"FDL, Ruang Rasa yang Tak
Pernah Pudar"
Oleh : SADRI Datupamusu
Festival Danau Lindu (FDL) bukan
sekadar perayaan budaya. Ia adalah ruang rindu, tempat cerita bermula dan tak
pernah benar-benar selesai. Sejak pertama kali digelar pada tahun 2009, kami
sudah menjadi bagian dari denyut awalnya, bukan hanya sebagai penonton, tapi
sebagai peserta yang turut membentuk makna dari setiap perhelatannya.
Waktu itu, semuanya masih
sederhana, tetapi justru di situlah letak kekuatannya. Homestay masyarakat
menjadi tempat kami menginap, bukan sekadar tempat tidur, melainkan ruang
kehangatan yang mempertemukan keramahan tuan rumah dengan semangat pelestari
budaya. Di sanalah, kami menyaksikan bagaimana tradisi tak hanya ditampilkan di
atas panggung, tetapi benar-benar hidup di dapur, di ruang tamu, di beranda.
Panggungnya memang berubah, dari
panggung kayu sederhana hingga panggung lebih megah, dengan arena yang
mengikuti irama zaman. Namun, esensi FDL tetap sama. Iringan gimba, sorakan
anak-anak di tepi danau, semangat ibu-ibu menyiapkan sajian lokal, sampai para
penari yang menunggu giliran tampil dengan degup yang sama seperti dulu,
semuanya seperti mengulang memori, bukan dengan bosan, tapi dengan haru.
Seremoni pembukaan, parade
budaya, hingga penampilan di panggung utama selalu terasa familiar. Barangkali
karena masyarakat Lindu memang telah menjadikan tradisi sebagai nadi kehidupan.
Setiap langkah dalam FDL bukan hasil latihan semata, tetapi cerminan dari hidup
sehari-hari, menghormati alam, menjaga warisan, dan menyambut siapa saja dengan
tulus.
Kini, FDL tak lagi hanya milik
Lindu, tapi menjadi jendela bagi siapa saja yang ingin mengintip keaslian. Tapi
bagi kami yang pernah hadir sejak awal, FDL adalah rumah. Ia boleh berubah
wajah, tapi tidak berubah rasa.
Karena di setiap getar gong
pembuka, kami selalu kembali, bukan hanya secara fisik, tapi secara batin,
kepada ingatan yang terus hidup di danau yang tak pernah benar-benar diam.
0 comment:
Posting Komentar