaeli sudah jatuh ke tangan Belanda, maka Toi
Dompo menjadi sedih, tapi tekadnya tetap walau sendirian harus tetap melawan.
Untuk menyelidiki kekuatan Belanda di Loji Parigi, dikirimkannya kurir bernama
Palukota dan Mojo. Kurir ini berhasil kembali membawa lari seekor kuda pilihan
Belanda dan mengambil bintang jasa Vierde Kruis (bintang tanjung) dari
poshouder Belanda di Parigi yang bernama Ince Dahlan. Maksud pengambilan kuda
itu ialah agar Belanda terhalang mengadakan penyelidikan dan pengambilan
bintang jasa sebagai satu ajakan pada rakyat Parigi supaya bangkit melawan
Belanda.
Menghadapi sikap/tindakan Toi
Dompo ini, Belanda lalu menyiapkan pasukannya di Donggala, Parigi dan Poso.
Mereka yang dapat diperalatnya antara lain Inco Muhamad, Karaeng Putih,
Yojovuri, Mangge Cinco (Yahya), semuanya. tinggal di Palu dan Marakaili di
kampung Kalukubula. Mula-mula rencana Belanda untuk menangkap Toi Dompo dapat
dicegah oleh raja Tawaeli Jaelangkara alias Mangge Dompo karena ia menjadikan
dirinya sandera pada Belanda. Memang hanya Jaelangkara saja yang disegani oleh
Toi Dompo (Kerajalembah). Mereka berdua masih terpaut sebagai ipar. Namun
karena ternyata kemudian Jaelangkara pula yang membantu dan melindungi Malonda
(setelah berontak di Donggala), maka akhirnya Jaelangkara pun dicurigai Belanda
walaupun Tawaeli sudah dikuasainya. Jaelangkara, raja Rawaeli ini, akhirnya
dibunuh secara licik oleh kaki tangan Belanda ketika beliau memeriksa
perbatasan wilayahnya dengan perbatasan Wilayah Toli-Toli. Peristiwa ini
terjadi di pinggir pantai Baerumu (Sirenja) ketika ia kembali dari Toli-Toli.
Karena Belanda mencurigai terus
Toi Dompo Karajalembah, dikirimlah seorang kurir bernama Ince Muhamad ke
Watunonju tempat kediaman Toi Dompo, sambil membawa biji opium (candu) penebus
kuda yang diambil dari Parigi. Namun kuda-kuda kurir ini pun dirampas sehingga
terpaksa ia jalan kaki pulang ke Palu. Akibat dari ini semua, Belanda lalu
menyiapkan penangkapan terhadap Toi Dompo. Pasukan Belanda disiapkan dari Palu
dengan penunjuk jalan bernama Ince Muhamad, dibantu pula oleh sekutu-sekutunya
Karaeng Putih, Yojoburi, Mangge Cinco (Yahya) dan Marakaili. Dari Poso, pasukan
Belanda diberangkatkan ke Parigi lalu memotong gunung melalui Sausu tembus ke
Sigi dengan penunjuk jalan Ince Dahlan.
Pemimpin pasukan Belanda adalah
Letnan S. Voskuil. Di tempat kediaman Toi Dompo di Watunonju, pasukan-pasukan
Belanda menyerang serentak ketika Toi Dompo belum begitu siap karena tak
menduga adanya serangan tiba-tiba ini. Terjadilah pertempuran sengit di Watunonju
sehingga beberapa orang pasukan dari kedua belah pihak jatuh sebagai korban.
Akan tetapi karena persenjataan yang tak seimbang, Toi Dompo akhirnya
tertangkap dan dibawa ke Palu dengan menyeberang kali Palu dari Kalukubula ke
Tinggede. Toi Dompo dipikul oleh Marakaili yang sudah diperalat Belanda dan
seterusnya ia dibawa ke Palu dimana tiga buah kapal Belanda telah dipersiapkan
untuk membawa Toi Dompo ke Jawa dan diasingkan ke Sukabumi.
Besoknya, pasukan Belanda datang
dengan perlengkapan yang lebih banyak. Seperti halnya pada penyerangan pertama,
Belanda diserang disaat mereka lagi istirahat. Walaupun hasil yang dicapai oleh
rakyat Sigi Bora tidak sebesar pada pertempuran pertama, tetapi Belanda dipukul
mundur lagi ke Watunonju. Di tempat inilah Belanda mendatangkan pasukan dari
Palu, Dolo sehingga perlawanan rakyat terpaksa mengundurkan diri ke gunung dan
hutan-hutan. Belanda lalu merubah siasat dengan menggunakan Pue Langa yang
tadinya ditawan Belanda, memerintahkan agar Pue Langa menyuruh rakyatnya
kembali dari gunung dan hutan-hutan dan mengadakan persahabatan dengan Belanda.
Pue Langa lalu dijadikan raja menggantikan kakaknya Karajalembah dan kelak
menandatangani korte verklaring pada tanggal 3 Desember 1908 dengan nama
Itondei. Karena patuh pada rajanya, rakyat menghentikan perlawanan.
Pue Langa (Itondei) (raja puteri)
didampingi Dewan Pitunggota dan Tadulakonya bernama Ponulele. Walaupun
kelihatannya Sigi sudah aman, tetapi sebenarnya keadaan masih belum aman
betul-betul. Karena rakyat sakit hati akibat rajanya dibuang, maka secara
diam-diam ada gerakan untuk mengadakan perlawanan pada Belanda, sering-sering
diadakan rapat gelap dipimpin oleh Mahasuri, Palarante dan Lamariapa. Hasil
rapat adalah tindakan mengacau keamanan. Hal ini sebenarnya diketahui oleh
Ponulele sebagai Tadulako, tetapi tidak dilaporkan karena secara diam-diam ia
setuju pada rencana itu. Oleh karena Pue Langa ternyata tak dapat mengatasi
keadaan (masih sering ada pengacauan terutama dari rakyat Lande Raranggonan)
maka akhirnya Belanda mengakui bahwa Karajalembahlah yang dapat mengatasi dan
menguasai rakyatnya. Ia lalu didatangkan dari Sukabumi pada tahun 1914 dan
dikembalikan menjadi raja Sigi. Ia disambut secara besar-besaran secara adat
oleh rakyatnya ketika kembali di Palu. Walaupun Toi Dompo sudah dikembalikan ke
Sigi, tetapi Belanda tetap mencurigainya sehingga langkah-langkah dan
perbuatannya tetap diawasi Belanda melalui Bestuur Assisten di Biromaru yang
pada waktu itu dijabat oleh Haji Sunusi. Memang ternyata Toi Dompo tidak
berubah pendiriannya terhadap Belanda walaupun ia telah diasingkan. Dalam
hubungan tersebut, A.C. Kruyt mencatat dalam bukunya berjudul De West Toradj’s
op Midden Celebes (halaman 98): “Peristiwa penyerangan ke Watunonju ini terjadi
pada hari Jumat bulan September 1905 jam 10.00 pagi” (terjemahan).
Mendengar ayahnya tertawan oleh
Belanda, maka putera dari Toi Dompo bersama Malasingi sangat marah dan dengan
parang terhunus ia menyerbu ke tengah-tengah pasukan Belanda hingga beberapa
orang tentara Belanda tewas dan luka-luka, tapi dia sendiri pun ikut gugur kena
berondongan tembakan.
Selain itu, rakyat Sigi segera
berkumpul dengan kelengkapan persenjataannya lalu mengadakan pengejaran
dipimpin oleh dua orang kemenakan Toi Dompo bernama Lamakarato (Putera
Jaelangkara dan Lamasatu). Pertempuran sengit terjadi di Kalukubula. Serangan
rakyat secara frontal menimbulkan korban yang cukup banyak di pihak Belanda.
Pasukan Belanda hanya dapat diselamatkan dengan bantuan tentara cadangannya
dari Palu.
Karena pembuangan atas diri Toi
Dompo ke Sukabumi, maka kemarahan rakyat makin bertambah. Dua utusan rakyat
Sigi masing-masing Pue Langa, saudara perempuan Toi Dompo Karajalembah, dan
Simbasigi Toma Intolipe. segera ke Palu mengadakan perundingan dengan Belanda supaya
Toi Dompo dapat dikembalikan ke Sigi. Ternyata dua utusan ini pun ditawan oleh
Belanda dan hanya dapat dibebaskan setelah ditebus 100 ekor kambing. Rakyat
Sigi dan Biromaru lalu merencanakan serangan umum terhadap Belanda di Palu,
tetapi hal ini tercium pula oleh Belanda. Belanda menyerang lebih dahulu ke
Bora, pusat pertahanan Sigi. Karena rakyat telah menduga kedatangan Belanda,
maka Bora dikosongkan; semua rakyat mengungsi ke gunung dan membuat kubu
pertahanan. Hanya delapan pemuda yang tinggal di kampung bersembunyi mengintai
gerakan Belanda. Melihat tak ada perlawanan, pasukan Belanda beristirahat di
Bantaya (rumah adat), tetapi sekonyong-konyong delapan pemuda tadi dipimpin
oleh Lasoso, Tuvaya dan Kanasoki menyerbu ke tengah pasukan Belanda yang sedang
istirahat sambil berseru memberi isyarat pada rakyat di gunung. Serangan ini
mengakibatkan kematian yang sangat banyak pada pasukan Belanda, termasuk
seorang komandannya tewas. Sisa pasukan Belanda lari ke Dolo. Akibat dari
pertempuran ini, rakyat menyingkir ke gunung karena diperhitungkan tentu
Belanda akan kembali lagi menyerang. Hanya dua pemuda pengintai yang tinggal di
kampung, masing-masing Langgo dan Runda dari Watunonju.
Rakyat Raranggonau yang tak mau
tunduk pada Belanda meninggalkan perkampungannya pada tahun 1916 menuju ke
pegunungan yang lebat “Manggalai” (kelak bernama Nyilalaki atau Nakilalaki).
Katanya mereka ke sana atas instruksi dari Toi Dompo yang pada satu pesta di
Maenusi Daerah Palolo pernah menyampaikan pesan pada pengikut-pengikutnya untuk
meninggalkan tempatnya/kampungnya karena Toi Dompo sendiri dalam tempo tak lama
akan bergabung dengan mereka.
Karena diketahui Belanda, Toi
Dompo memimpin lagi rakyatnya untuk berontak, kedua kalinya ia ditangkap dan
dibuang ke Sukabumi dan meninggal di sana pada tahun 1917.
Dibuangnya Karajalembah untuk
kedua kalinya tidaklah berarti bahwa perlawanan rakyat sudah berhenti.
Pemerintah Belanda lalu menyodorkan dua orang calon raja Sigi yaitu Simba Sigi
dan Pue Toi (Pue Langa atau Itondei). Dalam pemilihan ini sebenarnya dari segi
adat Samba Sigi yang berhak menjadi Raja sesuai silsilah keturunannya, tetapi
Pue Toi mengusulkan karena ia seorang wanita maka biarlah ia tetap jadi raja
dan Simba Sigi karena ia laki-laki bisa selalu tornei, menjadi Madika Malolo.
Usul ini diterima Belanda sehingga tetaplah Pue Toi menjadi raja puteri.
Gerakan yang pernah ada sebelum
Karajalembah dimulai lagi pada tahun 1914. Adanya gerakan-gerakan ini akhirnya
tercium juga oleh Belanda melalui mata-matanya sehingga Pue Toi dianggap
bersekongkol dengan saudaranya Karajalembah karena ia tidak menindak komplotan
yang mengacau itu. Akibatnya ia diturunkan dari tahtanya dan oleh Belanda
didudukkanlah Lamakarate seorang bangsawan dari Tawaeli (anak dari Jaelangkara)
yang juga kemenakan dari Karajalembah.
Di bawah Lamakarate keadaan dalam
negeri mulai agak aman. Tiga tokoh yang sering mengadakan rapat-rapat gelap
untuk mengorganisir tentara pada Belanda ditangkap dan dibuang ke Jawa. Dua
orang meninggal di pembuangan yaitu Lamariapa dan Mahasuri. Palarante sempat
pulang ke Biromaru sesudah habis hukumannya. Dengan tertangkapnya tiga tokoh
tadi maka keadaan mulai tenang, tetapi rakyat Lando (Raranggonau) masih tetap
tak mau takluk pada Belanda.
Raja Lamakarate mengirim dua utusan
ke Lando Marajati dan Sampale untuk menyampaikan pesan supaya Lando
menghentikan sikapnya yang membangkang itu. Jawaban Tadulako Lando: “Kami tidak
mau tunduk pada Belanda” ditambah pula dengan ucapan “Maloi maputi ratarima
kami” (“Merah putih kami terima”). Makna ucapan ini, biar darah mengalir pada
titik terakhir rakyat Lando tidak akan tunduk kepada pemerintahan Belanda.
Namun kedua utusan itu tetap memaksakan kehendaknya supaya rakyat Lando merobah
sikapnya.
Kedua utusan diserang oleh
Tadulako Lando hingga Marajati terbunuh dan Sampale meloloskan diri melapor
pada raja. Tadulako Lando lalu membunyikan genderang perang. Karena peristiwa
ini tentara Belanda lalu menyerang Lando disambut rakyat Lando yang sudah siap.
Terjadilah perang tanding di mana Belanda menderita banyak kekalahan kena
sumpit wila, tombak dan guma. Sebaliknya di pihak Lando pun banyak yang gugur
kena tembakan-tembakan Belanda. Tadulako Lando yang terkenal waktu itu
Lahulemba, Tirolemba dan Toma Ipedi.
Peristiwa inilah yang dikenal
dengan nama perang Lando, dan lanjutan dari perlawanan Karajalembah (perang
Sigi). Sejak itulah orang-orang Raranggonau yang tidak mau tunduk kepada
Belanda masuk hutan gunung dan kemudian menjadi salah satu suku terasing di
Sulawesi Tengah.
Perang Kulawi
(1904-1908).
Kerajaan Kulawi di bawah pimpinan
raja Intovoalangi yang lebih dikenal dengan panggilan Toma Itorengke juga
mempunyai sikap yang keras terhadap Belanda. Tiap kali Belanda berusaha
memasuki daerahnya selalu gagal karena perlawanan yang ketat dari rakyat.
Belanda lalu merencanakan
menyerang dengan persiapan yang seksama. Gerakan dari Palu ke Kulawi melewati
medan yang berliku-liku dan jurang-jurang yang dalam. Di tempat yang strategis
inilah rakyat Kulawi mengadakan penghadangan terhadap setiap kedatangan Belanda.
Sebelum menyerang, Belanda mengirim dua orang utusan untuk membujuk raja Kulawi
supaya menyerah saja pada Belanda, tak usah melawan. Utusan itu adalah
Lamarauna, raja Donggala, dan Yojokodi, raja Palu. Toma Itorengke menolak
mentah-mentah ajakan itu. Beliau merasa terhina dan kepada utusan ia katakan
bahwa ia sama sekali tidak mengizinkan Belanda menginjakkan kakinya di wilayah
Kulawi, dan kalau berani melanggarnya akan ditentangnya dengan kekerasan.
Toi Torengke menduga Belanda
segera akan menyerang. Karena itu genderang tanda bahaya segera dibunyikan
sehingga panglima-panglima dan tentaranya lengkap dengan senjatanya siap sedia.
Yang dijadikan benteng pertahanan adalah gunung Momi. Menurut ceritera
orang-orang tua, tempat itu dilengkapi dengan 500 pucuk senjata api terdiri
dari meriam-meriam bermacam-macam ukuran serta senapan-senapan di samping
tombak, keris, guma (parang), sumpit dan onggokan batu-batu besar.
Tahun 1904, Belanda mulai
memberangkatkan tentara pilihannya dengan senjata-senjata yang serba lengkap
menuju ke Kulawi. Di Tuwa mereka berhenti untuk mengatur strategi penyerbuan,
beberapa hari kemudian mulailah diadakan penyerbuan disambut dengan tembakan
meriam, sumpit, panah dan gulingan batu-batu bagai hujan. Terpaksa Belanda
mundur ke Tuwa dengan membawa korban. Pertempuran itu berlangsung sampai tiga
bulan.
Yang menjadi penunjuk jalan
Belanda adalah Ince Muhammad dari Palu. Dari dialah Belanda memperoleh
informasi bahwa ada jalan lain untuk menuju ke Kulawi, dan yang mengetahui
adalah Madika Tuwa, Jaraba. Mula-mula Jaraba menolak, tetapi karena disiksa,
antaranya dipanggang di atas api, maka terpaksalah ia memberitahukan jalan itu,
yaitu mengitari aliran sungai Miu kohulu tembus ke kampung Beteha di Kulawi.
Untuk mencegah kemungkinan musuh menempuh jalan tersebut, orang-orang Kulawi
semula merencanakan memperkuat pertahanan di Pedoa dengan mengirim 70 orang.
Akan tetapi pasukan Belanda yang telah diperkuat dengan bantuan dari Palu dan
Manado, setelah mendapat informasi adanya jalan lain ke Kulawi melalui sungai
Miu lalu mengirimkan pasukannya melalui jalan tersebut dan sebagai pancingan
supaya orang Kulawi tak curiga dikirim pula pasukan mengadakan serangan ke
gunung Momi. Akibat pancingan ini tak jadilah pasukan Kulawi dikirim memperkuat
pertahanan Pedoa sehingga tentara Belanda hanya menemui perlawanan tak berarti
sebelum masuk Kulawi dari belakang. Demikianlah pada tahun 1905, pasukan
Belanda berhasil tembus ke Kulawi dari arah belakang dan memanfaatkan suatu
tradisi di Kulawi, yaitu apabila musuh menaikkan bendera putih maka pertempuran
harus dihentikan. Sewaktu pasukan Belanda sampai di Mamo (Kulawi) dinaikkannya
bendera putih. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari istana raja yang
terletak di atas bukit yang bernama Lemo. Sebagai balasannya, raja Toi Torengke
menyuruh naikkan pula bendera putih dari kain kulit kayu (disebut Tobula).
Karena pertahanan Kulawi
dipusatkan di gunung Momi, maka Kulawi dapat dikatakan kosong waktu itu, bahkan
perempuan dan anak-anak disingkirkan ke Gimpu. Yang ada di istana waktu itu
hanya raja Toi Torengke dan Mekuasa. Mereka berdualah yang ditemui ketika kurir
Belanda tiba, yaitu masing-masing bernama Yojobula dan Yojovuri berasal dari
Palu.
Toi Torengke dipaksa menyerah dan
disuruh mengumpulkan rakyat dari gunung Momi. Kalau tidak, maka ia bersama
keluarganya akan dibunuh dan Kulawi akan dibakar habis. Karena ancaman ini, dan
melihat kenyataan pasukan Belanda sudah masuk Kulawi, maka terpaksalah Toi
Torengke memanggil rakyatnya pulang dari gunung Momi hingga perlawanan
berhenti. Setiba di Kulawi, para hulubalang Kulawi yang pulang dari gunung Momi
masih mau melawan, tetapi dicegah oleh raja untuk menghindari jatuhnya korban
yang lebih banyak. Dalam buku Meededeelingen van Afdeeling Bestuurzaken van
Binnenlandsch Bestuurs. seri A No. 3 dapat dibaca bahwa pada tanggal 30
Nopember 1908 Intowea Tomatorengke menandatangani korteverklaring. Karena jiwa
Tomatorengke yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda maka setelah terpaksa
menandatangani korteverklaring tersebut lalu mengundurkan diri sebagai raja dan
menunjuk kemenakannya bernama Tomampe menggantikannya menjalankan pemerintahan
di Kulawi. Tomatorengke meninggal dunia pada tanggal 21 Desember 1948 di
Kulawi.
Disclaimer:
Sumber Tulisan pada artikel ini diambil dari buku: “Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme Di Daerah Sulawesi Tengah”
Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi Dan
Dokumentasi
Tim Penulis:
Masyhuddin Masyhuda
Ny. Nurhayati Nainggolan
Zohra Mahmud
Daeng Patiro Laintagon
Copy Paste : DISINI
0 comment:
Posting Komentar