Kamis, 10 Desember 2020

PELABUHAN DONGGALA DALAM LEGENDA DAN REALITAS

Silahkan bagikan :
۞ Ψ§Ω„Ψ³َّΩ€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω„Ψ§َΩ…ُ ΨΉَΩ„َيْΩ€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€ΩƒُΩ…ْ وَΨ±َΨ­ْΩ…َΩ€Ω€Ψ©ُ Ψ§Ω„Ω„Ω€Ω€Ω€Ω€Ω‡ِ وَΨ¨َΨ±َΩƒَΨ§ΨͺُΩ€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω‡ُ ۞
۞ Ψ¨Ψ³Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω… Ψ§Ω„Ω„ّΩ€Ω€Ω€Ω‡ Ψ§Ω„Ψ±ّΨ­Ω…ٰΩ† Ψ§Ω„Ψ±ّΨ­ΩŠΩ€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω€Ω… ۞
-----------------------------------------------------------------------



PELABUHAN DONGGALA DALAM LEGENDA DAN REALITAS

 Oleh: Jamrin Abubakar (Pemerhati Sejarah dan Budaya)


DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banava tempo doeloe yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.

Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad ke 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua (Kayunaya), tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemkan pecahan-pecahan kerang berserakan.

Di kampung Ganti terdapat tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwu yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan. Pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.

Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.

Menurut legenda, akibat bencana itulah kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan kota Palu mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.

Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan nama Nyilina Iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu. Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.

Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama tempat disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu telah berubah sesuai perkembangan masyarakatnya.

Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.

 

Pelabuhan Jadi Rebutan

Pudjananti dari abad ke abad mulai berkembang ketika beralih nama menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.

Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana dan rempah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa Isabida (1758-1800).

Makin ramainya bandar ini membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di Suaka Alam Poboya, Palu Timur.

Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga menjadi kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888). Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane (Bea Cukai) dan berbagai fasilitas perkantoran demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.

Sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga masuknya tentara Jepang tahun 1942 dan kembali setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan (1945-1949). Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulawesi Tengah. Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.

Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi menjadi area kebudayaan dan politik pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Douane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.

Tahun 1958 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan empat kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara dan Insumar) yang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nakhoda kapal Moro.

Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?

Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi masa kini dan mendatang. Tapi itulah realitas yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. *


Sumber : DISINI


۞ Ψ§Ω„Ψ­Ω…Ψ― Ω„Ω„Ω‡ Ψ±Ψ¨ّ Ψ§Ω„ΨΉٰΩ„Ω…ΩŠΩ† ۞

-----------------------------------------------------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Rumahku ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞