Biografi Imam Hanafi,
Perkembangan, Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi - Mazhab Abu
Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, Imam
Abu Hanifahmemang lebih dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits
(ahli hadits)[1]. Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar,
bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan
berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’,
Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya
telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.[2]
Ada beberapa macam pendapat dari
orang-orang Islam tentang kedudukan mazhab ini. Sebagian dari mereka
berpendapat dan menganggap bahwa mazhab Abu Hanifah ialah satu mazhab yang baru
serta lain dari mazhab-mazhab lain.
Biografi Imam Hanafi
Mazhab ini dinamai sesuai dengan
nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin
Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi
Thalib, bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi
keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya muncul
Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M dan
wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan Persia,
yang menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda,
yaitu masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan
abbasiyyah.[3]
Beliau dikenal dengan sebutan
“Abu Hanifah” , sebab dalam kebiasaan bangsa Arab, nama putra (yaitu Hanifah)
dijadikan sebagai sebuah nama panggilan bagi ayahnya dengan menggunakan kata
“Bapak (Abu/Ayah)”, sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah”.
Dalam kaitannya dengan sebutan
tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih disebabkan adanya
kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta (dawat) guna menulis
dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari teman-temannya dan kata
“Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena inilah, beliau dikenal sebagai
pemuda yang rajin dalam segala hal, baik belajarnya maupun peribadatannya,
sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga berarti “condong” kepada hal-hal yang
benar, sehingga pada masa kedua khalifah, beliau tetap saja tidak menjabat
sebagai qadli, karena tidak senang pada kemewahan setelah jabatan itu
dipegangnya.[4]
Dalam studinya, pada awalnya Abu
Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris ‘Asham,
al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang pada
saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya dalam
memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat
menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau
menjadi salah satu tokoh theologi Islam.
Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam
Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang
dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama
18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin
Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian
kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan
disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan
Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad
inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.[5]
Untuk mencari tambahan dari apa
yang telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa beberapa kali pergi ke Hijaz
dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk mendalami Fiqh dan al-Hadits dan
tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan berdiskusi dalam berbagai bidang ilmu
Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra, sehingga tidak
mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru besarnya (Hammad bin Abi
Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah Kuffah bersepakat untuk mengangkat
beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah dan selama itu beliau mengabdi dan
banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya dalam bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa
itulah yang menjadi dasar pemikiraan Hanafi sampai sekarang. Keberhasilan
beliau ini pada hakikatnya terdorong oleh nasihat para guru setianya,
diantaranya adalah Imam Amir ibn Syahrilal-Sya’biy dan Hammad ibn Sulaiman
al-Asy’Ary.
Di samping itu semasa hidupnya,
beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam keilmuan keagamaannya,
ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam memegangi prinsip-prinsip ajaran
Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama sekali pada jabatan-jabatan
pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.
Ilmu yang dimiliki oleh Abu
Hanifah demikian luas terutama temuan-temuannya di bidang hukum dan memecahkan
masalah-masalahnya sejumlah 60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam
al-A’zdam dan kekuasaan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata:
“manusia dalam bidang hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu
Hanifah”.[6] Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga
meliputi bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf.[7]
Kehidupan Abu Hanifah di masa
Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18 tahun.
Dengan demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam antara
kedua Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-101 H), Abu
Hanifah sudah menjelang dewasa.[8]
Untuk menjamin ekonominya, Abu
Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan
lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[9] Bakat berdagangnya
didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain sutra asli Persia,
yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin.[10]
Abu Hanifah dibesarkan di Kufah.
Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah
lahir. Anas bin malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin
Sa’ad al-Sa’idi di Madinah, Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan
ada yang mengatakan bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di
Mekah. Kalau ini benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi
karena sebagian besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka
tidak tepat dia disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah
menguasai ilmu kalam (dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi
lokasi di mana ia dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang
dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional.[11]
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun
150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pakuburan Khizra, kemudian
pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama
“Al-Jami’ Abu Hanifah”.
Dari keberhasilan Abu Hanifah
dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas dalam bidang fiqh, maka
wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tersebar luas melalui para
muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya adalah Abu Yusuf, Abdullah bin
Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-Syaibaniy dan lain-lain, sehingga tidak
heran jika murid-muridnya menjabat sebagai Hakim dalam pemerintahan dinasti
Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan Mongol.[12]
Pola Pemikiran dan Metode
Istinbath Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah termasuk ulama’
yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan
dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintahan, tetap saja tidak
mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan Bani Umayyah di Kuffah yang
dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan Bani Abasiyyah di bagdad selama
18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid
bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan
Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai
meninggal dunia.
Dalam perjalanan hidupnya, Imam
Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana pemerintahannya dipegang oleh Bani
Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar,
sehingga dalam satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam
menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam
al-A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota
yang penuh teror yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.[13]
Sedang untuk mengetahui methode
Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri,
yaitu:
“Sesungguhnya saya mengambil
kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya
mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar secara mashur di
kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka saya
mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu saya
tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim
al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad.”
Abu Hanifah berkata:
“Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya
mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya pelajari
fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling kuat,
tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”
Dalam menanggapi persoalan, Imam
Abu Hanifah selalu mengatakan:” inilah pendapatku dab jika ada orang yang
membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih
benar.”
Beliau pernah suatu saat ditanya
oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak
diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu adalah
suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”[14]
Berdasarkan kenyataan dari
pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum
syar’i (beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i
dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi mempergunakan
al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga
beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf
mereka.
Dengan demikian, dalam
beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar
pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada
istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada
adat dan ‘Urf.
Dalam mengistinbath hukum, Abu
Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan
Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut
Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang
digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa
Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad
Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan,
India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.[15]
Karya-Karya dan Pengikut Imam
Hanafi
Dalam menelusuri sejauh mana
penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya pengungkapan
terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu beredar dan
dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-karya yang telah
dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan mazhabnya
dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk sebuah
majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut:[16]
Kitab Fikh al-Akbar
Kitab al-‘Alim wa al-Mu’allim
Kitab al-Musnad fi Fiqh al-Akbar
Dalam menanggapi masalah ini,
Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan
dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih
hidup) belum dibukukan, tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya
membukukan, sehingga menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan
berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang
kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi,
selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai
“Madrasah Kufah”.
Murid-Murid Abu Hanifah
Sistem Penyebaran dari suatu
pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya para murid dan
pendukungnya, diantaranya adalah sebagai berikut:[17]
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim
al-Auza’iy (113-182 H)
Dan beliau ini menjadi seorang
“Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan untuk mengangkat
para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan menyusun kitab dengan
judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang “Hukum Pajak Tanah”.
Muhammad bin Hasan bin Farqad
al-Syaibany (132-189 H)
Dan beliau inilah, salah satu
murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan mengembangkan hasil karya Abu
hanifah, diantaranya yang terkenal adalah Al-Kutub al-Sittah (enam kitab),
yaitu:[18]
Kitab al-Mabsuth
Kitab al-Ziyad
Kitab al-Jami’ al-Shaghir
Kitab al-Jami’ al-Kabir
Kitab al-Siyarul Kabir
Kitab al-Siyarul Shaghir[19]
Zufar bin Huzaili (110-189 H)
Beliau merupakan salah satu ulama
Abu Hanifah yang mengikuti contoh gurunya, dan menolak menerima tawaran sebagai
Qadli meskipun banyak sekali tawaran menarik disodorkan kepadanya. Zufar lebih
memilih untuk mengajar, yang terus dilakukan hingga dia wafat pada usia 42
tahun di Basrah.[20]
Dengan Demikian, maka melalui
karya-karya itulah Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh sangat luas dalam
dunia Islam, khususnya mereka yang berhaluan sunny, sehingga pada masa
pemerintahan dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah, mazhab Abu Hanifah menjadi
sebuah aliran mazhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat Islam,
bahkan pada kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu aliran ,azhab resmi negara
dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas di samping aliran mazhab
syafi’i.[21]
Para Pengikut Mazhab Hanafi
Para pengikut mazhab Hanafi saat
ini sebagian besar tersebar di daerah India, Afghanistan, Iraq, Syria, Turki,
Guyana, Trinidad, Suriname dan juga sebagian di antaranya berada di daerah
Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan Ottonom menyusun Undang-Undang hukum Islam
berdasarkan mazhab Hanafi pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai hukum resmi
negara, siapapun ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim diwajibkan
untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di sepanjang
wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.[22]
Perkembangan Mazhab Imam Hanafi
Mazhab Hanafi tercermin di Irak,
negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke
Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki
Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan
Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti
Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli,
bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi
putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.[23]
Dapat dikatakan bahwa
perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan menduduki posisi yang paling tinggi
dan luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan
adanya hal-hal sebagai berikut:
Pada masa kekhalifahan
Abbasiyyah, ia menjadi alirang Mazhab yang secara umum menjadi pegangan
masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya
dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
Pada masa kekhalifahan
Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan, bahkan berubah
menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun kitab “Majallah
al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam).[24]
Dari kedua kekhalifahan itulah,
yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di berbagai negara,
khususnya negara-negara yang pada masa dahulu tunduk kepada keduanya, seperti:
Mesir, Syria dan Lebanon
Tunisia yang menjadi mazhab
keamiran.
Turki dan dibeberapa negara yang
dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki
Albania yang menjadi aliran
mazhab yang umum dipakai oleh masyarakat.
Balkan dan Tanzaniyyah yang
menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
Pakistan, Afganistan, Turkinistan
dan penduduk muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para
penganutnya di negara-negara lain.
Dengan demikian, maka kenyataan
seperti itu dapat disimpulkan bahwa kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu
lebih kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia.[25]
Penutup
Mazhab Abu Hanifah merupakan
salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, beliau memang lebih
dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits).
Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam
sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang
ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz,
Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits
kepadanya selain fiqh.
Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam
Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang
dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama
18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin
Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian
kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan
disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in,
seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam
Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.
Dalam mengistinbath hukum, Abu
Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan
Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut
Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang
digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa
Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad
Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan,
India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.
Mazhab Hanafi tercermin di Irak,
negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke
Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki
Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan
Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti
Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli,
bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi
putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Ameenah, Abu, Asal-Usul dan
Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi,
Penerjemah: M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000
Ma’shum Zein, Muhammad, Arus
Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, Jombang: Darul
Hikmah, 2008
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan
Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum
Islam, Yogyakarta: Impremium, 2012
Sopyan, Yayan, Tarikh Tasry’,
Depok: Gramata Publishing, 2010
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk,
Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997
[1] M. Alfatih Suryadilaga dkk,
Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm.188
[2] Ibid, 189
[3] Muhammad Ma’shum Zein, Arus
Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, (Jombang: Darul
Hikmah, 2008), Hlm.129.
[4] Ibid, Hlm. 129-130
[5] Ibid, Hlm. 131
[6] Laily Mansur, Ajaran dan
Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hlm. 30
[7] Ibid, Hlm.30
[8] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997), Hlm.94-95.
[9] Ibid, Hlm. 95
[10] Abu Ameenah, Asal-Usul dan
Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi,
Penerjemah: M. Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000), Hlm. 87
[11] Muh Zuhri, Op.cit, Hlm. 95
[12] Muhammad Ma’shum Zein,
Op.Cit, Hlm.132
[13] Ibid, Hlm.133
[14] Ibid, Hlm.134
[15] Yayan Sopyan, Tarikh Tasry’,
(Depok: Gramata Publishing, 2010), Hlm. 121.
[16] Muhammad Ma’shum Zein,
Op.Cit, Hlm.137
[17] Ibid, Hlm.138
[18] Ibid,Hlm.138-139
[19] Keenam kitab tersebut telah
dikumpulkan dalam satu kitab bernama al-Kafi oleh al-Hakim al-Syahid.
[20] Abu Ameenah, Op.Cit, Hlm. 91
[21] Muhammad Ma’shum Zein,
Op.Cit, Hlm.139
[22] Abu Ameenah, Op.Cit,
Hlm.92-93
[23] Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, (Yogyakarta: Impremium, 2012), Hlm. 97.
[24] Muhammad Ma’shum Zein,
Op.Cit, Hlm. 139
[25] Ibid, Hlm. 140
Diposting oleh Adhim Albantani
0 comment:
Posting Komentar