Imam Syafi’i dikenal dengan salah
satu imam madzhab empat, Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As
Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal
dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari
ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah)
dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam
kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya
di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau
diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba
kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota
inilah Imam Syafi’i mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih
intensif.
Kehidupan Imam Syafi’i
Saat berusia 9 tahun, beliau
telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16
kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian,
kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga
dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di
dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke
Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah
pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.
Kecerdasannya inilah yang membuat
dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota
Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena
semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau
mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i begitu banyak
jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Kontribusi Imam Syafi'i
Meskipun Imam Syafi’i menguasai
hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan
hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut,
pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam
Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai
sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan
oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi
dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan
Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan
Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah
terpuji dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan
prinsip prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. dalam soal taklid, beliau
selalu memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu
saja pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya, beliau tidak senang murid muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk
bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana
ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang
lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “.
Diantara karya karya Imam Syafi’i
yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga
buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis rasulullahyang dihimpun dalam kitab
Umm serta ikhtilaf Al hadis.
Diposting oleh Adhim Albantani
0 comment:
Posting Komentar