Arsitektur adalah cerminan budaya
dan lingkungan yang menciptakannya. Di Indonesia, kita memiliki kekayaan
arsitektur tradisional dan vernakular yang unik dan Sulawesi Tengah tidak
terkecuali. Beberapa contoh arsitektur vernakular Sulawesi Tengah adalah
arsitektur rumah panggung suku Kaili yang berfungsi sebagai rumah tinggal
seperti Banua Mbaso, Kataba, dan Tinja Kanjai. Meskipun memiliki karakteristik
yang mirip dengan beberapa bangunan di daerah lain seperti Bugis, Makassar, dan
Toraja, arsitektur suku Kaili memiliki ciri khasnya sendiri. Rumah panggung
"Banua Mbaso" adalah bangunan dengan pondasi kayu balok persegi
empat. "Rumah Kataba" adalah tempat tinggal yang terbuat sepenuhnya
dari papan. "Tinja Kanjai" adalah rumah sederhana yang dibangun di
atas tiang-tiang kayu dengan atap rumbia.
Selain digunakan sebagai tempat tinggal, arsitektur di Sulawesi Tengah juga
memiliki fungsi sebagai tempat ibadah, tempat musyawarah, tempat penyimpanan,
dan tempat penyimpanan. Namun, beberapa bangunan tradisional ini telah berubah
menjadi bangunan kosong yang jarang digunakan dan hanya menjadi perhatikan
sekelumit orang, misalnya dalam pembahasan ini berfokus pada arsitektur yang
disebut “Baruga” sebagai bangunan musyawarah bagi masyarakat suku Kaili.
Permasalahan ini dialami oleh bangunan yang ada di desa Kaleke, Kabupaten Sigi.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang nilai dan fungsi
baruga sebagai ruang sosial atau menjadi wujud dari kebudayaannya. Selain itu,
dipengaruhi oleh pola globalisasi yang membuat aristetkur terobang-ambing dalama
menjaga keberlangsungannya bagi masyarakat dan segala tradisi yang ada.
Rumah tempat musyawarah bagi masyarakat Kaili sejak masa lampau dikenal
dengan nama "Baruga" ini, rumah panggung berbentuk segi empat
memanjang yang juga mendapatkan pengaruh akulturasi dari suku Bugis/Makassar
pada beberapa corak yang tampak di bagian atap. Ruang Baruga adalah ruang
terbuka tanpa kamar dan pada bagian depannya diberi lantai yang tingginya
sekitar 0,5 meter sebagai tempat kepala adat. Dinding Baruga dibuat dari papan
dan hanya setinggi orang duduk. Atapnya terbuat dari rumbia/seng dan ruangnya
terdiri atas tiga bagian kiri dan kanan yang menghadap ke depan sebagai tempat
duduk para partisipan musyawarah atau masyarakat yang datang mengunjungi acara
yang dilakukan. Bagian-bagian ini dibatasi dengan ruang kosong di tengahnya
sebagai jalan pemisah. Berdasarkan konteksnya, selain sebagai tempat
musyawarah, Baruga juga memiliki fungsi lain diantaranya seperti tempat
peradilan adat dan rumah singgah bagi musafir. Namun, bukan hanya eksistensi
Baruga yang secara fisik mengalami perubahan dan perlahan menghilang, melainkan
secara fungsi relevansinya patut dipertanyakan dengan keberadaan aula
pertemuan, kantor desa, kantor polisi, dan rumah singgah modern yang mengambil
peran Baruga dan tentunya tidak untuk disangkal karena keadaan yang menuntut
masyarakat untuk senantiasa adaptif. Oleh karena itu, perlu pendekatan inovatif
untuk memposisikan fungsi Baruga agar tetap menjadi kebutuhan urgensi bagi
masyarakat dengan cara memperhatikan aspek nilai yang terkandung di dalamnya
dan mengambil semangat para generasi untuk menjamin keberlanjutannya.
Revitalisasi Arsitektur
Baruga
Dalam menjawab tantangan ini sebagai cara untuk mempertahankan warisan
budaya Sulawesi Tengah dalam wujud arsitektur, tim Kololio sebagai penggiat
desa pada tahun 2021 bersiasat untuk membuat solusi inovatif yang disebut
"Revitalisasi Arsitektur Tradisional Baruga sebagai Ruang Multiguna."
Melalui revitalisasi ini, berharap dapat melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan
kebudayaan serta meningkatkan ekonomi masyarakat Desa Kaleke melalui Arsitektur
suku Kaili.
Gagasan revitalisasi arsitektur Baruga Desa Kaleke telah dimulai dengan
langkah-langkah konkret untuk mewujudkan tujuan utama sebagai role model untuk
dijadikan sampel pembangunan arsitektur Baruga dalam konteks masa kini yang
direalisasikan sebagai berikut:
1. Tim Kololio telah mengembangkan rencana detail untuk pemugaran Baruga.
Rencana ini mencakup perencanaan arsitektur, pemilihan bahan bangunan yang
sesuai, dan pengembangan infrastruktur pendukung.
2. Masyarakat Desa Kaleke telah aktif terlibat dalam proses ini sebagai
wujud keterlibatan secara kolektif. Mereka membantu dalam pemindahan struktur
Baruga yang ada dan dalam pembangunan kembali sesuai dengan prototipe yang
sudah disiapkan oleh tim Kololio.
3. Selama proses revitalisasi, elemen budaya dan tradisi Suku Kaili dijaga
dengan hati-hati sebagai implementasi dalam menjaga nilai budaya yang
sebelumnya pernah diterapkan oleh masyarakat. seperti Ritual adat yang
melibatkan masyarakat lokal yang dilakukan sebelum pembongkaran dan pembangunan
kembali Baruga.
4. Baruga direvitalisasi untuk dijadikan pusat kegiatan masyarakat. Ini
termasuk berbagai kegiatan budaya, pertemuan, dan acara sosial lainnya. Hal ini
bertujuan untuk membawa kembali semangat gotong royong dalam masyarakat dan
komunitas.
5. Baruga sebagai Ruang Pustaka Desa. Salah satu tujuan penting dari
revitalisasi ini adalah untuk menciptakan ruang pustaka desa di dalam Baruga
yang memanfaatkan ruang bawah yang didesain secara menarik. Ini akan menjadi
tempat pendidikan dan peningkatan literasi masyarakat Desa Kaleke.
6. Baruga juga diharapkan berfungsi sebagai pusat edukasi untuk pendidikan
lokal, serta sebagai tempat evakuasi dalam situasi darurat atau bencana karena
Sulawesi Tengah khususnya daerah Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala
menjadi sesar gempa yang disebut “Palu Koro”.
7. Baruga akan menjadi pusat untuk pemanfaatan sumber daya desa secara
berkelanjutan, seperti pelatihan dan kegiatan ekonomi lokal. Ini akan membantu
masyarakat Desa Kaleke dalam mencapai kesejahteraan ekonomi.
Terlepas dari konsep inovasi, ada aktivitas yang menarik dan jarang
dilakukan dalam menjawab permasalahan ini. Sebelum tahap pembangunan dilakukan,
masyarakat menerapkan kebiasaan masa lalu yaitu mengangkat bangunan (rumah)
saat seseorang ingin pindah lokasi tempat tinggal. Hal ini terjadi pada Baruga,
masyarakat secara gotong royong memindahkan Baruga yang disebut “Nokova Banua”
atau dalam bahasa Indonesia didefinisikan sebagai proses pengakatan rumah
dengan mengandalkan kekuatan bahu yang dilakukan secara masal selepas salat
jumat. Momen ini mengingatkan dan mengajarkan kembali masyarakat khususnya para
generasi Desa Kaleke yang hidup pada masa kini bahwasannya spirit kebersamaan
itu juga terdapat dalam arsitektur baruga sehingga harus dipertahankan untuk
mempererat pertalian saudara sebagai orang yang hidup di desa.
Revitalisasi Arsitektur Baruga desa Kaleke adalah sebuah proyek yang
menunjukkan betapa pentingnya pelestarian warisan budaya dalam masyarakat
Sulawesi Tengah yang sedang menghadapi tantangan globalisasi. Dengan melibatkan
masyarakat secara aktif, menjaga nilai-nilai budaya, dan menjembatani
kesenjangan generasi, proyek ini mewakili langkah maju dalam pelestarian
keragaman arsitektur Nusantara. Semoga proyek ini dapat memberikan inspirasi
dan memberikan panduan bagi proyek serupa di wilayah-wilayah lain, sehingga
keberagaman ini dapat terus dijaga dan dinikmati oleh generasi masa depan.
Revitalisasi Baruga sebagai ruang multiguna adalah bagian dari dinamisasi
kebudayaan yang akan dicatat dalam sejarah bagaimana cara manusia untuk
memelihara dan menghormati akar budayanya dengan cara merespon keterbaruan dan
selalu siap beradaptasi dengan peradaban.
0 comment:
Posting Komentar