Potensi sebaran peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Tengah yang
menggambarkan sisa-sisa kejayaan masyarakat di wilayah ini belum sepenuhnya
mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat. Oleh karena itu untuk menumbuhkan minat dan apresiasi
masyarakat terhadap objek-objek tersebut dilakukan melalui beberapa cara
seperti pelestarian dan penyelamatan ,dokumentasi, perlindungan, pengamanan, pengelolaan dan pemanfaatan.
Salah satu langkah awal dari pelestarian dan penyelamatan data-data dilapangan
yang sangat berharga adalah melalui tahapan penelitian yang intensif.
Bentuk kebudayaan yang ada saat ini mulai menyebar di Nusantara bersamaan
dengan penyebaran budaya Austronesia melalui migrasi dari suku-suku bangsa yang
menggunakan bahasa Austronesia. Wilayah penyebarannya adalah Korea, Jepang,
Formosa, Cina, Asia Tenggara, dan Pasifik. Terdapat dua jalur migrasi yaitu
jalur melalui Indonesia bagian barat dan jalur utara yang menyebar ke wilayah
Indonesia timur dan sampai ke kepulauan di Pasifik. Berdasarkan dari
hasil-hasil penelitian tersebut, maka arti penting wilayah Sulawesi dan Maluku
berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki termasuk potensi arkeologi, dapat
digambarkan sebagai berikut (Ambary, 1998:150) :
1) Dari segi zoografi, wilayah ini
merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna, yakni Wallace dan Weber.
2) Dari segi geolinguistik, wilayah
ini dianggap sebagai tanah asal dari suku-suku bangsa pemakai bahasa
Austronesia.
3) Dari segi geokultural, wilayah ini merupakan daerah lintasan strategis
dalam migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah
Melanesia, Mikronesia, serta Oceania.
4) Dari segi ekonomi, wilayah ini
merupakan wilayah yang memiliki potensi hasil hutan
yang cukup penting, yang
menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial di
dalam pertarungan kepentingan
hegemoni ekonomi.
Peninggalan Pra Sejarah di Sulawesi Tengah
Penelitian peninggalan arkeologi di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh
para peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad 19, yang dimulai oleh Adriani dan
A.C. Kruyt dalam tulisannya “Van Poso naar Parigi een Lindoe” pada tahun 1898.
Kemudian pada tahun 1938 Kruyt menerbitkan tulisannya “De West Toradjas in
Midden Celebes”, dan dalam tulisan tersebut Kruyt menyebutkan beberapa
tinggalan arkelogis di Kulawi seperti kalamba di Gimpu, batu dulang di Mapahi,
dan peti kubur kayu di Danau Lindu. Walter Kaudern, seorang peneliti
berkebangsaan Swedia pada tahun 1938 menebitkan tulisannya “Megalithic Finds in
Central Celebes” dan sebuah tulisan tentang etnografi “Structure and
Settlements in Central Celebes”.
Penelitian potensi arkeologi oleh peneliti Indonesia pertama kali dilakukan
pada tahun 1976 oleh Tim Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Tim dipimpin oleh seorang arkeolog Haris Sukendar
dan dalam penelitiannya sempat melakukan ekskavasi awal pada Situs Suso di
Padang Tumpuara, Lembah Bada Kabupaten Poso. Situs-situs megalitik di Sulawesi
Tengah terkonsentrasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang meliputi Lembah
Napu, Lembah Besoa, Lembah Bada, Danau Lindu, Kulawi, dan Gimpu. Mencakup dua
kabupaten yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Kawasan Taman Nasional Lore
Lindu merupakan kawasan perlindungan benda cagar budaya dan perlindungan serta
konservasi keaneka ragaman hayati yang endemik. Jenis temuan megalitik di Taman
Nasional Lore Lindu yaitu Kalamba, Arca Menhir, Menhir, Batu Dakon, Batu
Dulang, Lumpang Batu, Batu Kerakal, Altar, Dolmen, Tetralit, Temu Gelang, Tiang
Batu, Tumulus, Punden Berundak, Tempayan Kubur, Batu Gores, Palung Batu, Peti
Kubur Kayu, dan Jalan Batu.
Lokasi penemuan tinggalan kalamba di Sulawesi Tengah meliputi wilayah Lore
yang terbagi dalam tiga wilayah, yaitu Lore Utara atau Lembah Napu, Lore Tengah
atau Lembah Behoa, dan Lore Selatan atau Lembah Bada. Selain di Lore, temuan
kalamba hanya di temukan di wilayah Kulawi. Laporan yang cukup lengkap tentang
keberadaan kalamba dan ekskavasi di Lore, pertama kalinya dibuat oleh Walter
kaudern. Ia menyebutkan dan menggambar penampang beberapa temuan kalamba
mempunyai tutup di Padang Tumpuara yaitu di tepian sebelah barat Sungai
Tawailia. Kalamba di wilayah Lore ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dan
dalam lokasi yang terkonsentrasi, sedangkan di Kulawi temuan kalamba saat ini
baru ditemukan berjumlah 1 buah, yaitu di Situs Tomua. Temuan kalamba di Lore
khususnya yang berada di Lembah Behoa memperlihatkan sejumlah variasi kalamba
dalam berbagai ukuran, bentuk, dan tipologi penampangnya, serta bentuk dan
tipologi pola hiasnya. Temuan kalamba di Lembah Behoa ada yang mempunyai tutup
dan ada tidak bertutup. Adapula kalamba yang berhias dan ada juga yang polos.
Bentuk hiasan kalamba di Lembah Behoa berupa hiasan wajah atau tubuh manusia,
binatang, pit marked, dan hiasan geometris.
Istilah wadah kalamba dalam bahasa Lore kuno berarti “Perahu”, namun
berbeda dengan penyebutan di Kulawi. Untuk penamaaan tinggalan sejenis kalamba
yang ditemukan di situs Tomua, oleh penduduk setempat disebut “Watunoncu” yang
berarti batu lumpang. Penamaan itu kemungkinan besar diberikan oleh generasi
sekarang yang tidak mengetahui lagi nama dan fungsinya, juga karena bahannya
dilihat terbuat dari batu dan dibentuk lubang ditengahnya seakan-akan mirip
temuan lumpang batu. Ekskavasi yang dilakukan di Padang Birantua, Lembah Bada
oleh Kaudern (1938) dan Haris Sukendar (1976), serta ekskavasi di Situs
Tadulako, Lembah Bada oleh Tim Pusat Arkeologi (2000) telah membuktikan bahwa
fungsi kalamba adalah sebagai wadah penguburan secara komunal. Dalam ekskavasi
tersebut ditemukan fragmen tulang dan tengkorak manusia, gigi manusia, serta
fragmen gerabah. Dari bukti tersebut menunjukkan kesesuaian istilah kalamba di
wilayah Lore yang berarti perahu, yaitu sebagai wadah kubur dan perahu para
arwah orang meninggal untuk menuju alam kehidupan yang lain. Mengenai fungsi
kalamba yang ditemukan di Situs Tomua Kulawi belum dapat diketahui dengan
pasti, karena diwilayah ini belum dilakukan penelitian arkeologi yang intensif.
Lumpang Batu merupakan salah satu unsur megalitik yang cukup banyak
ditemukan di wilayah Kulawi. Masyarakat setempat menyebut lumpang batu juga
dengan kata “Watunoncu” (batu Lumpang) dan “Nonjuji” yang berarti lumpang
tempat bersemayam roh-roh halus. Fungsi lumpang batu yang ditemukan di Kulawi
adalah sebagai wadah menumbuk butiran-butiran padi dan jagung, selain sebagai
wadah untuk menumbuk biji padi dan jagung lumpang batu juga berfungsi sebagai
wadah menumbuk pewarna alami yang disebut “Ula” untuk mewarnai kain kulit kayu
(Kruyt, 1938 :472).
Peti Kubur Kayu berisi tulang rangka manusia yang di temukan di Pulau Bola
Lewuto Danau Lindu merupakan tinggalan arkeologis yang cukup menarik, karena
temuan seperti ini belum pernah ditemukan di wilayah dekat Kulawi yang banyak
peninggalannya seperti Napu, Behoa, dan Bada. Selain di Kulawi, peti kubur kayu
di Sulawesi Tengah ditemukan pula di gua penguburan di Tentena kabupaten Poso
yaitu di gua Tangkaboba, Pamona, dan Latea. Peti kubur kayu berisi tulang
rangka manusia juga ditemukan di Kecamatan Beteleme, Kecamatan Mori Atas, dan
Kecamatan Bungku, di Kabupaten Morowali. Kerangka yang ditemukan di dalam peti
kayu di danau Lindu adalah bangsawan bernama “Madika Maradindo”, setelah
meninggal bergelar “Toi Lumu Palio” artinya orang yang diawetkan di dalam peti
kayu gaharu.
Arca Menhir yang terdapat di Taman Nasional Lore Lindu sebagian besar masih
dalam keadaan utuh dan tersebar di padang-padang rumput, di tengah hutan, dan
di tengah perkampungan penduduk. Penggambaran bentuknya adalah bentuk manusia
atau hewan yang statis, kadang-kadang hanya wajah, tangan, genetalia, dan tanpa
kaki. Pada bagian wajah terdapat pahatan mirip ikat kepala “Tali Bonto” yang
masih digunakan oleh masyarakat Lore hingga saat ini.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar