Biografi dan Istinbath
"Penggalian" Hukum Imam Malik-
Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum Imam Malik- Pada masa sekarang ini umat Islam
dalam melakukan amaliah ibadah khususnya pada masalah furu sering terjadi
perbedaan, baik itu sedikit ataupun banyak, baik tidak begitu kelihatan maupun
yang jelas kelihatan, hal ini sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat
Islam khususnya orang awam yang belum begitu mengerti dengan permasalahan ini.
Sehingga sering terjadi perselisihan antara mereka dan menganggap bahwa
pendapat mereka paling benar.
Oleh karena itu perlu kiranya
bagi kami untuk membahas hal itu akan tetapi kami batasi dari segi salah satu
imam madzhab baik dari biografi, pemikiran, cara penetapan hukum dan lain-lain,
sehingga terjadi perbedaan pendapat dengan ulama madzhab lainnya.
Dari begitu banyaknya para imam
fiqh yang menjadi pedoman bagi para Ulama Fiqh dalam metode penetapan hukum,
disini kami membahas salah satu Ulama Fiqh yaitu imam malik yang dimana dalam
metode penetapan hukum islam banyak diikuti oleh Ulama Fiqh baik pada masa Imam
Malik masih hidup maupun Ulama Fiqh sekarang, dari metode penetapan hukum
ataupun pendapatnya, hal ini dikarenakan beliau dikenal dengn ahlul hadis dan
ulama fikih terkemuka pada jamannya dan kehati-hatian dalam memutuskan suatu
persoalan hukum.
Untuk itu, walaupun sering
terjadi perbedaan dalam pendapat baik dulu maupun sekarang, hal itu jangan
menjadi salah satu sebab perpecahan umat islam akan tetapi menjadi suatu
khazanah keilmuan Islam, Rasul berkata “ perbedaan pendapat dalam umatku adalah
rahmat”. Pada tulisan saya kali ini akan membahas mengenai Biografi dan
Istinbath Hukum Imam Malik.
Baca: Biografi AL-MATURIDI
A. Biografi Imam Malik
Nama lengkap beliau adalah Malik
Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Ibunya
bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau
dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota Madinah dan meninggal tahun 179
H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah
setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya termasuk golongan “Tabi’in”, yang
banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan
Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam
bidang ilmu Hadits dan Fiqh.[1] Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah
Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga
adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.[2]
Beliau dilahirkan di
tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat
taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama
Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan
al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan
sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri).
Pada masa itu, kota Madinah
merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang
menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para
ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran
dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.
Pola Pikir dan Metode Istinbath
Imam Malik
Imam Malik adalah seorang Imam
Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan
kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ulama kenamaan
dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh.
Karena merasa memiliki kewajiban
untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang
membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab
Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan
tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya
telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya
dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi
ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik.
Namun demikian, beliau sering
mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari
penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan
dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau
mendapat siksaan berat dan dihukum penjara.
Imam Malik termasuk salah satu
ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani
dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada
suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan
sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan
al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan
petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”.
Sedang dalam masalah hukum dan
fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya.
Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku
tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang
Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya.
Baca juga: Pengertian serta
Kedudukan Qoul dan Manhaj dalam Aswaja
Metode Istinbath Hukum Imam Malik
Dengan melihat sikap
kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu
berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut:
1. Al-Qur’an.
Sebagaimana Imam-imam lainnya,
Imam Malik menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan
memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya.
2. Al-Sunnah.
Dalam hal ini, Imam Malik
mengikuti pola yang dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an.
Artinya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang
dijadikan pegangan adalah arti ta’wil.[3]
3. Ijma’ Ahl Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa
karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para
sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh
tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah
pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh
karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk
Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan
kata-kata.
4. Fatwa sahabat
Ketentuan hukum yang telah
diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql.
5. Qiyas
Imam Malik pernah menerapkan
penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup
oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat
berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk
penalaran seperti itu.
6. Istislah (Mashlahah Mursalah)
Istislah adalah menegkalkan apa
yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini.[4]
Yang dimaksud dengan Maslahah
al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para
ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar
pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah
itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya
sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk
masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi.
Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan
ketentuan Nash atau Ijma.[5]
7. Al-Istihsan
Menurut Imam Malik adalah
menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat
menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab
mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan
perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan.
8. Sadd al-Zara’i
Menutup jalan atau sebab yang
menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya
sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang
bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan
hukumnya haram.
9. Syar’u man Qablana
Prinsip yang dipakai oleh Imam
Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai
salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.
10. Istishab
Tetapnya suatu ketentuan hukum
untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang
sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini
adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini
adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.
Karya dan Pengikut Madzhab Maliki
Imam Malik memiliki beberapa
karya yang ditulis semasa waktu beliau hidup dan ada pengikut yang setia
kepadanya sebagaimana berikut:
1. Karya Imam Malik
Penyabaran suatu pemikiran dari
seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya karya yang telah
dihasilkan dengan dukugan para murid dan pendukung yang siap menyebarkan dan
mengembangkannya. Sedang diantara karya Imam Malik terbesar adalah:
Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis
tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.
Dari hasil penelitian jumlah
atsar Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah.
Dan didalam pembahasannya, ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek
al-Hadist. Dan aspek al-Fiqh.
1) Aspek Al-Hadist
Dalam aspek ini, lebih disebabkan
karena al-Muwatho’ banyak sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal
dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari
sejumlah orang yang jumlahnya ,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah
kecuali empat orang, dan jumlah al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan
ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah,
Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin
Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari
Jazirah Arab.
Adapun orang-orang yang
meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik tersebut, ada yang berjumlah besar,
seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu
kebanyakan para sahabat yang sudah lama berdomisili di Madinah.
Sedangkan sanad yang ada didalam
kitab Muwatho’ itu, ada yang lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’,
bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat” [6]yaitu sanad yang tidak
menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya.
Dalam pengumpulannya, Imam Malik
melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu
yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang
menyatakan telah mengumpulkan sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau
wafat jumlahnya tinggal 1.000 saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist
tersebut diusahakan agar lebih sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih
mendekati kebenaran. Dalam keadaan seperti itulah, maka kedudukan Kitab
Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah dilakukan penelitian, memiliki
kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim.
2) Aspek Fiqh
Adapun yang dimaksutkan dengan
istilah aspek “Fiqh” adalah karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan
sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat,
Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa
fasal, seperti dalam bab Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah,
shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab
al-Muwatha’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh.
Dengan begitu, kitab-kitab karya
Ulama’ bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut:
Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist
koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan
Risalah Imam Malik oleh As’adbin al-Furat al-Naisaburi.
Al- Mudawwanah, kumpulan hasil
diskusi As’ad dengan ibn al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun
dari kitab al-Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.
2. Murid Imam Malik
Kebanyakan imam-imam yang
termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang
dari berbagai penjuru negeri, Di antara murid-muridnya adalah:
Abu Abdurrahman bin Qasim (
745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke Madinah dan menimba ilmu
dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim menulis sebuah buku yang
mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul Al-Mudawwanah, yang bahkan
melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
Abu Abdullah bin Wahab ( 742-819
M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam
malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian mendiskusikan hokum hingga mencapai
kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian memberikan julukan Al-Mufti,
yang berarti pengurai hukum Islam.[7]
Asyhab bin Abul Aziz
Asad Bin Al-Furat
Abdul Malik Bin Al-Masjisun
Abdullah Bin Abdul Hakim
3. Pengikut Imam Malik
Saat ini pengikut-pengikut
Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia,
Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat ( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara
Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).
Perkembangan Madzhab Maliki
Pada awalnya, madzhab Imam Malik
timbul dan berkembang di kota Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus
tempat domisi Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun
di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i.
Sekalipun demikian pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai
pengikut madzhab Maliki, mengalami kemajuan kembali.
Selanjutnya, dimasa pemerintahan
dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan
kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi
dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari
realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan
kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi
di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia.
Adapun para sahabat dan murid
Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah:
1. Di Mesir, antara lain:
Abu Hasan Ali bin Ziayad
al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
Abu Abdillah Ziyah bin
Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki di Andalusia.
Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy
(w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
Asad bin al-Furat bin Sinan
al-Tunisy (145-213 H).
Yahya bin yahya bin Kathir
al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
Abul Malik bin Hubaib bin
Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
Sahnun Abdus Salam bin Sa’id
al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para ulama’ Madzhab Maliki.
2. Di Hijaz dan Irak, diantaranya
adalah:
Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu
Salamah al-Majishun (w.212 H).
Ahamad bin Mu’adl-dlal bin
Ghailan al-‘Abdiy.
Abu Ishak Isma’il bin Ishak
(w.282 H).
Sedang para pengikut diadab
ke-lima dan ke-enam hijriyyah diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul
Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu
al-‘Araiy, kemudian disusul dengan adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H)
pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan
Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy (1189 H) dan masih banyak yang lain,
diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn
Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul
Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka.
Oleh sebab itulah, maka dalam
perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana
lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan
penduduk Maghribi dan Andulisia, yang pada umumnya gaya hidup mereka tidak
semaju gaya hidup orang-orang di Irak , sehingga gaya hidup mereka jika dilihat
dari sisi ini akan condong pada gaya hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun
demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzhab
kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan Madzhab Maliki sampai sekarang
masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia
dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah
Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara
keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.
Penutup
Imam Mailiki merupakan bagian
dari empat madzhab fiqh, Beliau termasuk kelompok ulama ahli Ra’yu yang mahir
dalam bidang fiqh, dalam Ilmu Fiqh beliau belajar kepada ulama ahli fiqh
terkenal yaitu ‘Rabi’ah’, serta beliau juga belajar bidang Ilmu fiqh kepada
Abdurrahman Bin Hurmuz selama 7 tahun, sehingga semua metode pembentukan hokum
bagi madzhabnya, banyak dipengaruhi oleh pola fikir Abdurrahman Bin Hurmuzt
tersebut.
Metode Istidlal Imam malik dalam
menetapkan hukum Islam mengunakan sikap kehati-hatian dan ketelitian dan Imam
malik selalu berpegang teguh pada hal-hal berikut:
Al-Quran
Al-Sunnah
Ijma’ Ahl Madinah
Fatwa sahabat
Qiyas
Al Mashlahah al Mursalah
Al-Istihsan
Sadd al-Zara’i
Syar’u man Qablana
Istishhab
Dalam perkembangan selanjutnya Madzhab
Maliki sebagaimana keterangan di atas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di
Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia dan
hingga sekarang masih banyak yang menganut madzhab beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Bilal Philips, Abu Ameenah,
Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan
Kontribusi. Bandung: Nusamedia, 2005.
Ma’shum Zein, Muhammad, Arus
Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ . Jombang:
Darul Hikmah, 2008.
Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri’:
Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramatha Publishing, 2010.
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan
Biografi Empat Imam Madzhab: Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali. Jakarta:
Amzah,2013.
http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html
__________________________________________________________________________________
Muhammad Ma’shum Zein, Arus
Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ ( Jombang:
Darul Hikmah, 2008), hal: 141
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’:
Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramatha Publishing, 2010), Hal: 121
Ibid, hal: 145
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hal: 54.
http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html,
Diakses tgl 8/3/15 jam 12.28.
Ibid, hal 153
Abu Ameenah Bilal Philips,
Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan
Kontribusi, (Bandung: Nusamedia, 2005), Hlm: 100.
Ibid, Hal: 157
Diposting oleh Adhim Albantani
0 comment:
Posting Komentar