Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an di Masa Rasulullah SAW
Upaya kodifikasi Al-Qur’an
dilakukan pada zaman Rasulullah SAW dan zaman para khalifah. Setiap upaya
kodifikasi memiliki keistimewaan dan kekhasannya masing-masing. (Syekh M Ali
As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Mawahib
Al-Islamiyyah: 2016 M], halaman 49).
Menurut As-Shabuni, upaya
kodifikasi Al-Qur’an dilakukan di masa Nabi Muhammad SAW dengan menempuh dua
jalan. Pertama, kodifikasi Al-Qur’an dalam batin dengan jalan hafalan dan
ingatan. Kedua, kodifikasi Al-Qur’an dalam catatan dengan jalan penulisan dan
goresan.
Kodifikasi Al-Qur’an dibicarakan
secara detail dalam kajian ulumul qur'an untuk menunjukkan besarnya perhatian
kita pada Al-Qur’an, pencatatan dan kodifikasinya. Besarnya perhatian terhadap
Al-Qur’an berikut pencatatan dan kodifikasinya ini, menurut As-Shabuni,
melebihi perhatian orang terhadap kitab samawi sebelumnya.
Adapun Al-Qur’an diturunkan
kepada seorang nabi yang tumbuh dalam kultur masyarakat yang ummi sehingga ia
mengerahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur’an untuk mengingatnya
sebagaimana diturunkan kepadanya. Ia kemudian membacakannya dengan tenang
kepada para sahabatnya agar mereka menghafalnya sebagaimana keterangan Surat
Al-Jumuah ayat 2.
Dalam kultur masyarakat ummi,
Rasulullah mengandalkan daya hafal dan daya ingatnya karena tidak membaca dan
menulis. Demikian kondisi bangsa Arab secara umum ketika Al-Qur’an diturunkan.
Bangsa Arab ketika itu menikmati betul kekhasan bangsanya, yaitu mempunyai daya
ingat yang baik dan mempunyai kecepatan hafalan atas sesuatu. (As-Shabuni, 2016
M: 50).
Bangsa Arab sanggup menghafal ratusan ribu syair. Mereka dapat mengenali secara urut nasab dan keturunan seseorang atau suatu klan di luar kepala. Mereka sanggup memahami sejarah. Jarang sekali mereka yang tidak memahami keturunan dan nasab keluarganya atau tidak menghafal syair-syair terbaik karya para sastrawan Arab hebat yang digantung di Ka’bah.
Rasulullah SAW memberikan perhatian luar biasa kepada Al-Qur’an.
Rasulullah SAW menghidupkan malam dengan membaca Al-Qur’an di dalam ibadah
sembahyang, membacanya di luar sembahyang, dan merenungkan maknanya sehingga
kedua kakinya memar karena terlalu lama berdiri dalam shalat malam untuk
membaca Al-Qur’an sebagaimana keterangan Surat Al-Muzzammil. Tentu tidak heran
kalau Rasulullah SAW bergelar sayyidul huffazh. Ia memeliharan Al-Qur;an dalam
hatinya dan menjadi rujukan umat Islam di masanya perihal Al-Qur’an.
(As-Shabuni, 2016 M: 50).
Para sahabat juga memiliki
perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka berlomba untuk membaca dan
mempelajari Al-Qur’an. Mereka mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghafal
Al-Qur’an. Mereka mengajari istri dan anaknya Al-Qur’an di rumah-rumah. Bila
melewati rumah para sahabat di tengah kegelapan malam, niscaya kita akan
mendengar suara orang membaca Al-Qur’an sebagaimana dengung lebah.
Rasulullah SAW pernah melewati
sebagian rumah sahabat Anshor di kegelapan malam. Beliau lalu berhenti sejenak
untuk mendengarkan mereka membaca AL-Qur’an dari luar. (As-Shabuni, 2016 M:
50-51).
Rasulullah SAW mengobarkan
semangat untuk menghafalkan Al-Qur’an. Dari sini lahirnya banyak sahabat
penghafal Al-Qur’an. mereka ditugaskan ke berbagai penjuru daerah dan kota
untuk mengajarkan Al-Qur’an untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk
setempat. Sebelum peristiwa hijrah, Rasulullah SAW mengutus sahabat Mush’ab bin
Umair dan Abdullah bin Ummi Maktum ke Madinah. Rasulullah SAW juga pernah
mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Makkah setelah peristiwa hijrah.
"Setiap kali ada orang yang
berhijrah, Rasulullah akan membelokkan orang tersebut kepada kami untuk diajari
Islam dan Al-Qur’an," kata Ubadah bin Shamit. (HR Ahmad dan Al-Hakim). (M
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits:
2017 M/1438 H], halaman 194-195).
Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menyebut tujuh sahabat
terkemuka penghafal Al-Qur’an. Mereka adalah Abdullah bin Mus’ud, Salim bin
Ma’qil budak Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Zaid (Qais) bin Sakan, dan Abud Darda. (Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil
Qur’an, [tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa tahun], halaman 115).
Abu Ubadi dalam Kitab Al-Qira’at menyebutkan sejumlah
ahli Al-Qur’an di kalangan sahabat. Mereka (kalangan muhajirin) adalah empat
khalifah rasul, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah,
Abdullah bin Sa’ib, abadilah arba’ah atau empat Abdullah (yang terdiri atas
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Umar, dan Abdullah
bin Zubair), Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah. (Al-Qaththan, tanpa tahun:
117-118).
Adapun ahli Al-Qur’an dari
kalangan sahabat Ansor adalah Ubadah bin Shamit, Mu’adz, Majma’ bin Jariyah,
Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Makhlad, dan banyak sahabat lainnya.
(Al-Qaththan, tanpa tahun: 118). Wallahu a’lam.
Editor: Kendi Setiawan
Penulis: Alhafiz Kurniawan
0 komentar:
Posting Komentar