Sejarah Turunnya Al-Qur'an dan Keistimewaannya
Al-quran adalah
kitab suci umat Islam. Kehadirannya adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan
merupakan prinsip-prinsip dasar untuk semua masalah kehidupan.
Al-quran juga berfungsi sebagai
panduan hidup di dunia dan akhirat.
Perjalanan Al-quran, mulai
pertama kali diturunkan hingga sekarang mengalami perjalanan sejarah yang amat
panjang, melewati periode lebih dari 1400 tahun lampau.
Kendati berusia panjang, tidak
seperti kitab-kitab suci lainnya yang terdistorsi, Allah SWT menjamin keutuhan
dan keaslian Al-quran, sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami yang
menurunkan Al-quran dan Kamilah yang memeliharanya," (QS Al Hijr [15]: 9).
Dilansir dari NU Online, di masa
kenabian, Al-quran diturunkan dalam dua cara. Pertama, Al-quran diturunkan
secara lengkap di malam Lailatulqadar dari Lauh Al-Mahfudz ke Baitul Izzah atau
langit dunia pada bulan suci Ramadan.
Hal ini dijelaskan Allah SWT
dalam surah Al-Qadr ayat pertama: "Sesungguhnya kami telah menurunkannya
[Al-quran] pada malam kemuliaan [Lailatulqadar]," (Al-Qadr [97]: 1).
Kedua, usai diturunkan di langit
dunia, lalu wahyu Al-quran ini diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad
SAW sesuai dengan konteks dan kebutuhan, selama kira-kira 23 atau 25 tahun.
Ayat pertama yang turun kepada
Nabi Muhammad, sekaligus juga tanda pengangkatannya sebagai Rasululullah SAW
adalah surah Al-Alaq ayat 1-5 yang berisi perintah membaca (Iqra!).
Sejarah Periodisasi
Al-quran
Sepanjang perjalanan turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, para ulama membagi sejarah Al-quran dalam dua
periode, yaitu periode sebelum hijrah dan periode selepas hijrah.
Ayat-ayat Al-quran yang turun
sebelum hijrah dikenal dengan sebutan ayat-ayat makiyah, sementara ayat-ayat
Al-quran yang turun usai hijrah dikenal dengan ayat-ayat madaniyah.
Yusuf Hasyim dalam buku Akidah
Akhlak(2020) menjelaskan sejarah periodisasi Al-quran sebagai berikut:
1. Periode Sebelum Hijrah dan Ayat-ayat Makiyah
Pada periode sebelum hijrah,
ayat-ayat Al-quran diturunkan selama Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah.
Karena itulah, ayat-ayatnya
dinisbatkan ke lokasi turunnya wahyu yaitu di Makkah. Ayat-ayatnya diberi
julukan sebagai ayat-ayat makiyah.
Di periode pertama ini, terdapat
86 surah makiyah yang diturunkan selama 12 tahun lima bulan.
Sebagaimana disebutkan di atas,
wahyu pertama diturunkan pada 17 Ramadan 610 M di Gua Hira ketika Nabi Muhammad
SAW menyendiri dari kaumnya.
Pada umumnya, isi ayat-ayat
makiyah berkenaan dengan akidah dan penguatan tauhid.
Wahyu Al-quran di periode sebelum
hijrah merupakan pokok ajaran Islam untuk mengokohkan keimanan umat yang
ditindas oleh orang-orang kafir Quraisy.
2. Periode Selepas Hijrah dan Ayat-ayat Madaniyah
Pada periode kedua ini, ayat-ayat
Al-quran diturunkan selama Nabi Muhammad SAW berdakwah di Madinah.
Karena itulah, ayat-ayatnya
dinisbatkan ke lokasi turunnya wahyu yaitu di Madinah. Ayat-ayatnya diberi
julukan sebagai ayat-ayat madaniyah.
Di periode kedua ini, terdapat 28
surah yang turun selama 9 tahun 9 bulan.
Karena pengokohan iman sudah
dijelaskan melalui ayat-ayat makiyah, maka usai hijrah, ayat-ayat madaniyah
umumnya berkaitan dengan muamalat, syariat, dan hukum-hukum Islam.
Di periode ini, ayat terakhir
yang diturunkan adalah ayat 3 dalam surah Al-Maidah ketika Nabi Muhammad SAW
melakukan haji Wada' sekaligus penutup dari wahyu Al-quran.
"Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan
telah Kuridai Islam menjadi agamamu,” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
Sejarah Pembukuan
Al-Quran
Di masa Rasulullah SAW, Al-quran
belum terkumpul rapi seperti sekarang.
Ketika wahyu diturunkan, Nabi
Muhammad SAW membacakannya pada para sahabat, baik untuk langsung ditulis atau
dihafalkan.
Usai Rasulullah SAW meninggal,
terdapat kebutuhan untuk membukukan dan menstandardisasi Al-quran agar tetap
utuh dan terjaga keotentikannya.
Penjelasan mengenai sejarah
pembukuan Al-quran dijelaskan dalam uraian berikut ini:
1. Al-quran di Masa Nabi Muhammad SAW
Salah satu alasan Al-quran belum
dibukukan pada masa kenabian adalah proses perjalanan wahyu yang masih
berlangsung selama hidup Nabi Muhammad SAW.
Ketika wahyu diturunkan,
Rasulullah SAW kemudian membacakannya kepada para sahabat, serta meminta
beberapa orang untuk menuliskan wahyu tersebut.
Sahabat-sahabat penulis wahyu itu
di antaranya adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan, Ubay bin Kaab, dan lain sebagainya.
Media tulis yang digunakan saat
itu adalah pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit bintang, kayu,
pelana, potongan tulang binatang, dan lain sebagainya.
Selain langsung dituliskan,
banyak sahabat yang langsung menghafalkannya ketika dibacakan oleh Nabi
Muhammad SAW.
Karena itulah, pengumpulan
Al-quran di masa kenabian ini dikenal dengan dua cara, yaitu melalui tulisan
(jam'u fi as-suthur) dan melalui hafalan (jam'u fi ash-shudur).
2. Al-quran di Masa Kekhalifahan Rasyidin
Usai Rasulullah SAW meninggal,
terpilihlah khalifah-khalifah pengganti beliau di masa Kekhalifahan Rasyidin.
Di waktu inilah, para khalifah,
dimulai dari Abu Bakar As-Shiddiq hingga Utsman bin Affan merasa perlu untuk
mengumpulkan dan membukukan Al-quran menjadi kesatuan yang utuh.
Awalnya, kebutuhan untuk
membukukan Al-quran ini dirasa sangat penting usai perang Yamamah di masa
khalifah Abu Bakar. Pada perang itu, banyak dari para hafiz atau penghafal
Al-quran dari para sahabat mati syahid.
Khawatir Al-quran akan bernasib
sama seperti kitab-kitab suci lain yang banyak terdistorsi karena telat
dibukukan, Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar Al-quran segera
dikumpulkan.
Kendati awalnya ragu-ragu, namun
akhirnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan Zaid bin Tsabit, salah
seorang penulis wahyu di masa kenabian agar memimpin proyek pengumpulan
Al-quran tersebut.
Dalam uraian "Sejarah
Al-Quran" yang ditulis Cahaya Khaeroni disebutkan bahwa Zaid ibn Tsabit
menerapkan empat prinsip dalam proyek pengumpulan Al-quran:
1. Ayat yang diterima hanya yang ditulis di hadapan Rasulullah;
2. Ayat Al-quran ditulis dari hafalan para sahabat;
3. Ayat Al-quran tidak akan ditulis, kecuali disetujui oleh dua
orang saksi bahwa ayat itu pernah ditulis di hadapan Rasulullah; dan-
4. Hafalan Al-quran para sahabat tidak diterima, kecuali yang telah
mereka dengar langsung dari Rasulullah SAW.
Usai Al-quran dibukukan, kemudian
dilakukan standardisasi di masa khalifah Utsman bin Affan.
Perbedaan dialek (lahjah)
kemudian disatukan oleh Utsman agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan
umat Islam.
Karena itulah, mushaf yang umum
ditemui sekarang dikenal dengan cara penulisan Utsman atau Rasm Utsmani.
Perjalanan panjang sejarah
penulisan Al-quran ini makin mengokohkan keotentikan Al-quran. Bukti bahwa
Al-quran merupakan kitab suci ilahi ini dijelaskan dalam surah Hud ayat 13:
"Bahkan mereka mengatakan,
'Dia [Muhammad] telah membuat-buat Al-quran itu.' Katakanlah, '[Kalau
demikian], datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya [Alqur'an] yang
dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar," (QS. Hud [11]: 13).
Allah SWT menantang jika ada yang
berani mengingkari kebenaran Al-quran, maka diminta untuk membuat surah seperti
surah Al-quran.
Namun, kendati mushaf Al-quran
sudah tersebar di berbagai tempat di belahan dunia, namun tak seorang pun yang
bisa membuat semacam Al-quran. Hal ini menandakan bahwa Al-quran benar-benar
otentik dan berasal dari Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar